Jumat, 30 November 2012

Filsafat Barat

Filsafat Barat
FILSAFAT  KAUM SOFIS DAN JAMAN  SOKRATES
1. Pendahuluan
            Pada pembahasan dalam kegiatan belajar ini akan dipelajari filsafat Yunani, terutama pemikiran yang berkembang di jaman filsafat Sokrates. Jika dilihat dari inti pemikiran jaman ini, tampak bahwa pemikiran Sokrates ini kurang bersahabat dengan pemikiran yang berkembang pada kaum Sofis. Hal ini dapat dipahami dari filsafat Sokrates yang sangat nampak sekali, yaitu sebagai reaksi serta kritik atas kaum Sofis. Meskipun demikian, tidak ada buruknya juga jika dibicarakan keduanya, yaitu baik pemikiran kaum Sofis maupun filsafat Sokrates yang merupakan sentrum bahasan ini. Hal ini bukan saja karena keduanya berkembang dalam jaman yang sama, melainkan karena keduanya membaharui filsafat denga metode yang sama. Hal ini ada seorang filsuf dan juga sebabagai sastrawan dari Roma, yaitu Cicero mengatakan bahwa Sokrates telah memindahkan filsafat dari langit ke bumi. Artinya bahwa filsafat pra-Sokrates telah memandang alam semesta dengan berbagai cara yang tampak masih nun jauh di sana, sedangkan Sokrates mencari objek penyelidikan dan pemikirannya di bumi ini, yaitu manusia itu sendiri. Hal yang sama juga bagi kaum Sofis, mereka pun memusatkan seluruh perhatiannya pada manusia.
            Ketika filsafat pra-Sokrates dipelajari, sudah kesekian kalinya ditemuai berbagai permasalahan yang terkait dengan manusia, namun hanya sepintas lalu. Oleh sebab itu, dalam pembicaraan dan pemikiran pada bahasan ini, manusia menjadi objek pertama dan utama untuk penyelidikan secara filosofis. Jadi, dengan pendek kata bahwa pemikiran secara filsafati pada kesempatan ini manusia menjadi objeknya.
2. Filsafat Kaum Sofis
            Filsafat kaum Sofis lebih akrab dengan sebutan aliran Sofistik, meskipun ini bukan merupakan suatu mazhab, seperti bila dibandingkan dengan mazhab Elea. Dan akan lebih tepat jika istilah Sofistik itu dipandang sebagai suatu gerakan dalam bidang intelektual yang diakibatkan dari beberapa factor, seperti perkembangan di bidang politik dan ekonomi Athena, serta kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh Hellas pada waktu itu, dan juga dalam pergaulan mereka di Yunani merasa berbeda dengan kebudayaan lain selain kaum Sofis.
            Nama “Sofis” nampaknya belum digunakan sebelum abad ke- 5 s. M, dan artinya semula adalah “seorang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”, namun juga kadang kadang ada yang mengartikan sebagai “sarjana” atau “cendekiawan”. Seorang pengarang Yunani bernama Androtion pada abad ke-4 s. M mempergunakan istilah “Sofis” untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 s. M (telah dijelaskan modul sebelumnya) dan Sokrates. Sedangkan Lysias seorang ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 s. M. mengenakan istilah “Sofis” pada diri Plato, namun dalam abad ke-4 s. M dan selanjutnya istilah “philosophos” menjadi istilah yang sudah lazim dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendekiawan”, sedangkan istilah “Sofis” khusus dipakai untuk sebutan guru guru yang berkeliling dari kota ke kota yang berperan penting dalam masyarakat Yunani.
            Nama istilah “Sofis” dikemudian hari lama kelamaan menjadi tidak harum, seperti terlihat dalam bahasa bahasa modern, misalnya dalam bahasa Inggris yang berbunyi “sophist” adalah untuk menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud seperti itu dalam bahasa Inggris disebut “sophism” atau “sophistery”. Hal ini terutama dipakai oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles untuk mengkritik atas kaum Sofis, sehinga mengakibatkan nama “Sofis” menjadi berbau kurang baik. Salah satu tuduhan dari mereka, yaitu bahwa para Sofis meminta uang sebagai imbalan yang diajarkan oleh para Sofis. Hal ini seperti diceriterakan oleh Plato dalam dialog yang berjudul “Protagoras”, ia mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”, dan Aristoteles juga mengarang buku yang berjudul  “Sophistikoi elenchoi” artinya cara cara berargumentasi kaum Sofis yang maksudnya cara berargumentasi yang tidak sah. Demikianlah sehingga kaum Sofis menjadi kurang baik di mata masyarakat Yunani pada waktu itu.
            Ajaran kaum Sofis antara lain disampaikan oleh Protagoras yang lahir kira kira tahun 485 s. M. di kota Abdera, dalam bukunya berjudul “kebenaran” (Yunani: Aletheia). Dalam buku ini Protagoras mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala galanya, yaitu untuk hal hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada. Oleh sebab itu pendirian ini boleh disebut relativisme, artinya bahwa kebenaran itu dianggap hanya tergantung pada manusia. Jadi, manusialah yang menentukan benar tidaknya, bahkan ada tidaknya. Namun yang jadi persoalan, yaitu istilah “manusia” itu. Yang dimaksudkan oleh Protagoras apakah manusia perorangan ataukah manusia sebagai umat manusia ?. Maka dari itu, apakah kebenaran tergantung pada anda dan pada saya, sehingga manusia mempunyai kebenaran sendiri sendiri ?, ataukah kebenaran tergantung siapa saja dalam arti semua mengakui, sehingga kebenaran itu semua mengakui ?. Akan tetapi seperti ditemukan dalam kesaksian Plato bahwa Protagoras mengartikan manusia adalah sebagai manusia perorangan. Hal ini bisa dipahami dengan melihat contoh yang diberikan oleh Protagoras, yaitu angin yang sama dirasakan panas oleh satu orang (tapi orang sehat) dan dirasa dingin oleh orang lain (oarng dalam keadaan sakit demam). Dengan demikian mereka keduanya adalah benar, maka alasan bahwa bagi Protagoras yang dimaksud manusia adalah manusia perorangan. Jadi, kebenaran seluruhnya harus dianggap relative terhadap manusia bersangkutan. Semua pendapat sama benar, biarpun sama sekali bertentangan satu sama lain. Inilah salah satu ajaran dari kaum Sofis yang beranggapan tentang relativitas di alam semesta ini.
