Senin, 31 Desember 2012

KARAENG YANG BERHATI MULIA


Dalam perjalanan ke Bali beberapa hari yang lalu, seorang teman berceritera tentang seorang teman lainnya. Teman yang menjadi objek cerita (gossip?) ini adalah seorang janda cerai. Pada saat masih rukun dengan suaminya mereka tinggal serumah dengan beberapa orang anak tirinya. Begitu bercerai, suaminya meninggalkan rumahnya, akan tetapi anak-anak tirinya masih tetap tinggal dengannya. Rupanya anak tiri ini diperlakukan sangat baik olehnya sehingga “memihak” kepadanya. Pada setiap perjalanan, sang ibu tiri ini selalu membawakan ole-ole terbaik untuk para anak tirinya. Kami peserta gosib berkesimpulan bahwa sang ibu tiri ini berhati mulia kepada para anak tirinya.
Di kalangan masyarakat yang tinggal di Tana Towa Kajang oleh Pemuka Adat yang diberi gelar Amma Towa dikenal prinsip “Tallasak kamase-masea” yang artinya hidup sederhana. Pasang itu kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai berikut: Seandainya Tana Towa ini ditakdirkan kaya raya maka yang terkahir kaya adalah Amma Towa. Namun, seandainya Tana Towa ditakdirkan jatuh miskin maka yang paling pertama miskin adalah Amma Towa.
Prinsip yang ada dalam “Pasang” ini betul-betul diimplemenastikan oleh Amma Towa sebagai pemimpin. Kalau sebagian rumah masyarakat biasa terbuat dari kayu maka rumah Amma Towa terbuat dari bambu, kualitas yang lebih rendah daripada rumah kayu. Sikap Amma Towa sebagi pemimpin betul-betul berhati mulia sehingga masyarakatnya mematuhi segala titah yang turun temurun dalam bentuk “pasang”.
Saya masih ingat betapa seorang yang masih terhitung “dato’” saya begitu berhati mulia membagikan sebagian besar hasil panennya kepada para tetangganya yang dianggapnya sangat kekurangan. Pada hal beliau sendiri tidak jauh lebih kaya dari mereka itu. Beliau adalah Karaeng Muang Daengta Batu-Batu. Saya bertanya, apa yang akan dato’ makan nanti, karena persediaan padi yang ada tidak mungkin menutupi kebutuhan untuk sampai pada panen berikutnya? Beliau dengan enteng menjawab: rezeki di tangan Allah, cucu! Beliau memang tepat untuk menyandang gelar “Karaeng” yang berhati Mulia”.
Almarhum I Larigau Daeng Manginruru Karaeng Ajjia Karaeng Galesong, sengaja mengumpulkan anak-anak yatim dan orang tidak mampu untuk tinggal bersama dalam istana “Ballak Lompoa ri Galesong”, dan menyantuni mereka, mendidik dan menyekolahkannya. Perilaku almarhum yang makan bersama dengan anak-anak binaannya yang dengan sukarela membagi sajian makanan kesukaan yang ada dihadapannya kepada anak-anak binaan beliau. Perilaku almarhum sangat berkesan dihati para anak binaannya, dan anak binaan yang telah menjadi “orang” itu menceritrakan kembali kenangan itu kepada anak cucu mereka. Sungguh, tepatlah kalau almarhum itu adalah Karaeng Galesong, “Karaeng Yang Berhati Mulia”.
Mungkin ada banyak contoh yang dapat dikemukakan dalam hubungan dengan orang yang berhati mulia, justeru pada saat situasi kenegaraan kita dilanda dengan berita tawuran yang menyebabkan kematian, tontonan konspirasi pencegahan pemberantasan korupsi , dan keadaan mengerikan lainnya yang justeru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya berhati “mulia”.
Sungguh agak susah masuk dalam pikiran sehat kita, betapa dalam satu bulan terakhir sudah tiga orang “maha”siswa meninggal dunia karena tawuran antar sesama “maha”siswa. Bukankah “maha” itu adalah predikat yang amat tinggi yang seyogyanya disakralkan? Bukankah predikat “maha” itu biasa digandengkan dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kuasa, dan seterusnya? Bukankah mereka ini telah dipimpin oleh Rektor dan Dekan dengan predikat “Maha”guru, dan dididik oleh para “Maha”guru pula? Lalu, mengapa semua ini terjadi? Pertanyaan lainnya, kemana lagi calon pemimpin ini akan dididik kalau perguruan tinggi sudah tidak bisa memberikan jaminan keselamatan anak didiknya? Dan, apakah ilmu tawuran yang diperoleh di perguruan tingginya tersebut akan ditularkan kepada anggota masyarakat yang dipimpinnya? Atau kepada anak didiknya seandainya yang bersangkutan menjadi pendidik?
Kita juga semakin muak dengan ulah para “Yang Mulia” dalam mempertontonkan kelihaiannya membela sesamanya seraya menyalahkan orang lain seakan-akan orang lain telah bersalah menggiring persoalan agar dilemahkan institusi pemberantas korupsi. Sungguh, semakin “Yang Mulia” ini berkelit membela diri seraya menyalahkan pihak lain semakin kentara adanya konspirasi diantara mereka, dan semakin geram para penonton dengan ulahnya itu. Adakah mereka kelihatan berdosa? Sama sekali tidak. Mereka tetap membela diri seakan sangat suci, tentu saja demi pencitraan! Lalu, kemana tanggung jawab yang disandang itu sebagai “Yang Mulia”. Untunglah, karena masyarakat kebanyakan masih lebih banyak yang memiliki hati mulia, mendesak kepada mereka untuk berubah pikiran yang pada akhirnya membatalkan konspirasinya itu, bahkan menyetujui pembangunan gedung dan fasilitas pemberantasan korupsi. Untunglah, bahwa ulah mereka yang seharusnya diteladani, tetapi tidak diteladani oleh masyarakat.
Hari-hari terakhir ini media massa dihiasi dengan begitu banyak berita tentang dugaan penyalahgunaan narkoba oleh para oknum “Yang Mulia”, hakim pengadilan negeri. Yang bersangkutan kedapatan oleh Badan Narkotika Nasional sedang berpesta narkoba, dan telah mengeluarkan uang sekitar sepuluh juta rupiah untuk itu, pada hal gajinya sebulan tidak mencapai jumlah itu. Ada dua hal yang membuat kita jadi dongkol dari perbuatan itu yaitu kelakuannya sebagi “Yang Mulia” seyogyanya diteladani, jauh panggang dari api.. Yang kedua ialah patut ada dugaan bahwa yang bersangkutan mendapat uang sampingan dari perbuatan tercela dari orang yang diadilinya, atau mendapatkan keuntungan dari perdagangan narkoba. Yang terakhir ini sungguh-sungguh sangat potensial mendatangkan bencana bagi bangsa yang meracuni generasi kita berikutnya. Nauzubillah.
Sungguh mereka semua ini mungkin tak sadar apa makna yang terkandung dalam predikat itu betapa besar tanggung jawab dalam menyandang predikat “Yang Mulia” itu,
Mungkin ada baiknya kita semua merenungkan apa sesungguhnya makna kata “Yang Mulia” itu, dan hubungannya dengan ketata negaraan kita pada masa lampau di Sulawesi.
Pada masa lampau, pada sebagian komunitas Makassar memberikan predikat “Karaeng” kepada para pemimpinnya. Contohnya misalnya: Karaeng Bangkala, Karaeng Binamu, Karaeng Galesong, Karaeng Pattingaloang dan sebagainya.
Perbincangan sesama anggota group “Sulapa” pernah mempertanyakan dan mengangkat diskusi tentang “Makna Karaeng”. Berdasarkan penjelasan dari seorang ustadz saya nyelutuk bahwa “Karaeng” berasal dari bahasa Arab Al Kariem yang berarti Mulia, sebagai sifat dari Allah SWT. Sebagai “Karaeng” maka beliau ini sangat amanah akan predikat yang disandangnya sehingga menjaga jangan sampai menyimpang dari sifat itu.
Sebagai penyandang sifat “Yang Mulia” dari Allah SWT, maka  Karaeng-2 dahulu sangat takut untuk berbuat menyimpang dari sifat itu, karena yakin dan takut dilaknat oleh pemilik nama “Yang Mulia” yaitu Allah SWT. Keyakinan ini merupakan suatu  “Kearifan Lokal” yang seyogyanya dilestarikan sebagai bagian dari sila pertama Pancasila: Keyakinan akan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sungguh sangat bertolak belakang dengan predikat “Yang Mulia” yang disandang oleh segelintir orang yang mewakili kita yang begitu tega menyunat dana yang seharusnya dipakai untuk kepentingan orang banyak yang miskin, demi memuaskan nafsu politiknya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan feodalisme dengan mengangkat lembaga “Karaeng” sebagai pemimpin pemerintahan karena hal itu tidak dimungkinkan oleh sistem ketatanegaraan kita. Justeru karena sistem ketata negaraan maka “Karaeng” ini tidak seharusnya lagi disandang hanya karena alasan keturunan. Artinya, seseorang yang memang keturunan Karaeng dapat menyandangnya kalau sifat-sifat “Yang Mulia” itu tetap dimilikinya, bahkan yang bukan turunanpun mestinya dapat menyandangnya jika memiliki sifat itu. Sebaliknya, dengan sistem ketata negaraan itu juga yang telah memberikan gelar “Yang Mulia”, mestinya ditinjau kembali apabila penyandangnya jauh, atau menjauhi sifat-sifat yang mulia tersebut.