            Ajaran kaum Sofis yang lain yaitu diajarkan oleh Gorgias yang lahir kira kira tahun 483 s. M. di kota Liontinoi di Sisilia yang awalnya murid Empedokles namun kemudian dipengaruhi oleh dialektikanya Zeno. Gorgias berpendirian, yaitu
    1. Tidak ada sesuatu apapun.
    2. Seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal.
    3. Seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain.
Ketiga pendirian ini didukung oleh banyak argument, sehingga Gorgias bukan seorang penganut skeptisisme (anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), melainkan memihak kepada nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang bernilai).
            Gorgias setelah mengarang karya tentang nihilisme di atas, kemudian berbalik dari filsafat, dan selanjutnya mulai mencurahkan perhatiannya kepada ilmu retorika (Indoneis: seni berpidato). Gorgias menganggap bahwa retorika sebagai seni untuk meyakinkan (Inggris: the art of persuasion). Oleh sebab itu menurutnya, bahwa orang tidak cukup mengemukakan alasan alasan yang diarahkan kepada akal budi, melainkan perasaan juga harus disentuh. Jadi, Gorgias menciptakan gaya bahasa yang mempraktekan prinsip ini dalam retorikanya.
            Pengikut kaum Sofis berikutnya, yaitu Hippias yang hidupnya sebaya dengan Sokrates, berasal dari kota Elis. Ia mencurahkan perhatiannya pada pertanyaan, yaitu apakah tingkah laku manusia dan susunan masyarakat harus berdasarkan nomos (Indonesia: adat kebiasaan, undang undang) atau harus berdasarkan physis (Indonesia: kodrat). Akan tetapi Hippias justru memberi jawaban yang berbeda dari kebanyakan rekan kaum Sofis. Ia beranggapan bahwa kodrat manusia merupakan dasar bagi tingkah laku manusia dan susunan masyarakat. Ia punya argument begitu, karena menurutnya bahwa undang undang yang merupakan norma terakhir untuk menentukan yang baik dan yang jahat. Apalagi menurut Hippias bahwa undang undang sering memperkosa kodrat manusia. Misalnya, undang undang menggolongkan manusia sebagai penguasa atau bawahan, dan sebagai orang bebas atau budak. Padahal manusia secara kodratnya adalah sama derajatnya dan bebas. Dengan demikian pada diri Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme dan universalisme yang menandai banyak Sofis. Di samping itu masih banyak pandangan pandangan hidup kaum Sofis yang aneh aneh, seperti pandangan hidup yang pesimistis dari pemikir dari pulau Keos yang hidupnya juga sebaya dengan Sokrates, yaitu Prodikos. Kemudian Kritias yang lebih muda dari Sokrates berasal dari Athena yang pandangannya bersifat agamis, ia beranggapan bahwa agama ditemukan oleh penguasa penguasa Negara yang licik. Menurutnya bila kebanyakan pelanggaran diadili menurut hokum, namun ada pelanggaran yang dilakukan sembunyi sembunyi sehingga tidak diketahui oleh umum, maka penguasa penguasa menemukan dewa dewa supaya orang percaya bahwa mereka akan membalas juga pelaggaran yang sembunyi sembunyi itu.
            Melihat ajaran kaum Sofis yang beraneka ragam di atas, ternyata banyak juga pengaruhnya terhadap pemikiran pemikiran berikutnya. Pengaruhnya itu dapat dikategorikan menjadi pengaruh negative dan pengaruh positif.
            Pengaruh negative, yaitu tampak bahwa gerakan Sofis melihat bila orang telah jemu dengan sekian banyak pendirian yang dikemukakan oleh pemikir pra-sokratik, maka para Sofis mulai bereaksi sebagai skeptisisme. Artinya, kebenaran mulai diragukan  dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan (Oleh: Protagoras dan Gorgias). Jadi, di sisni nampak sekali bahwa Sofistik mepunyai pengaruh negative atas budaya Yunani. Pengaruh negative lainnya, yaitu banyak nilai tradisional dalam bidang keagamaan dan moralitas mulai dirobohkan, sehingga peranan Polis sebagai kesatuan social politik mulai merosot, sebagai akibat dari pendainya memainkan peran berpidato (retorika) dan kemahiran berbahasa.
            Pengaruh positif dari aliran Sofistik, yaitu berupa suatu revolusi intelektual  di Yunani yang luar biasa. Hal ini bisa dilihat, yaitu berupa ciptaan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani khususnya. Pengaruh positif lainnya, yaitu dengan mulainya manusia sebagai objek pemikiran filosofisnya. Dan jasa yang sangat besar bagi Sofistik adalah karena mereka justru mempersiapkan kelahiran fiilsafat baru. Dan Sokrates, Plato, serta Aristoteleslah akan merealisasikan filsafat baru yang dipersiapkan oleh para Sofistik.
3. Filsafat Jaman Sokrates
            Disebut filsafat jaman Sokrates, sebab hasil pemikiran di sini diawali cara berfilsafatnya seorang filsuf yang tidak asing lagi bagi telinga setiap orang yang sedang dan akan belajar filsafat. Seorang filsuf dimaksud adalah Sokrates, meskipun tak seorang pun tahu persis bilamana ia dilahirkan. Untuk dapat dipercaya kesaksiannya adalah bahwa Sokrates pada tahun 399 s. M. dijatuhi hukuman mati dengan harus minum racun di depan para muridnya. Pada waktu itu diceriterakan bahwa Sokrates berumur 70 tahun, oleh sebab itu ia diperkirakan lahir kira kira tahun 470 s. M. (Harun Hadiwijono, 1988: 35.
            Jika melihat lahir dan perkembangannya filsafat khususnya filsafat Barat, maka tidak ada filsuf yang sangat ramai dibicarakan kecuali Sokrates. Tentang diri Sokrates memang tampak ada dua pandangan yang sangat ekstrim tentang dirinya, yaitu disatu pihak bahwa Sokrates dianggap sebagai filsuf terbesar yang pernah hidup dibumi ini, sedangkan di lain pihak ada yang menganggap bahwa Sokrates bukan seorang filsuf. Dari kedua pandangan yang ekstrim itu memang menimbulkan problem juga pada para pemikir berikutnya. Problem dimaksud antara lain karena Sokrates sendiri tidak pernah menuliskan hasil pemikirannya, sehingga tidak bisa dipelajari pemikiran yang berupa buah pena Sokrates sendiri, dan hanya diperoleh dari murid atau sumber lain yang menceriterakan tentang diri Sokrates. Ditambah lagi bahwa banyak sumber lain yang tidak menggambarkan Sokrates dan keaktifannya dalam bidang filsafat. Dengan demikian Sokrates yang histories tidak dapat dikenal, namun ada sejarawan sejarawan lain yang bersikap lebih optimistis tentang eksistensi Sokrates sebagai seorang filsuf yang besar.
            Sumber untuk mempercayai bahwa Sokrates memang pernah ada di bumi ini, dirasa cukup dengan kesaksian dari empat orang sebagai sumber, karena empat orang ini memang memainkan peran besar dan penting dalam menginterpretasi kehidupan maupun ajaran Sokrates. Adapun keempat sumber dimaksud adalah :
  1. Aristopanes yang seorang comedian ternama di Athena, yang hidupnya sejaman dengan Sokrates. Komedi dari Aristopanes sangat lucu membicarakan peristiwa peristiwa actual, tokoh tokoh dan pikirannya yang lazim pada para penonton yang di sini Sokrates disebut sebutnya. Ada satu komedi yang berjudul Awan awan, dipentaskan pertama kalinya pata tahun 423 s. M. dimana Sokrates sebagai pelaku utamanya.
  2. Xenophon yang lahir tahun 430 s. M. di Athena dari keluarga bangsawan pada waktu itu. Ia adalah pengikut Sokrates, meskipun tidak ingat berapa lama menjadi pengikutnya. Xenophon meninggalkan beberapa karya tulis, yang diantaranya adalah berjudul Memorabilia yaitu berupa kenang kenangan akan Sokrates terutama tulisan kecil tentang Sokrates.
  3. Plato yang lahir pada tahun 427 di Athena, ia sangat mengenal akan Sokrates sejak masih kecil sampai kematian Sokrates pada tahun399 s. M. Plato banyak menulis tentang dialog dialog, dan ada satu dialog, yaitu berjudul Nomoi, di sini ditulis bahwa Sokrates bercakap cakap dengan sahabat sahabatnya. Disamping itu, karya Plato sebagian besar berisi tentang Sokrates sebagai pelaku utama dalam dialognya.
  4. Aristoteles, yang lahir 15 tahun setelah kematian Sokrates, namun meskipun lahirnya setelah Sokrates, ia adalah murid Plato sehingga ia tahu banyak tentang kehidupan dan ajaran Sokrates.
Jika dilihat dari empat sumber seperti disebutkan di atas untuk meyakini bahwa Sokrates memang pernah hidup di muka bumi ini, maka sudah semestinya bila orang satu dengan lainnya berbeda dalam melihat sumber mana yang dianggap sangat penting untuk menentukan riwayat hidup dan ajaran Sokrates. Ada ahli yang mementingkan Xenophon, ada yang mementingkan Plato, dan ada pula yang mementingkan Aristoteles, tapi yang jelas untuk Aristophanes tidak begitu dipentingkan khususnya tentang komedi komedinya, karena tidak dapat untuk menentukan ajaran Sokrates. Walaupun demikian karya karya Aristophanes ada juga gunanya dalam menentukan Sokrates pernah ada, karena dalam komedi komedinya disimpulkan bahwa Sokrates adalah tokoh terkenal di Athena sekitar tahun 420 s. M.
            Sokrates tidak beda dengan kaum Sofis, karena ia juga memberi pelajaran kepada rakyat. Di samping itu Sokrates juga mengarahkan perhatiannya kepada manusia seperti ajaran kaum Sofis. Perbedaan Sokrates dengan kaum Sofis adalah bila kaum Sofis mengajar rakyat karena agar mengikutinya dan untuk mencari uang, serta memberikan keyakinan tentang relatifisme, sedangkan Sokrates tidaklah demikian. Sokrates mengajar rakyat tidak memungut uang kepada mereka, namun mengajar untuk mendorong orang supaya supaya mengetahui dan menyadari sendiri, sebab Sokrates yakin bahwa ada kebenaran yang objektif.
            Kaum Sofis juga mengajar kepada rakyat tentang pendidikan seni berpidato, yaitu yang disebut dengan istilah retorika, sehingga menjadi banyak orang sombong. Oleh sebab itu, Sokrates dengan cara menggelikan mengajukan pertenyaan pertanyaan kepada rakyat murid kaum Sofis yang merasa pandai. Akhirnya jawaban jawaban mereka saling bertentangan, sehingga banyak ditertawakan pendengarnya. Metode Sokrates yang membuat jawaban orang menjadi bingung dan bertentangan itu disebutnya metode ironi (Yunani: eironeia). Segi positif dari metode ironi ini adalah terletak pada usahanya untuk mengupas kebenaran dari kulit “pengetahuan semu” orang orang itu.