KUE DODORO DAN BANNANG-BANNANG, KUE TELADAN



Pada suatu rencana akad nikah dalam rangka perkawinan seorang bangsawan, salah seorang anggota “dewan adat” mencari “dodorok”, dan ternyata kue itu tak ada dalam bawaan (“erang-erang”) pengantin laki-laki. Anggota adat ini menunjukkan kekecewaan dan kemarahannya dan memberikan ancaman dengan menyatakan secara tegas bahwa kalau kue “dodorok” itu tak berhasil diadakan maka acara pernikahan ditunda, bahkan dapat dibatalkan. Tentu saja para pembawa “erang-erang” menjadi panik. Pada hal antara calon pengantin masih dalam keluarga yang sangat dekat, sepupu dua kali.
Pembuka tulisan ini merupakan suatu refleksi betapa “dodorok” sebagai kue bawaan (“erang-erang”) dalam acara pernikahan Makassar sangat besar artinya. “Dodorok”adalah kue “picuru”.Picuru menurut pendapat saya adalah “keteladanan”, sehingga kehadirannya dalam acara akad nikah sangat besar artinya.
Apakah sesungguhnya “dodorok” itu sehingga oleh kalangan orang Makassar dipandang sebagai penentu atau syarat sahnya suatu bawaan perkawinan? Bukankah, “dodorok” itu hanyalah sejenis kue orang kampung yang hampir dikenal oleh suku bangsa lain di Indonesia ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan “dodol”? Bukankah, dia hanya kue tradisional dengan rasa manis-gurih-renyah, warna hitam kemerah-merahan, yang bahan-bahannya terdiri atas tepung beras ketan, gula aren, santan kelapa yang diproses di atas wajan besar oleh beberapa orang laki-laki yang bergantian berduaan “akkaleo”? Lalu, apanya yang istimewa sebagai kue pengantin?
Prof Supriadi Hamdat, seorang budayawan yang teramat menguasai seluk beluk kue tradisional dapat menarik kesimpulan bahwa “dodorok” sebagai kue “picuru” adalah syarat mutlak sebagai bawaan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan, selain kue picuru lainnya.
Dalam suatu acara perkawinan, penulis menyaksikan sendiri seorang anggota dewan adat kerajaan setempat menjelaskan makna “dodorok” sebagai symbol bawaan. Dengan bersemangat beliau menyatakan bahwa siapapun yang makan kue ini pasti akan merasa senang karena rasanya memang enak. Proses pembuatannya juga unik, karena dilakukan secara bergotong-royong, bukan hanya keluarga yang membuatnya akan tetapi dibantu oleh tetangga lainnya. Itu maknanya yang pertama.
Yang kedua ialah bahwa “dodorok” merupakan perpaduan dari beras (padi) sebagai symbol kehidupan bagi orang Makassar. Bagi orang Makassar, modal utama untuk bisa hidup mandiri adalah beras sehingga tingkat sosialnya dapat diukur dengan seberapa luas tanah persawahan yang dimilikinya. Beras ketan ini dipadu dengan gula (aren). Gula adalah lambang kebahagiaan bagi orang Makassar, dan kalau gula itu dipadu dengan kelapa (santan), maka sempurnalah kesenangan dan kebahagiaan itu. Hal ini sering diungkap dengan kata-kata:”Rampea golla nakurempoko kaluku”, yang artinya kalau kamu memberikan kesenangan kepada saya maka akan kubalas dengan kebahagia-an.
Oleh Prof Supriadi Hamdat (dalam bukunya: Budaya Pangan Gaya Hidup Keluarga Makassar, ASPublishing 2010) dikatakan bahwa antara beras, gula dan santan ini dimasak, diaduk sampai bersatu padu secara gotong royong di atas perapian (“nikaleo”) dengan suasana gembira-ria. Penulis sewaktu kecil menyaksikan prosesi ini, sempat kaget mendengar “kegaduhan” karena begitu gembira orang-orang yang mengerjakan itu sambil bersorak-gembira, tiada beban. Tanda-tanda bahwa “dodorok” itu telah matang apabila telah dapat berpisah secara sempurna dengan wajan tempat memasaknya. kemampuan berpisah dari wajan besar sebagai pertanda kematangan dari “dodorok”, adalah symbol bahwa calon pengantin laki-laki itu adalah benar-benar telah siap mandiri, berpisah dari “rumah” tempat dia ditempah selama ini. Simbol kemandirian tetap mereka harus pegang, walau orang tua khususnya orang tua laki-laki tetap mengawal biduk keluarga baru ini agar tidak oleng.
Oleh Syamsul Salewangang yang juga seorang budayawan dan pemerhati kearifan lokal dinyatakan bahwa: jika saja ‘kabar ini’ tersebar luas di masyarakat kita, maka smakin cerahlah kehidupan ini. Ada sedikit makna yg tersembunyi yg dapat sy tangkap dari uraianta al : 1. proses pengadukan adonan dodorok supaya matang….sesungguhnya proses mendidk anak supaya mereka menjadi mandiri/matang haruslah dilakukan secara bersama-sama oleh keluarga dan masyarakat setempat….bukan oleh orang tua sendiri….2. perpaduan/percampuran beras, gula aren, santan dan air menjadi dodorok yg berwarna hitam bermakna bhw sifat-sifat istimewa yang dibawah masing-masing keluarga yg akan berkawin, haruslah larut dalam satu pembauran yg sempurna, menunggalkan keegoisan/keakuan masing-masing pihak…..dan bahkan rela menjadi HITAM…….hhhhmmm……begitu mulia pesan2 yg disimbolkan oleh leluhur kita…
Setelah matang, maka “dodorok” ini diangkat dan dipindahkan ke wadah yang lain untuk dibentuk dengan ukuran tertentu, kurang lebih seperti piring-ikan perbuah, dengan alas daun pisang kering. Daun pisang kering ini rupanya mempunyai makna tersendiri.  Kalau pada tulisan tentang “Akmata-mata Korontigi” (Memaknai Kehidupan & Kearifan Lokal) yang menjadi simbol adalah pucuk daun pisang sebagai penerus generasi, maka yang dipakai sebagai pengalas “dodorok” justeru daun pisang kering sebagai simbol bahwa walau sudah uzur, orang tua akan tetap mengawal pengantin laki-lakinya dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Orang Makassar memang terkesan tetap ikut bertanggung jawab bersama dengan anak laki-lakinya dalam membina rumah tangga.
“Dodorok” sebagai simbol dalam acara perkawinan, walau banyak bahan bakunya terdiri atas beras, gula, dan santan, tetapi telah meninggalkan warna aslinya. Dia tidak lagi membawa warna putih untuk beras, warna merah untuk gula dan warna putih untuk santan. Dia telah membawa warna tersendiri sebagai identitasnya yaitu warna hitam bercahaya, walau tetap dengan rasa manis, gurih dan kenyal. Tampaknya menghilangnya warna semula adalah harapan besar bagi pengantin dalam pergaulannya nanti dalam keluarga barunya agar tampil dengan warna sendiri. Dia, sebagai keluarga baru tidak boleh lagi membeda-bedakan bahwa keluarga isterinya adalah warna merah, dan keluarga suaminya adalah warna putih. Mereka sudah larut dalam keluarga yang lebih luas dengan warna yang khas. Keluarga isterinya, juga adalah keluarga suaminya. Mereka tiada beda antara satu dengan lainnya, walau pada hakikatnya mereka berasal dari keluarga berbeda.
“Dodorok” sering juga dimaknai sebagai kue kesempurnaan = empat dimensi (“sulapa appak”). Sebelum dilakukan pemasakan maka dibuat tunggku dengan menggali tanah, kemudian dimasak dengan api. Untuk keseimbangan nyala api maka dibuat “timburung” dari bambu yang berfungsi meniupkan angin pada api. Untuk menjaga kekentalan adonan digunakan air. Jadi, unsur tanah, api, angin dan air terdapat di dalamnya.
Pada saat acara prosesi selesai, “dodorok” ini dibagi kepada hadirin, yang diterima dengan sangat senang hati. “Dodorok” ini dibawa pulang sebagai ole-ole terutama bagi mereka yang masih mempunyai anak laki-laki, atau anak perempuan yang masih belum kawin, diberikan untuk dimakan oleh mereka dengan harapan kiranya anak yang belum kawin ini mengikuti jejak dari pemilik “dodorok” ini agar juga segera menikah.
Rupanya, kehadiran “dodorok” sebagai bawaan pengantin laki-laki adalah “alat peraga” dari dewan adat kepada para hadirin dalam acara akad nikah tersebut sehingga ketidak hadirannya sebagai alat peraga sangat mempengaruhi “presentasinya” dalam menjelaskan seluk beluk dan makna per-kawinan. Akan tetapi yang terpenting ialah bahwa “dodorok” sebagai “picuru” tetap sangat essensiil dalam acara ini.
Seorang teman pernah menyarankan agar “dodorok” ini dapat dijadikan “kue picuru” dalam pesta demokrasi pada kabupaten yang mayoritas bersuku Makassar. Apa relevansinya? Teman ini menyatakan komentarnya bahwa sebaiknya “warna” kuning, merah, biru dan warna lainnya kalau telah menyatu dalam “perkawinan politik” sebagai anggota dewan perwakilan rakyat seyogyanya berubah menjadi warna tersendiri, yaitu warna “khas rakyat yang diwakilinya”.
Selain “dodorok”, juga ada “bannang-bannang” . Oleh seorang budayawan yang berpengetahuan luas dan dalam: Bate Manriwa Gau’ menyebutnya sebagai kue bangsawan: Antara lain beliau menulis:            “Angtu Bannang-bannangnga Nak, Kanrejawa Karaeng..Kasaba’                      tani asseng pokokna, tani asseng cappakna, rellai tani asseng manna          mamo tekne naerang..).  Maknanya: seorang manusia status Karaeng,                 tak terlalu mempermasalahkan..apakah org tahu atau tidak siapa dia,              dan dia ikhlas akan hal itu, dia tak terlalu mempermasalahkan walau               jelas-jelas manis yg dibawa dalam masyarakat…
kue ini bagai benang kusut…boleh jadi setiap manusia kebanyakan akan mempertanyakan asal usulnya, namun kepada dirinya dia tahu bahwa Sang Maha menciptakkannya tahu siapa dia sebenanrnya..

Jumat, 28 Desember 2012

AKSARA LONTARA YANG TERABAIKAN ZAMAN

Salah satu bahasa daerah yang cukup beruntung adalah bahasa Makassar (Bugis). Dikatakan cukup beruntung karena bahasa daerah ini memiliki aksara yang dapat merekam atau mencatat nilai-nilai luhur (indigeneous knowledge) yang disebut pasang 'pesan-pesan'; panngadakkang (Makassar) atau panngaderreng (Bugis) "adat istiadat".

Hasil catatan atau manuskrip tersebut disebut lontarak. Aksara Makassar (Bugis) digunakan mencatat manuskrip-manuskrip dikenal dengan sebutan aksara lontarak. Selain itu, dijumpai pula manuskrip yang ditulis dalam aksara yang dikenal dengan aksara serang.

Aksara lontarak merupakan lambang identitas daerah dan alat transformasi nilai-niiai luhur yang sangat berharga (indigenous knowledge). Aksara lontarak adalah salah satu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata budaya daerah. Selain itu, dapat menjadi aset dan sumber pengembangan budaya nasional.

Selanjutnya, sebagai aset kekayaan budaya, tentu saja, perlu diketahui mengapa dinamai aksara lontarak; dari mana asal usulnya; dan niiai budaya yang terkandung di dalam lontarak tersebut. Untuk itu, makalah ini berusaha mengungkapkan hal tersebut seperti dalam uraian berikut.

Pembahasan

1. Mengapa Dinamai Aksara Lontarak?

Dari hasil kajian pustaka diperoleh informasi bahwa naskah kuno Makassar (Bugis) ada yang ditulis dengan aksara lontarak dan ada yang ditulis dengan aksara serang. Dinamai aksara lontarak karena memang dulu peristiwa-peristiwa ditulis pada daun lontar. Frasa daun lontar sepadan dengan raung = daun dan talak = lontar menjadi rauttalak atau rontalak dalam bahasa Makassar (dari bahasa Jawa atau bahasa Melayu). Kata rontalak mengalami proses metatesis menjadi lontarak (Basang, 1972: 10; Abidin, 1983: 109; Pelras, 2006: 232), Dalam bahasa Makassar sehari-hari dikenal dengan sebutan lekok talak.

Selanjutnya, disebut pula sebagai aksara serang (huruf Arab) karena kesusasteraan Makassar (Bugis) ditulis dalam aksara Arab sebagai pengaruh dari agama Islam dan kesusasteraan Islam yang datang ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17 (Mattulada, 1991b: 69). Beliau menduga kata serang itu berasal dan kata Seram (Palau Seram). Dahulu orang Makassar (Bugis) selalu berhubungan dengan orang Seram yang Iebih dulu rnenerima agama Islam.

2. Arti Lontarak

Dalam perkembangan selanjutnya, kata lontarak dapat mengandung arti bermacam-macam sesuai dengan konteks kalimatnya. Manyambeang (1996: 32) merincinya sebagai berikut.

a. Lontarak dapat berarti aksara, seperti dalam kalimat:
Appilajaraki lontarak.
belajar dia lontarak
(dia belajar huruf lontarak)

b. Lontarak dapat berarti naskah, seperti dalam kalimat;
Ciniki ri lontaraka.
'Lihat isi di lontarak' (lihatlah di lontarak)

c. Lontarak dapat berarti buku bacaan, seperti dalam kalimat,
laminne lontarakna I Kukang.
'inilah buku bacaan i Kukang'
(inilah buku bacaan (yang berjudul) i Kukang).

d. Lontarak dapat berarti catatan, seperti dalam kalimat:
Boyai ri lontarak bilanga.
`carilah pada lontarak bilang' (Carilah pada catatan harian)

3. Asal Usul Aksara Lontarak Makassar

Dari hasil penelusuran pustaka yang tersedia dijumpai beberapa pendapat tentang perkembangan aksara Makassar (Bugis). Pendapat-pendapat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Pendapat H. Kern.

H. Kern (1882) berpendapat bahwa aksara Makassar (Bugis) bersumber dan huruf Sanskrit yang disebut Dewanagari. Aksara Dewanagari dapat dilihat sebagai berikut .



b. Dalam Kamus Linguistik susunan Kridalaksana (1982: xx) ditunjukkan silsilah aksara yang penting, seperti berikut.


Menggambarkan Aksara Palawa sebagai berikut :


c. Pendapat Matthes dan Raffles.

Holle (1882) mengutip bentuk aksara yang dikemukakan oleh Matthes dan' Raffles, sebagai berikut :

1. Bentuk yang dikemukakan Matthes :

2. Bentuk yang dikemukakan Raffles :


Bentuk aksara yang dikemukakan, baik Matthes maupun Raffles biasa juga disebut lontarak kuno atau het oude Makassaarche letterschrift (Mangemba dan Tenribali (Ed.), 1966: 49). Bentuk lontarak kuno dan lontarak baru dapat dikatakan jauh berbeda sehingga perlu dipertanyakan apakah lontarak kuno yang mengalami proses perubahan menjadi lontarak yang digunakan sekarang.

d. Pendapat Ahli Kebudayaan Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan.