            Sokrates dalam mengajar menggunakan cara dialektika (Yunani: dialegesthai artinya bercakap cakap), yaitu cara mengajar dengan mementingkan peran dialog. Namun dialog cara mengajar Sokrates adalah bukan sembarang dialog, melainkan dialog yang dibandingkan dengan ibunya sebagai seorang bidan yang menolong kelahiran bayi, yaitu Sokrates ingin melahirkan “pengertian yang benar”, sehingga lalu olehnya disebut dengan metode seni kebidanan yang dalam bahasa Yunani adalah maieutike tekhne. Jadi Sokrates bukan bertindak sebagai bidan yang menolong melahirkan bayi, melainkan ia membidani jiwa jiwa. Artinya bahwa Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan, namun dengan pertanyaan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain, dan juga ia menguji nilai nilai pikiran yang sudah dilahirkan.
            Cara bekerja Sokrates seperti disebutkan di atas, artinya ia telah menemukan cara berpikir induksi, yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya, banyak orang yang menganggap dirinya ahli (ahli tukang sepatu, ahli tukang kayu, ahli tukang batu, dll) sebagai keutamaannya. Lain lain orang yang ahli seperti tukang tukang tadi menganggap keutamaannya berbeda beda sesuai ahli mereka. Untuk mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, maka semua keutamaan yang bermacam macam itu harus disingkatkan, tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Jadi dengan induksi sekaligus juga ditemukan yang disebut definisi umum. Tentang definisi umum pada waktu itu belum dikenal, maka Sokrates adalah sebagai penemunya.
            Sokrates meskipun tidak meninggalkan tulisan tulisan dalam ajaran filsafatnya, namun berdasarkan kesaksian dari para murid dan orang terpercaya di atas, akhirnya juga dapat disimpulkan ajarannya sebagai berikut:
Bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya semata mata, namun asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa menurutnya adalah inti sari manusia, dan hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab.
            Oleh karena jiwa adalah inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (Yunani: eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik), lebih dari kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, misalnya: kesehatan, kekayaan dll. Jadi, manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Oleh sebab itu, bila manusia hanya hidup saja, sudah tentu hal itu belum ada artinya, maka orang harus hidup yang baik supaya mencapai kebahagiaan. Kemudian, bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan ?.
            Sokrates mengatakan bahwa alat untuk mencapai kebahagiaan (Yunani: eudemonia) adalah kebajikan atau keutamaan (Yunani: arĂȘte). Akan tetapi kebajikan atau keutamaan yang dimaksudkan oleh Sokrates adalah bukan diartikan secara moral, namun olehnya diartikan lebih luas dari itu. Misalnya, kebajikan seorang tukang kayu adalah kebajikan atau keutamaan yang menjadikan tukang kayu itu menjadi tukang kayu yang baik, karena tahu pekerjaannya dengan baik, dan mempunyai keahlian di bidang itu. Demikian halnya dengan kebajikan atau keutamaan bagi seorang ahli yang lain. Jika dilihat dari hal itu, maka nampak bahwa pendirian yang terkenal dari Sokrates yaitu “keutamaan adalah pengetahuan”. Oleh karena itu keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik, dan hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi, menurut Sokrates bahwa baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
            Bertolak dari pandangannya di atas, maka menurut Sokrates adalah tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang salah. Bilamana orang berbuat salah, hal itu disebabkan karena ia tidak berpengetahuan, sehingga ia keliru.
            Oleh karena kebajikan atau keutamaan adalah pengetauan tentang yang baik, padahal yang baik adalah hanya satu, maka kebajikan atau keutamaan hanya ada satu saja, dan sifatnya menyeluruh. Jadi, bila memiliki kebajikan yang satu itu berarti memiliki segala kebajikan. Misalnya, orang yang berani, sudah barang tentu juga adil dan menaruh belas kasihan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bila tidak demikian, maka itu berarti bukan kebajikan yang sejati. Dengan demikian, jika memiliki arĂȘte, memiliki kebajikan atau keutamaan, berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia (Harun Hadiwijono, 1988: 37).  
4. Filsafat Hasil Pemikiran Murid Sokrates dan Sesudahnya
            Pemuda bernama Plato yang lahir sekitar tahun 427 s. M. mempunyai maksud berbalik dari kesusasteraan, yaitu dengan mencurahkan tenaganya kepada filsafat. Hal ini dikisahkan bahwa setelah Plato berkenalan dengan Sokrates, ia lalu membakar karya karya yang telah ditulisnya. Oleh sebab itu pertemuan Plato dengan Sokrates merupakan peristiwa penentu dalam kehidupan Plato. Bagi Plato, bahwa Sokrates adalah “orang yang paling baik, bijaksana, dan paling jujur”. Juga bagi Plato, Sokrates adalah “manusia yang paling adil dari seluruh jamannya” Dalam karya-karyanya, Sokrates diberi tempat yang paling sentral. Dan yang paling mengesankan Plato, yaitu ketika peristiwa Sokrates didalam hukuman dan eksekusi hukuman matinya.
            Semua karya yang ditulis Plato merupakan dialog dialog, kecuali surat-surat dan Apologia. Palto adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya. Sehingga Plato tidak memberi kuliah kuliah sistematis, tetapi menyelenggarakan diskusi diskusi yang sebagian dipimpin sendiri oleh Plato.