Mattulada (dalam Manyambeang, 1996: 29) merasa yakin bahwa aksara Bugis Makassar berasal dan aksara Dewanagari yang diperbaharui oleh Daeng Pamatte (syahbandar kerajaan Gowa). Sejalan dengan pendapat itu, Basang (1972: 11) mengemukakan beberapa persamaan aksara Dewanegari dengan aksara Makassar, yaitu keduanya huruf silabis; keduanya menggunakan alat bantu untuk menyatakan bunyi /i, e, o, dan u/; keduanya ditulis dari kiri ke kanan. Adapun Yatim (1983: 5) memperhatikan susunan abjadnya. Dia mengakui bahwa pengaturan abjad lontarak telah sampai kepada kesadaran linguistik yang amat maju dan amat mirip dengan pengaturan abjad Sanskerta, yang membedakan hanya bentuknya.

Selanjutnya, Mattulada (1991a: 68-9) menjelaskan bahwa terdapat anggapan di kalangan orang Makassar (Bugis) berkaitan dengan penciptaan tanda-tanda bunyi yang kemudian disebut aksara lontarak dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan yang berpangkal pada mitologis orang Makassar (Bugis) yang memandang alam semesta ini sebagai bolasuji (Bugis) atau "sulapak appak" (Makassar) yang berarti `segi empat belah ketupat'. Sarwa alam ini merupakan satu kesatuan yang dinyatakan dalam simbol S = sa yang berarti seua (tunggal atau esa). Demikian pula segala tanda bunyi dalam aksara lontarak bersumber dari s = sa (Museum Nasional, 10/MP/NAS/76: 21; Mattulada, 1991: 4-85).

Simbol “s” ini menyimbolkan mikrokosmos sulapa eppana taue "segi empat tubuh manusia'. Bagian puncak terletak kepala, tangan kiri, tangan kanan; dan bagian ujung bawah adalah kaki. Simbol S itu merupakan pengejawantahan pada bagian kepala yang disebut sawwang (SW) berarti mulut. Dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan yang disebut sadda (sd) berarti bunyi. Bunyi-bunyi itu disusun sehingga bermakna yang disebut ada (ad) berarti kata, sabda atau titah.

Segala sesuatu yang meliputi keseluruhan tertib kosmos/sarwa alam diatur melalui ada (ad). Dengan penambahan artikel definit E menjadi ada'e (adea) yang menjadi pangkal kata adek (adEE). Adek adalah sabda (penertib) yang meliputi sarwa alam (5) sehingga disebut dalam kata-kata hikmat pasang sebagai berikut.

sd mpbti adE adE mpbti gau gau mpbti tau
sadda mappabbatik ada ada mappabbatik gauk
gauk mappabbatik tau

Artinya:

Bunyi mewujudkan kata
Kata mewujudkan perbuatan
Pperbuatan mewujudkan manusia

Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang biasa disebut urupu sulapak appak seperti berikut.


Pendapat lain yang bersumber dari Lontarak Patturioloanga ri Tugowaya, seperti yang disinyalir (Manyambaeng, 1996; Basang, 1972) yang berbunyi sebagai berikut.

aiyp aen krea auru aperki rp bicr timu timu ri buduk.
sbnrn mien kreaG nikn dea pmet. aiy sbnr, ay tumaill, aiytomi dea pmet aperki Iotr mksr.
...iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka. sabannarakna minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannarak, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontarak Mangkasarak.

(.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang. Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia juga Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat lontarak Makassar)
.
Dalam lontarak di atas terdapat kata ampareki yang dapat berarti `membuat atau menciptakan', `menjadikan atau menyederhanakan'. Jadi, apabila kata ampareki diartikan menciptakan/membuat, dapatlah diartikan membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa aksara Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte yang diilhami oleh pandangan hidup orang Makassar (Bugis) sendiri, yaitu sulapak appak.

Sebaliknya, jika kata ampareki diartikan `menyederhanakan atau memodifikasi', dapat diasumsikan bahwa Daeng Pamatte menyederhanakan atau memodifikasi dari bentuk aksara yang sudah ada sebelumnya (aksara Sanskrit/Dewanagari, huruf Pallawa, dan bentuk aksara yang dikemukakan Matthes atau Raffles) menjadi aksara lontarak baru yang ada sekarang.

Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern (dalam Manyambeang 1996: 3) beranggapan bahwa lontarak di Sulawesi Selatan ada persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti aksara Lampung, Rejang, Batak, dan Pasemah. Berdasarkan informasi ini dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan aksara Makassar baru merupakan hasil penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, aksara Batak, aksara Makassar, dan aksara rencong hampir serupa. Bahkan kadang-kadang agak sulit dibedakan ketiga bentuk aksara tersebut.

Di dalam buku Sejarah Melayu disebutkan tentang peperangan raja Mangkasara yang bernama Samarluki (Saman Rukka) ke Malaka dan daerah jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, ia berhasil membawa harta rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang (Brown dalam Reid, 2004: 147; Museum nasional, 10/MP/NAS/76: 24).

Tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat orang-orang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dari merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya, mereka meniru atau menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud tulisan Makassar sekarang.

e. Nilai Budaya dalam Lontarak: Perspektif Antropolinguistik

Sistem nilai atau nilai-nilai dalam masyarakat merupakan suatu konsep abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang balk. Pepper (dalam Djajasudarma 1997: 12) menjelaskan bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi seleksinya.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Nilai budaya ini diasosiasikan secara turun-temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lain. la dianggap sebagai pedoman manusia dalam bertingkah laku dalam sistem sosialnya. Jadi, sistem nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat.

Djajasudarma. dkk. (1997: 13) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat, meresap, dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat. Berkaitan dengan hal tersebut, Sumardjo (dalam Oktavianus 2006: 117) menyatakan sebagai berikut:

Filsafat orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di batik pepatah-petitih, di batik rumah-rumah adat, di batik upacara-upacara adat, di batik mitos-mitos tua, di balik ragam hias pakaian yang mereka kenakan, di batik tarian mereka, di balik musik yang mereka mainkan, di balik persenjataan, dan balik sistem pengaturan sosialnya.

Dari pernyataan di atas, bahasa melalui pepatah-petitih merupakan medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai (value). Peribahasa merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya (Dundes dan Arewa dalam Oktavianus, 2006: 117). Sepadan dengan pendapat itu, Duranti (1997: 25; Foley, 1997: 16) menjelaskan bahwa bahasa mengategorisasi realitas budaya.

Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktek-praktek budaya dalam suatu masyarakat. Model-model budaya yang dimaksud di sini mencakup mentalitas kerja, sikap, perilaku, etika, dan moral. Berikut ini diberikan beberapa contoh pepatah atau kelong yang mengandung model budaya yang dimaksud.

Motivasi Berusaha dan Bekerja

Untuk memenuhi kebutuhannya manusia diisyaratkan rajin berusaha. Kelong berikut mengandung makna yang mencerminkan motivasi berusaha sebagai salah satu praktek budaya dan paling tidak merupakan cerminan realitas sebagaimana dijelaskan Duranti di atas.

puun kutuai tauw punna kuttui taua
neta sulu soGon natea suluk songokna
tean todo taena todong
titi soGo Inty titti songok la natayang.

Terjemahan: Kalau orang malas
Tidak mau keluar keringatnya Tidak ada juga
Tetes keringat yang ditunggu.
Kelong di atas mencerminkan bahwa kalau orang malas bekerja, tentu saja, tidak ada hasil yang akan diperoleh. Kelong ini sepadan dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia "Siapa yang menanam, dia akan menuai".

Rasa Solidaritas

Solidaritas merupakan integrasi sosial yang didasarkan kepada interdependensi okupansional, persamaan-persamaan, dan bahkan juga pada perbedaan-perbedaan komplementer (Soekanto dalam Oktavinus, 2006: 119). Integrasi sosial dapat diartikan sebagai kesetiakawanan, kebersamaan, dan kekompakan dalam menghadapi suka duka.

meaki kismturu maekik kissamaturuk
kiemet bulo sibt kirnmenteng bulo sibatang
nmtumtu nakmatu.-matu
bett aGod del baieta anngondang dallek

Terjemahan: Mari kita bersama-sama Berdiri sebatang bamboo
Supaya berguna
Cara kita mencari rezki.

Kelong tersebut mencerminkan bahwa dalam mengerjakan suatu pekerjaan, sebaiknya kita mengadakan kerja sama dengan orang lain agar pekerjaan itu cepat selesai dan berhasil.

Etika, Moral, dan Sopan Santun

Etika falsafah atau hukum membedakan hal yang baik dan yang buruk dalam kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran baik buruknya tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri, dan kedisiplinan tindakan (Dreyer dalam Oktavianus, 2006: 124). Adapun kesopanan yang terkandung dalam bahasa mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa atau tingginya martabat seseorang (Poedjosoedarmo, 2001: 186). Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan berikut.

nikny sulp apn tauw aiymitu niy sirin niy pecn niy pGlin n niy
pGdkn nikanaya sulapak appakna tau, iamintu niak sirikna,
niak paccena.
niak panngalikna, na niak panngadakkanna.