            Ajaran tentang Idea-idea merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Dalam bahasa Modern kata “idea/ ide” berarti suatu gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja. Oleh sebab itu, bagi orang modern bahwa idea merupakan sesuatu yang bersifat subjektif belaka. Lain halnya dengan Plato, karena baginya bahwa Idea merupakan sesuatu yang objektif. Artinya, ada Idea-idea yang telepas dari subjek yang berpikir. Bagi Plato, idea idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea idea tidak tergantung pada pemikiran; sebaliknya, justru pemikiran yang tergantung pada Idea-idea. Jadi, justru karena ada Idea-idea yang berdiri sendiri sendiri, pemikiran manusia dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada Idea-idea itu.
            Cara lain untuk mengerti lebih baik asal usul ajaran Plato mengenai Idea-idea ialah ilmu pasti. Ilmu pasti berbicara mengenai garis, segitiga dan lingkaran pada umumnya. Tidak mungkin bahwa ilmu pasti berbicara tentang sesuatu yang tidak ada. Jadi, mesti terdapat  suatu Idea “segitiga”. Segitiga atau garis yang tergambar pada papan tulis hanya merupakan tiruan tak sempurna saja dari Idea “segitiga atau garis”.
            Yang berlaku bagi segitiga tadi dapat dikatakan pula mengenai banyak hal lain lagi.  Seperti, ada yang disebut “bagus”, kain bagus, patung bagus, rumah bagus, dan lainsebagainya. Selain itu masih banyak sebutan lagi, misalnya merah, mahal, dan lain lian. Nah Idea yang bagus merupakan “yang bagus” sendiri, secara sempurna, tidak tercampur dengan sesuatu yang lain. Plato menyebutnya dengan kata kata Yunani idea serta eidos dan juga dengan kata morphe yang berarti “bentuk”.
            Bertolak dari ajaran di atas, menurut Plato bahwa realitas seluruhnya seakan akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda benda jasmani yang disajikan kepada pancaindera. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Misalnya, bunga yang ini bagus, tapi esok harinya sudah jelek, dan lain lain. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat suatu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri dari “Idea-idea”. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Jadi semua Idea bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu Idea “yang Bagus”. Demikian halnya juga dengan idea-idea lain. Dan tiap tiap Idea bersifat sama sekali sempurna. Jadi, Idea merupakan model atau contoh (Yunani: paradeigma) bagi benda benda kongkrit. Benda benda kongkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
            Teori tentang Idea-idea dari Plato, ternyata dapat mendamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran Parmenides. Manurut Herakleitos bahwa semuanya senantiasa berada dalam perubahan; tidak ada sesuatu pun yang tetap dan mantap. Kata Plato, bahwa pendapat Herakleitos itu memang benar, tetapi hanya berlaku bagi dunia inderawi saja. Namun demikian, pendapat Parmenides benar juga kata Plato, tetapi hanya berlaku bagi Idea-idea saja. Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena Idea-idea bersifat abadi. Dan Idea-idea ini merupakan pondamen bagi pengenalan yang sejati.
            Plato menciptakan suatu ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai Idea-idea. Bagi Plato, antara tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan. Tubuh adalah kubur bagi jiwa, dan jiwa berada dalam tubuh bagaikan dalam penjara, kata Plato. Dalam karyanya yang disebut “Phaidon”, Plato mengatakan bahwa “filsafat adalah latihan untuk mati”, dan ini adalah dapat dimengerti tentang pendapatnya dalam rangka dualisme. Jadi, semestinya para filsuf sudah menjadi siap untuk melepaskan diri dari kebutuhan kebutuhan badani sama sekali pada saat kematian.
            Murid Plato yang tidak kalah terkenalnya adalah Aristotelas yang lahir pada tahun 384 s. M. Aristoteles belajar dalam academia Plato di Athena dan tinggal di sana sampai Plato meninggal dunia. Aristoteles mengkritik sangat tajam atas pendapat Plato tentang ajaran Idea-idea. Aristoteles berpendapat bahwa yang ada ialah manusia ini dan manusia itu. Jadi manusia konkrit saja. Sebab Idea “manusia” tidak terdapat dalam kenyataan. Hal yang sama juga berlaku untuk Idea “segitiga” dan semua Idea lain.
            Aristoteles memang setuju anggapan Plato bahwa ilmu pengetahuan berbicara tentang yang umum dan tetap. Ilmu pasti tidak berbicara tentang segitiga ini atau itu, namun tentang segitiga pada umumnya. Salah satu alasan Plato menerima Idea-idea ialah untuk menjamin kemungkinan adanya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu muncullah pertanyaan: jika tidak ada Idea-idea, bagaimana mungkin adanya ilmu pengetahuan ?. Maka Aristoteles menjawab, yaitu memang ada sesuatu yang umum dan tetap, tetapi bukan dalam suatu dunia ideal melainkan dalam benda benda jasmani sendiri. Untuk memahami hal itu maka harus disinggung pendapat Aristotels yang lazim disebut “teori bentuk-materi”. Aristoteles menegaskan bahwa setiap benda jasmani terdiri dari dua hal, yaitu bentuk dan materi. Misalnya, sebuah patung yang terdiri dari bahan tertentu dan bentuk tertentu.