Terjemahan: Yang disebut kesegiempatan manusia ialah manusia yang memiliki harga diri, memiliki rasa kesetiakawanan, menghargai orang lain, dan memiliki sifat sopan santun.

Dalam ungkapan di atas tercermin konsep sipakatau `sating menghargai', konsep sirik 'harga diri', konsep pacce 'kesetiakawanan', konsep panngalik 'perasaan hormat', dan konsep panngadakkang 'adat-istiadat/sopan santun'. Konsep sipakatau `sating rnenghargai' menjadi inti atau pangkal dalam interaksi sosial sesuai dengan nilai-nilai positif yang ada dalam budaya Makassar.

Konsep sink `harga diri adalah suasana hati dalam masyarakat, bukan semata-mata sebagai "pertahanan martabat diri" yang ditimbulkan secara emosional dari simultan nilai-nilai khusus. Konsep pacce `solidaritas' adalah iba hati melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau tekanan batin atas perbuatan orang lain atau sejenisnya.

Kedua konsep ini merupakan sikap moral yang menjaga stabilitas dan berdimensi harmonis agar tatanan sosial atau adat istiadat berjalan secara dinamis (Hamid, 2003: xii). Konsep panngalik 'perasaan hormat adalan rasa hormat kepada seseorang atau sesuatu yang dianggap bersih dalam arti luas.

Konsep panngadakkang 'adat-istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial dalam masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat (Wahid, 1992: 89). Jika seseorang berhasrat akan melakukan sesuatu, segala rencana terpuiang pada adat.

Adatlah yang merupakan penentu patut tidaknya sesuatu yang akan dilakukan. Keputusan yang diputuskan sesuai dengan proses adat, maka semua pihak dapat menerimanya, sebagaimana terungkap dalam ungkapan "punna panngadakkang taena erokku, taena kulleku" `jika sudah menyakut ketentuan yang sudah diadatkan, tidak berlaku kemampuanku'.

Penutup

Lontarak merupakan lambang identitas daerah, mengandung nilai-nilai luhur yang sangat berharga. Lontarak merupakan salah satu aset kekayaan budaya daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata budaya.

Berkaitan dengan asal usul lontarak Makassar terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Oleh krena itu, disarankan perlu kajian yang lebih akurat sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

• Abidin. Zainal. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum. Negata dan Dunia luar. Bandung: Penerbit Alumni.
• Basang, Djirong. 1972. Fonemik Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Lembaga Bahasa Nasional Cabang 111
• Djajasudarma T. Fatimah, dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
• Duranti, Aessaridro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
• Foley, Wilham A. 1997. Anthropology Linguistics: An Introduction. New York: Blackwell.
• Hamid, Abu. 2003. "Sid' Butuh Revitalisasi'. Dalam Mustafa. dkk.,.(Eu.) Sini dan Passe: Harga Did Orang Bugis. Makassar, Mandar dan Toraja. Makassar: Pustaka Refleks.
• Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamaus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
• Maknun, Tadjuddin, 1991. "Beberapa Catatan tentang Perkembangan Aksara Makassar". Makalah Disajikan pada Seminar Sehari dalam Rangka Dies Natalis ke-32 Fak. Sastra Unhas, 9-11-1991.
• 2007. "Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk Memudahkan Pemahaman Kandungan Lontarak". Makalah Disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-bahasa Daerah se-Sulawesi Selatan pada 22-25 Juli 2007 di Hotel Clarion Makassar.
• Manyambeang, Kadir. 1996. "Lontaraq Riwayaqna tuanta salamaka ri Gowa: Suatu Analisis Linguistik Filologis". Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
• Mattulada. 1991a. "Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di Sulawesi. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia No. 43 Th. XV Januari-April 1991.
• 1991b. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
• Museum Nasional. 1976. "Mengenal Aneka Ragam Tulisan Daerah di Indonesia". Jakarta: Direktorat Museum, Ditjen Kebudayaan Depdikbud No. 10/MP/NAS/76.
• Oktavianus. 2006. "Nilai Budaya dalam ungkapan Minangkabau: Sebuah Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik". Jurnal Linguistik Indonesia Tahun ke-24, Nomor 1. Jakarta: MLI bekerja sama dengan Obor Indonesia.
• Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
• Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
• Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
• Wahid, Sugira. 1992. "Metafora Bahasa Makassar". Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
• Yatim, Nurdin. 1983. "Subsistem Honorofik Bahasa Makassar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik". Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,. Direktorat Pembinaan Penelitian, dan Pengembangan dalam Masyarakat.

Lebih lengkapnya dapat anda simak di : http://www.scribd.com/doc/33628335/Aksara-Lontara-Kebudayaan-Asli-Sulawesi-Selatan ..

Dibawakan oleh Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. (sumber http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/527)

Kamis, 27 Desember 2012

TANTANGAN MAL PRAKTEK DAN PELAYANANNYA

Globalisasi, yang pada umumnya diartikan sebagai terbukanya negara-negara di dunia ini bagi produk-produk yang datang dari negara manapun, mau tidak mau harus kita hadapi. Kalau kita tidak mau ketinggalan dalam perkembangan dunia ini, kita harus siap menerimanya, sekalipun globalisasi ini risikonya besar, karena banyak yang perlu diubah atau disesuaikan di negeri kita ini, yang mungkin berakibat buruk, juga: suatu dilema.
Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara berkembang dan globalisasi asalnya dari Barat, sedangkan antara negara maju dan negara berkembang terdapat kesenjangan, maka tidak mustahil bahwa lndonesia akan Iebih berperan pasif sebagai penerima barang atau jasa dari pada sebagai pemberi dalam proses globalisasi ini. Dimungkinkan masuknya barang-barang dari dan ke negara manapun berarti bahwa kita harus mampu dan berani bersaing. Dengan perkataan lain globalisasi berarti persaingan bebas. Dampaknya akan luas dan berpengaruh pada seluruh kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, tidak terkecuali dalam bidang pelayanan jasa kesehatan. Oleh karena itu datangnya arus globalisasi harus diantisipasi dengan persiapan-persiapan yang mantep.
Sejak terjadinya peristiwa dr Setianingrum di Pati pada tahun 1981, banyak tuntutan atau gugatan ganti rugi diajukan terhadap dokter dengan alasan malpraktek. Sekalipun dr Setianingrum diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang, namun peristiwa tersebut sudah terlanjur membuat resah para dokter. Para dokter resah, karena takut bahwa malpraktek itu setiap saat dapat dituduhkan pada dirinya juga. Bahwasanya para dokter itu resah dapat difahami oleh karena kebanyakan tidak memahami hukum dan kata malpraktek itu sendiri masih belum jelas serta menimbulkan pelbagai penafsiran.
Apa yang dimaksud dengan malpraktek secara umum kita jumpai dalam pasal 11 UU no.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu:
a. melalaikan kewajiban
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seseorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini. Masih belum cukup jelas rumusan malpraktek tersebut di atas, karena terlalu umum.
Secara lebih kasuistis kita jumpai dalam Undang-undang no.23 tahlm 1992 tentang Kesehatan dalam Bab X tentang Ketentuan Pidana (pas.80 - pas. 84).
Kalau malpraktek yang disebutkan pertama dikenai sanksi administratif maka yang kedua dikenai sanksi pidana. Di samping itu masih ada malpraktek yang sanksinya berupa membayar ganti rugi (perdata).
Hubungan terapeutik antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing. Dokter mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula pasien mempunyai hak dan kewajiban.
Yang menjadi hak pasien antara lain ialah: hak menerima, menolak dan menghentikan pengobatan dan perawatan, hak atas rahasia, hak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan sebagainya. Sedangkan kewajiban pasien ialah memberi informasi sekengkap-lengkapnya mengenai penyakitnya kepada dokter, menghormati privacy dokter, memberi imbalanjasa dan sebagainya.
Hak dokter dalam hubungan terapeutik ini antara lain: hak atas informasi pasien mengenai penyakitnya, hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya secara profesional, hak atas iktikat baik pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik, hak atas privacy, hak atas imbalan jasa dan sebagainya. Kewajiban dokter dalam menjalankan profesinya ialah antara lain: menghormati hak pasien, berupaya menyembuhkan dan meringankan penderitaan pasien serta memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi medik. Jadi agar dokter tidak dapat dipersalahkan dalam menjalankan kewajibannya dalam hubungan terapeutik dengan pasien ia harus menjalankan tindakan-tindakan mediknya sesuai dengan standar profesi. Adapun yang dimaksudkan dengan standar profesi ialah pedoman atau cara yang baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik rnenurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalarnan. Tidaklah rnudah untuk rnenentukan ukuran rnengenai standar profesi. Pada hakekatnya rnalpraktek merupakan kegagalan dalam hal dokter menjalankan profesinya. Tidak setiap kegagalan rnerupakan malpraktek, tetapi hanyalah kegagalan sebagai akibat kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik. Malpraktek mengandung dua unsur pokok, yaitu bahwa dokter gagal dalam menjalankan kewajibannya, dan bahwa kegagalan itu mengakibatkan luka atau kerugian.
Malpraktek disebabkan karena kurang berhati-hatinya atau lalainya dokter dalam menjalankan tugasnya. Tetapi tidak mustahil disebabkan karena kurang profesionalnya atau kurang cakapnya dokter yang bersangkutan. Ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak bermutu.
Tuntutan atau gugatan berdasarkan malpraktek tidak lain disebabkan oleh tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Dalam era globalisasi, dengan terbukanya pintu bagi tenaga pelayanan asing ke Indonesia maka kita hams bersaing. Maka oleh karena itu mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. lni berarti bahwa sumber daya manusianya harus tingkatkan.
Tidak dapat dicegah rnasuknya peralatan pelayanan kesehatan yang canggih, yang memerlukan tenaga kesehatan yang profesional untuk mengoperasikan peralatan canggih tersebut. Bukan hanya sekedar mengoperasikannya, tetapi juga mernperbaikinya kalau rusak. Tidak sedikit peralatan canggih yang didatangkan dari luar negeri di pelbagai instansi yang nongkrong karena tidak ada yang dapat mengoperasikannya atau rusak dan ;tidak ada yang dapat rnemperbaikinya. Ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan canggih dapat rnenghambat pelayanan kesehatan.
Apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diuraikan di atas ialah, bahwa yang perlu mendapat perhatian dalam kita menghadapi gIobalisasi di bidang pelayanan kesehatan ialah:
1. meningkatkan sumber daya manusia dengan:
-menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi
-studi Ianjut atau penataran bagi tenaga pelayanan kesehatan
-mendidik teknisi untuk dapat mengoperasikan dan memperbaiki peralatan
pelayanan kesehatan yang canggih
2. perlu diwaspadai dan dicegah adanya pengangguran khususnya dilingkungan tenaga pelayanan kesehatan
3. Pemerintah perlu mengadakan proteksi khususnya bagi tenaga pelayanan kesehatan



ACUAN Ameln, Fred -, Hukum Kesehatan , Suatu pengantar
Regan, M.D., LLB., Louis J.-, Doctor and Patient and the Law
Veronica Komalawati, S.H. MH., D -, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter

ETIKA PROFESI DAN PENEMUAN HUKUM

Apakah yang diharapkan dari Sarjana Hukum dengan pengetahuannya yang diperolehnya dari Fakultas Hukum dan bekerja dalam profesi hukum? Setelah menguasai pengetahuan itu apa yang dituntut dari seorang Sarjana Hukum? Hafal semua peraturan dan teori-teori yang telah diajarkan di Fakultas? Kalau sudah hafal lalu mau diapakan? Bagaimanakah mengoperasionalkan pengetahuan yang diperolehnya itu? Itulah beberapa pertanyaan yang jarang terpikirkan.
Di Fakultas Hukum diajarkan bidang-bidang hukum, seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dan masih banyak bidang-bidang hukum lainnya. Dari sekian banyak mata kuliah dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya apa yang diberikan di Fakultas Hukum atau apa sasaran studi hukum dan yang harus dikuasai oleh Sarjana Hukum adalah pengetahuan tentang kaedah hukum, sistem hukum dan penemuan hukum.
Kalau sudah menguasai segala pengetahuan yang diberikan di Fakultas Hukum apa yang kemudian harus dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan pengetahuan yang telah diperolehnya itu? Bagaimanakah seorang Sarjana Hukum mengoperasionalkan atau mempraktekkan pengetahuan yang telah diperolehnya itu?
Seorang Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik konkrit (masalah hukum), yang harus dipecahkannya. la harus menguasai peristiwa atau konflik itu dalam arti memahami dan mengerti duduk perkaranya dan kemudian menerapkan hukumnya. Maka oleh karena itu dengan pengetahuan yang telah diperolehnya itu Sarjana Hukum harus menguasai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal problems). Pada hakekatnya tujuan setiap ilmu adalah pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan untuk memecahkan masalah­-masalah hulum ini meliputi kemampuan untuk a). memutuskan masalah-masalah hukum (legal problem identification), b). memecahkan masalah-masalah hukum (legal problem solving) dan), c. rnengambil keputusan (decision making). Disamping harus rnenguasai kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum Sarjana Hukurn harus mampu pula mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap perkembangan hukum di dalam masyarakat. lni menunjukkan kepedulian akan perkembangan masyarakat atau perkembangan hukum.
Memecahkan masalah-masalah hukum bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan mudah. Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial termasuk masalah hukum. Masalah hukm itu harus diseleksi dari masalah-masalah sosial lainnya dan kemudian diidentifikasi atau dirumuskan. Kadang-kadang masalah hukum itu tumpang tindih dengan masalah-masalah sosial lainnya dan batasnya sering tidak dapat ditarik secara tajam (masalah agama dan masalah hukum). Kalaupun masalah hukumnya berhasil diseleksi dan dirumuskan, masih perlu diketahui dan ditetapkan lagi termasuk bidang hukum apa (penggelapan – pencurian, ingkar janji - perbuatan melawan hukum). Setelah masalah hukumnya dirumuskan -lebih tepatnya peristiwa konkretnya dikonstatasi- maka (peristiwa) hukumnya harus diketemukan dan ditetapkan serta kemudian hukumnya diterapkan terhadap peristiwa hukumnya dan kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum
Mengapa harus dilakukan penemuan hukum? Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya, terutama hukum tertulisnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka hukumnya perlu dicari perlu diketemukan. Oleh karena itu diperlukan penemuan hukum. Telah luas diketahui bahwa (peraturan) hukum itu tidak jelas dan tidak lengkap. Tidak mungkin ada peraturan hukum yang lengkap selengkap-Iengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Hal ini memang wajar oleh karena kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah maupun jenisnya, sehingga tidak mungkin ada satu peraturan hukum yang dapat mengatur kepentingan manusia itu secara tuntas, lengkap dan jelas.
Telah diketengahkan di muka bahwa Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik (masalah hukum) konkret yang harus dipecahkannya dan dicarikan hukumnya. Dalam menghadapi dan memecahkan konflik atau masalah hukum, penemuan hukum itu selalu diperlukan oleh karena itu penemuan hukum selalu berhubungan dengan peristiwa konkret.
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan atau usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu. Adapun penemuan hukum itu meliputi proses perumusan masalah hukum, pemecahan masalah hukum dan pengambilan keputusan.
Konkretisasi atau individualisasi hukum itu berhubung dengan adanya peristiwa konkrit atau konflik. Kepada sarjana hukum yang bekerja dalam profesinya selalu dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik yang harus dipecahkannya atau diselesaikannya. Peristiwa konkret atau konflik itu harus dipecahkan dan untuk memecahkannya harus dicarikan (kaedah) hukumnya. Hukum atau das Sollen itu abstrak. Hukum yang abstrak itu tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwanya yang konkret. Oleh karena itu hukumnya harus dikonkretkan lebih dulu dengan menghubungkan dan menyesuaikan dengan peristiwa konkretnya untuk kemudian dicari peristiwa hukumnya dan kemudian diterapkan hukumnya.
Dalam menemukan hukum ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikuasai. Yaitu: a. adanya tata urutan dalam sumber (penemuan) hukum (hierarkhi), b. sistem hukum, dan c. metode penemuan hukum.
Perlu diketahui bahwa sumber (penemuan) hukum itu mengenal tata-urutan atau kewerdaan (hierarkhi). Seperti yang telah diketahui sumber (penemuan) hukum itu ialah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Di samping itu perlu mendapatkan perhatian juga bahwa perilaku merupakan sumber hukum juga, oleh karena di dalam perilaku manusia itu terdapat hukumnya. Oleh karena kepentingan manusia itu yang mendorong perilakunya maka kepentingan merupakan sumber hukum juga. Undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti sebuah istilah hukum misalnya maka haruslah dicari lebih dahulu di dalam undang-undang. Kalau ternyata di dalam undang-undang tidak ada maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan, kemudian di dalam yurisprudensi. Kalau di dalam yurisprudensipun tidak ada maka baru dicari di dalam doktrin dan begitu selanjutnya. Kalau kita bicara tentang sumber hukum, maka hal itu tidak akan lepas dari kaedah hukum serta asas-asas hukum. Oleh karena itu dalam menemukan hukum harus pula dikuasai mengenai sifat dan ciri-ciri kaedah dan asas-asas hukum.
Hukum merupakan suatu sistem, yaitu suatu kesatuan yang tidak menghendaki adanya konflik di dalamnya. Kalau sampai terjadi konflik maka konfllik itu tidak akan dibiarkan berlangsung berlarut-Iarut. Oleh karena itu maka dalam menemukan hukum ciri-ciri sistem hukum itu harns diketahui. Sistem hukum mengenal klasifikasi. Di samping itu sistem hukum bersifat konsisten. Konsisten dalam arti secara ajeg mengatasi konflik yang terjadi. Sering terjadi konflik antara undang-undang dengan undang-undang, antara undang-undang dengan putusan pengadilan, antara undang-undang dengan hukum kebiasaan. Untuk mengatasi konflik-konflik itu tersedialah asas-asas yang secara konsisten digunakan. Kalau peraturan perundang-undangannya tidak bersifat lengkap, maka sistem hukumnyalah yang sifatnya lengkap. Ketidak-Iengkapan atau ketidak-jelasan itu dilengkapi dengan penemuan hukum. Setiap sistem hukum mempunyai konsep-konsep fundamental. Ciri-ciri sistem hukum seperti yang telah dikemukakan di atas harus diperhatikan dalam menemukan hukum.