            Materi menurut Aristoteles adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali “terbuka”. Materi adalah kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Itulah sebabnya Aristoteles menyebutnya: materi pertama (Yunani: hyle prote). Dengan kata “pertama” dimaksudkan bahwa materi sama sekali tidak ditentukan. Namun pada kenyataannya materi pertama selalu mempunyai salah satu bentuk. Bentuk (Yunani: morphe) ialah prinsip yang menentukan. Jadi, kiranya jelas bahwa bagi Aristoteles ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat dalam setiap benda konkrit (Bertens, 1988: 15, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
            Teori Aristoteles yang disebutkan di atas, di kemudian hari biasa dinamakan teori “hilemorfisme” (Asal bahasa Yunani: hyle dan morphe). Teori hilemorfisme menjadi dasar juga untuk pandangan Aristoteles tentang manusia. Bertentangan dengan Plato, karena Aristoteles sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia merupakan satu substansi yang terdiri dari bentuk dan materi Bentuk itu ialah jiwa. Karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, secara konsekuensi Aristoteles harus mengatakan bahwa pada saat manusia mati, maka jiwanya akan hancur juga (Harun Hadiwijono, 1988: 50, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
            Inti sari ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika terdapat dalam ajarannya mengenai dinamis (potensi) dan energia (aksi). Ajarannya ini dimaksudkan guna memecahkan masalah perubahan atau gerak dan yang tetap tidak berubah. Para filsuf Elea, seperti Parmenides dan Zeno berpendapat bahwa gerak dan perubahan adalah khayalan. Namun Aristoteles menentang pendapat itu. Menurut Aristoteles, bahwa “yang ada” dalam arti yang mutlak adalah yang teleh terwujud, sedangkan “yang tidak ada” hanya dapat menjadi “yang ada” secara mutlak, atau menjadi “yang ada” secara terwujud, jikalau melalui sesuatu. Di antara “yang tidak ada” dan “yang ada” secara mutlak itu terdapat “ada yang nyata nyata mungkin”, atau “yang ada” sebagai kemungkinan, sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dinamis. “Yang ada” sebagai potensi ini pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu. “Yang ada” sebagai potensi ini senantiasa cenderung menjadi “yang ada secara terwujud”, sehingga “yang ada” sebagai potensi dapat dipandang sebagai perealisasian dari “yang ada” secara terwujud. Jadi, secara hakiki keduanya harus dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
            Perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas mencakup hal “menjadi” dan “binasa” serta segala perubahan lainnya, baik di bidang bilangan maupun di bidang mutu dan di bidang ruang. Tiap gerak sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang secara terwujud. Jadi setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang secara terwujud. Dan semua gerak itu tentu ada gerak yang sempurna. Gerak yang sempurna itulah yang disebut penggerak pertama. Penggerak pertama ini adalah Tuhan. Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakkan, karena bebas dari materi. Tuhan adalah Actus Purus, Aktus murni (Harum Hadiwijono, 1988: 49, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
            Ajaran Aristoteles tentang manusia melalui dua tahap. Dalam tahap pertama, ia masih dipengaruhi oleh Plato, sehingga masih mengajarkan dualisme antara tubuh dan jiwa, serta mengajarkan praeksistensi jiwa. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan dualisme dengan menjembatani jurang yang ada di antara tubuh dan jiwa.  Keduanya dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi, yang saling berhubungan dan yang nisbahnya sama seperti nisbah antara materi dan bentuk, atau antara potensi dan aktus. Jikalau tubuh adalah materi, maka jiwa adalah bentuknya, jikalau tubuh adalah potensi, maka jiwa adalah aktusnya Jadi, jiwa adalah aktus pertama yang paling asasi, yang menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Jiwa adalah asas hidup dalam arti yang seluas luasnya, yang menjadi asas segala arah hidup yang menggerakkan tubuh, yang memimpin segala perbuatan menuju kepada tujuannya.
            Puncak pemikiran Yunani Kuno ajaran yang disebut “Neoplatonisme”. Sebagaimana namanya bahwa aliran ini sudah bermaksud menghidupkan kembali filsafat Plato. Namun hal itu bukan berarti bahwa para pengikutnya tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf lain, seperti Aristoteles. Sebenarnya ajaran neoplatonisme merupakan semacam sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, namun Plato diberi tempat istimewa.
            Filsuf yang menciptakan sintesa itu adalah Plotinos yang lahir di Mesir tahun 203 dan meninggal dunia kira kira tahun 270 ssd. M. Filsafat Plotinos berkisar pada Tuhan, sebab Tuhan disebutnya dengan nama “yang Satu”. Plotinos mengatakan bahwa semuanya berasal dari “yang Satu” dan akan kembali ke “yang Satu”. Oleh sebab itu dalam relitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah, yaitu dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas. Gerakan dimaksud, yaitu:
a. Dari atas ke bawah.
            Plotinos sangat mementingkan kesatuan semua makhluk yang ada, bersama sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “yang Satu” (Yunani: to Hen), yaitu: Allah/ Tuhan. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau “emanasi” (Inggris: emanation). Istilah “emanasi” mau ditunjukkan bahwa pengeluaran itu berlangsung secara mutlak perlu, seperti air sungai mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya. Namun dalam proses pengeluaran ini taraf lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaannya tidak hilang sedikitpun. Adapun proses pengeluaran dilukiskan oleh Plotinus, sbb.:
Dar ‘yang Satu”  dikeluarkan Akal Budi (nus). Akal Budi sama dengan Idea ideanya Plato yang dianggap Plotinos sebagai suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi Akal Budi sudak tidak satu lagi, karena di sini terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari Akal Budi itu berasallah Jiwa Dunia (psyche). Akhirnya dari Jiwa Dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan Jiwa Dunia merupakan jagat raya. Selaku taraf yang paling rendah dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk yang paling kurang kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.
b. Dari bawah ke atas.
            Setiap taraf hirarki mempunyai tujuan untuk kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dank arena itu secara tak langsung menuju ke Allah/ Tuhan. Sebab hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf hirarki, dialah yang dapat melaksanakan pengemnalian kepada Allah/ Tuhan. Hal itu dapat dicapai melalui tiga langkah, yaitu:
- Langkah pertama adalah penyucian, ialah manusia melepaskan diri dari materi dengan laku tapa.
- Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia diterangi dengan pengetahuan tentang Idea-idea Akal Budi.
- Akhirnya langkah ketiga adalah penyatuan dengan Tuhan yang melebihi segala pengetahuan.
- Langkah terakhir ini ditunjukkan oleh Plotinos dengan nama “ekstasis” (Inggris: ecstasy). Hal ini murid Plotinos yang bernama Porphyrios menceriterakan bahwa selama 6 tahun mengikuti gurunya, ia pernah melihat Plotinos mengalami ekstasis sebanyak 4 kali.