Untuk menemukan hukum ada cara atau metodenya. Metode penemuan hukum ini telah banyak diketahui, akan tetapi sering tidak disadari. Metode penemuan hukum itu adalah metode penafsiran (interpretasi), metode argumentasi dan metode eksposisi atau konstruksi hukum. Kiranya bukan tempatnya untuk menguraikan metode-metode tersebut di sini.
Bagaimanakah prosedur penemuan hukum itu? Untuk mudahnya diambil contoh penemuan hukum oleh hakim perdata, karena penemuan hukum itu merupakan kegiatan hakim setiap harinya yang dilakukan secara profesional. Mengapa hakim perdata, karena peluang penemuan hukumnya lebih banyak dibandingkan dengan hakim pidana yang dibatasi oleh pasal l ayat 1 KUHP.
Prosedur penemuan hukum itu meliputi jawab menjawab yang tujuannya agar hakim mengetahui peristiwa konkret apa yang sekiranya menjadi sengketa antara kedua belah pihak. Kalau sekiranya oleh hakim sudah diketahui peristiwa konkretnya, maka peristiwa atau sengketa itu dibuktikan agar hakim dapat mengkonstatasi kebenaran peristiwa konkret atau sengketa tersebut. Hakim tidak akan mengkonstatasi suatu sengketa tanpa mengadakan pembuktian lebih dulu. Setelah peristiwa konkretnya dirumuskan atau dikonstatasi maka peristiwa konkret itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum agar (peraturan) hukumnya dapat diterapkan, sebab (peraturan) hukumnya tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkretnya. Jadi peristiwa konkret yang telah dikonstatasi itu kemudian harus dikonversi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum. Setelah peristiwa konkretnya dikonversi menjadi peristiwa hukum barulah hukumnya dapat diterapkan. Kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum merupakan rangkaian kegiatan, sehingga pada hakekatnya penemuan hukum itu dimulai sejak jawab menjawab. Akan tetapi momentum dimulainya penemuan hukum adalah pada saat membuktikan dan kualifikasi peristiwa konkretnya. Di sini dicarilah peristiwa konkret yang relevan; untuk itu harus pula diketahui hukumnya. Langkah kedua adalah mengkualifikasi peristiwa konkret: peristiwa konkret haus diterjemahkan dalam bahasa hukum. Yang dikualifikasi adalah peristiwa konkret, untuk dijadikan peristiwa hukum agar hukumnya dapat diterapkan. Langkah ketiga adalah mencari atau menseleksi (peraturan) hukum dari sumber-sumber hukum: undang-undang, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin serta perilaku manusia. Langkah keempat adalah menganalisis atau menginterpretasi (peraturan) hukum tersebut. Langkah kelima adalah menerapkan peraturan hukumnya terhadap peristiwa hukumnya dengan menggunakan silogisme. Langkah keenam adalah mengevaluasi dan mempertimbangkan argumentasinya. Di sini harus diperhatikan Idee des Rechts, yaitu unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan, yaitu putusan harus mengandung keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherheit).Tiga unsur itu ideaalnya harus diupayakan ada dalam setiap putusan secara proporsional. Dalam prakteknya tidak mudah mengupayakan hadirnya ketiga unsur itu secara proporsional, tetapi kalau salah satu unsur ditinggalkan maka unsur lain dikorbankan: kalau yang diperhatikan itu hanyalah keadilan saja maka kepastian hukumnya dikorbankan dan begitu selanjutnya. Jadi paling tidak ketiga unsur itu harus ada sekalipun tidak secara proporsional.
Lain dari pada itu apa yang oleh Suto misalnya dianggap adil belum tentu diarasakan adil oleh Noyo. Tidaklah mudah untuk memberi definisi tentang isi keadilan. Yang lebih mudah ialah untuk memberi batasan tentang hakekat keadilan. Permasalahan tentang keadilan baru muncul apabila terjadi konflik antara dua orang yang mempermasalahkan tentang hak masing-masing.
Pada hakekatnya keadilan adalah pernilaian terhadap tindakan atau perlakuan seseorang pada orang lain, yang pada umumnya dilihat dari pihak yang terkena tindakan tersebut. Pada umumnya apa yang dinamakan adil itu mengandung unsur pengorbanan.
Prosedur penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan yang terdiri dari langkah-Iangkah yang berurutan dari langkah pertama, diikuti oleh langkah kedua, ketiga dan selanjutnya sampai langkah terakhir. Kadang-kadang sampai pada langkah ketiga harus kembali ke langkah pertama dan begitu selanjutnya.
Etika profesi
Etika adalah salah satu bagian dari filsafat yang mengadakan studi tentang kehendak manusia. Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika adalah filsafat tingkah laku manusia, yang mencari pedoman tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak atau berbuat
Sasaran etika semata-mata adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Baik tidaknya, tercela tidaknya suatu perbuatan itu dinilai dengan ada tidaknya kesengajaan. Orang harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya yang dilakukan dengan sengaja. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja harus sesuai dengan kesadaran etisnya. Kesadaran etis bukan hanya berarti sadar akan adanya perbuatan yang baik dan buruk saja, tetapi sadar pula bahwa orang wajib berbuat baik dan wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Etika yang berasal dari kesadaran manusia merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dan sekaligus juga merupakan pemilaian atau kualifikasi terhadap perbuatan seseorang. Dalam etika kita tidak hanya berbicara tentang kehendak atau perilaku manusia melainkan juga tentang kaedah dan motivasi perilaku manusia. Etika pada hakekatnya merupakan pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana seyogyanya seseorang itu bertindak.
Bagi etika, baik buruknya, tercela tidaknya perbuatan itu diukur dengan tujuan hukum, yaitu ketertiban masyarakat.
Bagi hukum problematiknya adalah ditaati atau dilanggar tidaknya kaedah hukum. Hukum menuntut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan atau pentaatan kaedah hukum semata-mata. Sebaliknya etika lebih mengandalkan iktikad baik dan kesadaran moral pada pelakunya. Oleh karena itu etika menuntut moralitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib dan tanggung jawab. Itulah sebabnya timbul kesulitan untuk menilai pelanggaran etika selama pelanggaran itu tidak merupakan pelanggaran hukum. Etika seperti halnya juga dengan hukum mengancam pelanggaran dengan sanksi. Hanya saja pelanggaran pada etik sanksinya tidak dapat dipaksakan dengan sarana ekstrem.
Kata profesi dalam bahasa Indonesia yang tepat dan baku tidak atau belum ada. Pada umumnya profesi dapat dilukiskan sebagai pekerjaan yang menyediakan atau memberikan pelayanan yang "highly specialized intellectual". Menurut Roscoe Pound kata profesi itu "refers to a group of men persuing a learned art as a common calling in the spirit of a public service, no less a public service because it may incidentally be a means of livelihood".
Jadi profesi adalah pekerjaan pelayanan yang dilandasi dengan persiapan atau pendidikan khusus yang formil dan landasan kerja yang ideel serta didukung oleh cita­-cita etis masyarakat. Adapun ciri-ciri profesi ialah: merupakan pekerjaan pelayanan, didahului dengan persiapan atau pendidikan khusus formil, keanggotaannya tetap dan mempunyai cita-cita etis masyarakat. Profesi berbeda dengan pekerjaan lain yang tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan semata-mata, sedangkan profesi memusatkan perhatiannya pada kegiatan yang bermotif pelayanan. Profesi tidak selalu dibedakan dengan tajam dari pekerjaan-pekerjaan lain (vocation, occupation). Peraturan mengenai profesi pada umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dituangkan dalam kode etik.
Di dalam praktek pelaksanaan profesi (hukum) cenderung berkembang kearah mencari keuntungan (dokter, pengacara, notaris), sehingga kesadaran hukum dan kepedulian sosial menurun
Profesi hukum harus berlandaskan etik. Demi hukum itu sendiri profesi hukum harus berlandaskan etik. Dapatlah kiranya profesi hukum itu dirumuskan sebagai suatu kegiatan pelayanan dalam bidang hukum melalui pendidikan tinggi hukum berdasarkan etik. Kode etik profesi hukum yang bersifat umum tidak ada, karena profesi hukum sangat bervariasi. Hal ini tampak dari adanya beberapa kelompok profesi hukum, yaitu antara lain hakim, jaksa, pengacara, notaris, dosen hukum dan sebagainya. Mengingat bahwa secara teknis fungsional dan operasional tugas masing-masing kelompok dalam profesi hukum itu berbeda, maka masing-masing mempunyai kode etiknya sendiri­ sendiri. Hakim misalnya yang tergabung dalam lKAHI mempunyai kode etiknya sendiri sebagai hasil Keputusan Musyawarah Nasional ke IX Ikatan Hakim Indonesia tahun 1988 yang dikenal dengan Panca Brata, pengacara yang tergabung dalam IKADIN mempunyai kode etiknya sendiri, notaris yang tergabung dalam INI mempunyai kode etiknya yang ditetapkan oleh Kongres Ikatan Notaris Indonesia ke IX tahun 1974. Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1997 mempunyai Kode Etik Dosen. Mereka semua itu bergerak di bidang hukum, tetapi ada perbedaan tugas. Pada hakekatnya kegiatan mereka bersifat ilmiah yang membutuhkan dasar pendidikan tinggi hukum. Mereka harus mampu merumuskan masalah-masalah hukum, memecahkannya, menerapkannya dan memberi putusan. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk "solving legal problems". Baik hakim, jaksa dan sebagainya harus menguasai "the power of solving legal problems". Meskipun secara teknis operasional kegiatan mereka berbeda namun di lapangan mereka selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus dipecahkannya, oleh karena itu harus menguasai dan mampu mengoperasionalkan bekal yang diperolehnya dari pendidikan tinggi hukum.
Profesi hukum tidak dapat disamakan dengan profesi-profesi lainnya seperti profesi dokter misalnya. Profesi dokter merupakan profesi dengan kegiatan tunggal yang tidak bervariasi dibandingkan dengan profesi hukum, sehingga ikatan antara para anggotanya erat dan pelaksanaan kode etiknya lebih mudah dan mantap.
Tujuan dirumuskannya kode etik adalah untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis dari anggotanya dan memberikan arah serta menjamin mutu moral anggotanya. Pemegang profesi dituntut mengutamakan profesinya secara bertanggung jawab. Sekalipun kode etik itu dimaksudkan untuk mencegah adanya campur tangan dari pihak luar profesi, namun berfungsi juga sebagai kontrol sosial. Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya, sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan teguran.
Kode etik memerlukan adanya Dewan Kehormatan untuk mengawasi pelaksanaan profesi dan pelaksanaan kode etik (Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1997 telah memiliki Dewan Kehormatan Kode Etik Dosen).
Penemuan hukum dan etika profesi
Apakah hubungannya penemuan hukum dengan etika profesi?
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka penemuan hukum merupakan kegiatan pokok dan penting dalam profesi hukum pada umumnya Dikatakan pada umumnya karena profesi hukum itu bervariasi dan meliputi beberapa kelompok, yaitu seperti yang dikemukakan di atas antara lain hakim, pengacara, notaris, dosen dan sebagainya. Sekalipun secara teknis fungsional dan operasional tugas mereka itu berbeda dan masing-masing kelompok mempunyi kode etiknya masing-masing, namun mereka itu pada hakekatnya dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus diselesaikan atau dipecahkannya. Untuk itu mereka tanpa kecuali harus melakukan penemuan hukum. Adapun sifat atau sikap yang diharapkan dari setiap penemu hukum adalah seperti berikut.
Pertama, harus mendapat perhatian bahwa dalam kita melakukan penemuan hukum harus disadari bahwa problematik hukum itu berpusat pada tiga hal, yaitu: a. terlindungi tidaknya kepentingan subyek hukum bersangkutan, b. terjamin tidaknya kepastian hukum dan c. tercipta tidaknya keseimbangan tatanan dalam masyarakat.
Kemudian kita harus bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain atau kritik. Dengan demikian kita akan memperoleh masukan. Kita tidak boleh menutup mata dan telinga untuk pandangan-pandangan baru dan hanya bersikukuh pada pandangan atau pendapatnya sendiri yang sudah kuno atau ketinggalan zaman tanpa mau mengikuti perkembangan ilmu hukum atau masyarakat.
Selanjutnya dalam penemuan hukum kita tidak boleh bersikap รก priori, tidak boleh mempunyai praduga terhadap kebenaran suatu peristiwa. Tidak boleh ada prasangka mengenai suatu peristiwa konkret sebelum peristiwa konkretnya itu dibuktikan. Tidak jarang terjadi ada hakim yang sudah mempunyai rumusan putusan mengenai suatu perkara, sedangkan peristiwanya belum dibuktikan karena hanya mendasarkan pada dugaan pada waktu proses pembuktian sedang berlangsung.
Bersikap sabar, tekun dan tidak emosional diperlukan dalam menemukan hukum. Orang yang emosional sudah tidak jemih lagi pikirannya.
Walaupun putusan hakim itu bukan produk ilmu, akan tetapi proses penemuan hukum itu bersifat ilmiah. Oleh karena itu sikap objektif dan tidak memihak harus ada dalam kita menemukan hukum. Demikian pula sikap jujur, terutama jujur dalam mencari kebenaran dan jujur mengakui kesalahan sendiri merupakan sikap ilmiah yang perlu dimiliki dalam kita menemukan hukum.
Penemu hukum harus mempunyai kepedulian akan perkembangan dan masyarakat dan jeli menangkapnya. Oleh karena itu harus mampu mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap perkembangan hukum dan masyarakat. Tidak sekedar hanya membenarkan, tetapi membenarkan dengan memberi landasan yuridis. Jadi kegiatan penemuan hukum tidak lepas dari etika profesi.
Untuk menutup uraian ini saya kutipkan kata-kata mutiara dari Sidney Smith:
"Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending".

DAFTAR ACUAN
Solomon, Robert C.-,1987, Etika, suatu pengantar, Penerbit Erlangga
Sumaryono, E.-, 1996, Etika Profesi Hukum, Penerbit Kanisius
Bos, MLDL., AM.-, tanpa tahun, Methods for the formation of legal concepts and for legal research, AE.E.Kluwer, Deventer
Kraan, K.J.-, 1981, Sylabus Rechtssysteem, Universiteit van Amsterdam
Sudikno Mertokusumo, 1986, Profesi dan pendididkan hukum, makalah disajikan pada Temu Ilmiah Mahasiswa Notariat Indonesia di Kaliurang
Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo, 1993, Bab-bab tentang penemuan hukum, PT Citra Aditya Bakti
van Eikema Hommes,.H.J.-, roneografi, tanpa tahun, Logica en rechtsvinding, Vrije Universiteit Amsterdam
Veronica Komalawati, 1989, Etika Praktek Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan
Wiarda, Mr.G.J.-, 1988, 3 Typen van rechtsvinding, W.E.J.Tjeenk Willink,Zwolle