ZAMAN PERTENGAHAN
1. Pendahuluan
            Abad Pertengahan  di Eropa adalah zaman keemasan  bagi kekristenan. Abad Pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang spesifik, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran Eropa sangat terkendali oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Filsafat zaman Pertengahan biasanya dipandang  terlampau seragam, dan lebih dari itu dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya.
            Perkembangan pemikiran kefilsafatan terutama filsafat Barat, bila hendak dipahami, maka pendapat semacam di sebutkan di atas tadi hendaknya ditinjau kembali. Apa yang terungkap pada masa Renaissana dan pada filsafat Barat abad ke-17, tidak mungkin dipahami, manakala diabaikan permainan  pendahuluan tentang  hal-hal yang tersebut yang terjadi pada abad Pertengahan (Delfgaauw, 1992: 63).
            Para filsuf Yunani yang sangat berpengaruh pada abad Pertengahan adalah Plato dan Aristoteles. Hal ini bisa dipahami, bahwa pengaruh Plato yaitu pada pemikiran Agustinus, sedangkan pengaruh Aristoteles adalah pada pemikiran Thomas Aquinas.
  
2.  Hasil Pemikiran Zaman Pertengahan
            Filsafat Agustinus yang diperkirakan antara tahun 354 s/d. Tahun 430 adalah filsafat di mana keadaan dan situasi ikut berpartisipasi, sehinga merupakan bentuk Platonisme yang sangat spesifik. Dengan pengetahuannya mengenai kebenaran-kebanaran abadi yang disertakan sejak lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut berpartisipasi dalam idea-idea tentang Tuhan, yang mendahului ciptaan dunia. Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan yang unik, dan manusia bukan yang ambil bagian yang pasif saja, melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih (Delfgaauw, 1992: 58).
            Oleh sebab itu, manusia melalui penciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut berpartisipasi  ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus bahwa berpikir dan mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah ada sebagai ada, yang bersifat pribagi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagad raya secara bebas, dan tidak dengan jelas emanasio yang niscaya terjadi, seperti dikatakan oleh Plotinos.
            Pemikiran filsafat Aristoteles direnungkan secara mendalam oleh Thomas Aquinas (tahun 1125-1274), tanpa ragu-ragu ia mengambil pemikiran filsafat Aristoteles sebagai dasar dalam berfikir secara kefilsafatannya. Namun demikian pemikiran filsafat Thomas Aquinas tidak semata-mata merupakan pengulangan dari filsafat Aristoteles. Ia membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran Kristiani dan menambahkan hal-hal baru, sehingga filsafatnya melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomasisme.
            Thomas Aquinas tentang pandangan terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan, artinya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia (keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga ambil bagian dalam kebaikan Tuhan; artinya bahwa alam material mempunyai bentuk kebaikan sendiri. Selanjutnya bahwa penciptaan itu bukan merupakan tindakan pada suatu saat tertentu, yang sesudah itu ciptaan tersebut untuk seterusnya dibiarkan mengadu nasibnya. Mencipta berarti secara terus menerus menghasilkan serta memelihara ciptaan  (Delfgaauw, 1992: 86-87).
Tuhan mencipta alam semesta serta wktu adalah dari keabadian, dan gagasan penciptaan tidak bertentangan dengan alam abadi. Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula atau ada awal dan ada akhir, namun bagi filsafat tidak membuktikan hal itu, seperti halnya filsafat juga tidak dapat membuktikan bahwa alam semesta tanpa awal dan tanpa akhir.
FILSAFAT BARAT JAMAN MODERN
1. Pendahuluan
            Filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang tampaknya kurang seimbang. Hal ini dapat dilihat antara lain karena filsafat merumuskan pertanyaan, sedangkan ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, filsafat kelihatannya tidak pernah maju. Namun di lain pihak, sejarah suatu ilmu tertentu  kurang dipentingkan bagi umat manusia sekarang, karena jawaban-jawaban dari dahulu sering kali sudah dikoreksi, sedangkan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat masih tetap actual bagi manusia masa kini.
            Pendapat-pendapat masa lampau tentang “pertanyaan-pertanyaan terakhir”, pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengethauan, tidak lebih jelek atau lebih baik daripada pendapat-pendapat yang dikemukakan sekarang. Sejarah filsafat seakan-akan merupakan suatu diskusi kontinyu mengenai pertanyaan-pertanyaan manusia, dan dalam hal ini rentetan pendapat dari semua jaman dan sudut dunia sama berharga.
            Sejarah filsafat mirip suatu museum yang memuat koleksi raksasa dari pendapat pendapat pemikir-pemikir besar mengenai misteri hidup. Koleksi ini bertambah terus menerus. Dalam koleksi ini dibedakan tiga tradisi besar, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Barat. Khusus dalam rencana pembicaraan ini adalah filsafat Barat yang mempunyai tiga jaman yang menonjol dan tiga periode keemasan, yaitu filsafat kosmosentris dari jaman Yunani, filsafat teosentris dari abad pertengahan, dan filsafat antroposentris dari jaman modern dan kontemporer. Pada bahasan ini hanya akan berbicara tentang jaman ketiga, yaitu pereode yang dimulai dari filsafat hasil pemikiran Rene Descartes (1596-1650) yang mendapat julukan Bapak filsafat modern, yang berlangsung sampai masa kini dan tetap jadi pembicaraan.
            Berbicara tentang filsafat modern, amat luas menghadapi pertanyaan, oleh sebab itu, maka “mana yang harus dimuat, mana tidak”: what to leave out and what to put in, that’s the problem. Pembicaraan pada masalah ini banyak hal yang tidak dimuat, sehingga nanti akan nampak sebagai ihtisar yang sederhana. Ihtisar dimaksud adalah ihtisar tentang filsafat modern dari filsafat abad ketujuh belas, filsafat abad kedelapan belas, dan filsafat abad kesembilan belas. Filsafat pada abad-abad itu sudah dianggap “klasik”. Di sinilah nanti beberapa pokok pemikirannya tentang filsafat modern yang dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
2.  Filsafat Abad Modern.
            Peralihan dari abad pertengahan ke abad Modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan ”Renaissans”. Era Renaissans adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Lucas, 1960: 3). Pada jaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad Pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat (Patterson, 1971: 2).
            Zaman Renaissans terkenal dengan jaman kelahiran kembali kebasan manusia dalam berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang bebas. Manusia bebas yang dimaksudkan dan didambakan adalah manusia bebas seperti yang ada dalam zaman Yunani Kuno. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah ”mengungkung” kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
            Filsafat Barat Modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan ”Renaissans” itu di dalamnya mengandung dua hal yang sangat penting, yaitu:
Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja.
Kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan (Russell, 1957: 511). Pengaruh dari gerakan Renaissans iu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan Barat modern berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia  Barat dari otoritas Gereja merupakan dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissans, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak jaman Renaissans, kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, namun dapat berubah dan diferivikasi sepanjang waktu.
            Dengan demikian filsafat Barat Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada Zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman Modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri. Kekuatan yang mengikat itu ialah agama dengan Gerejanya, serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
            Para filsuf Modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri (Nico Syukur Diester, 1992: 55). Sebagai ahli waris zaman Renaissans, filsafat Modern itu bercorak  ”antroposentris”, artinya manusia menjadi pusat perhatian penyelidikan filsafati. Semua filsuf pada zaman Modern menyelidiki segi-segi subjek manusiawi; ”aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan (Hammersma, 1983: 3-4).
            Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman Modern, khususnya dalam abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologi ini, maka dalam filsafat abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat dimaksud adalah aliran rasionalisme dan aliran empirisme.
            Mengawali filsafat Modern dengan kemunculannya aliran rasionalisme yang tokoh utamanya adalah Rene Descartes, maka setidak-tidaknya harus dipahami bagaimana filsafat Rene Descartes. Dari sinilah tonggak awal pemikiran filsafat Modern dimulai. Dengan ketidak puasannya Rene Descartes (1596-1650) terhadap filsafat pada zaman Renaissans, yang dianggapnya kurang sistematis dan kurang metode, maka diperbaharuilah filsafat, yaitu dengan “kesangsian metodis”. Menurut Rene Descartes, segala sesuatu hal disangsikannya, supaya tinggal diterima hal yang betul-betul pasti, sehingga dapat terjadi suatu system filsafat seperti suatu system ilmu pasti: yaitu suatu system berdasarkan aksioma-aksioma, dan tersusun menurut langkah-langkah logis, yaitu:
            Pertama, ia mengawalinya dengan ucapan “kalau saya sangsi akan segala sesuatu, tinggal satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri”.  Sebenarnya pikiran ini tidak baru, namun yang baru pada Descartes, yaitu bahwa subjek yang sedang berpikir menjadi titik pangkal untuk filsafatnya. Kata Descartes, kalau saya ragu-ragu akan segala sesuatu, saya masih berpikir, dan kalau saya berpikir, saya ada. Jadi kalau saya berpikir maka saya ada, istilah Yunani: Cogito ergo sum (Harry Hamersma, 1992: 8).
            Kedua, Descartes dalam berpikir berpangkal pada dirinya sendiri. Artinya, bahwa ia mengambil manusia yang sebagai subjek berpikir sekaligus dijadikan sebagai titik tolak berpikirnya. Hal inilah yang sama sekali baru, karena sebeleum Descartes, kebenaran selalu berdasarkan kekuasaan di luar manusia, misalnya kekuasaan kitab suci, tradisi, Negara, dan lain sebagainya. Tetapi bagi Descartes, bahwa manusia sendiri menjadi kekuasaan yang “membawa”, dan “memikul” kenyataan. Manusia yang berpikir merupakan pusat dunianya, dan berkat idea inilah sehingga ia dijuluki sebagai ”Bapak filsafat modern”.
            Ketiga, bahwa Desacartes mengatakan bila dirinya telah mempunyai kepastian tentang idea. Hal ini tampak dengan ucapannya “saya berpikir, maka saya ada”, karena menurutnya idea “jelasdan tegas”, dan semua hal yang dimilikinya merupakan idea-idea yang jelas dan tegas atau yang dilihatnya (Prancis: clare et distincte) itu pasti. Akal budi, ratio, mencapai kepastian ini tanpa pertolongan apa pun. Oleh karena itu, Descartes nampaklah bahwa dirinya sebagai seorang “rasionalis” sejati.
            Keempat, Descartes menyatakan bahwa ideanya tentang yang “jelas dan tegas”, di dalamnya memuat tiga substansi yaitu, substansi Allah, pemikiran (cogitatio), dan keluasan (extensio). Substansi pemikiran merupakan bidang psikologi atau bidang jiwa, sedangkan keluasan adalah bidang ilmu alam atau bidang materi. Dalam manusia kedua bidang yaitu pemikiran dan keluasan merupakan kesatuan, namun menurut Descartes tentang kesatuan ini agak aneh. Maksudnya yaitu, bawa pemikiran yang berupa kejiwaan dan keluasan yang berupa badani atau materi  adalah merupakan dua kenyataan terpisah, yang saling mempengaruhi melaui kelenjar kecil di bawah otak. Oleh sebab itu, seorang filsuf Inggris, Ryle, mengatakan bahwa dalam pikiran Descartes, manusia itu bagaikan “suatu hantu dalam sebuah mesin” (Harry Hamersma, 1992: 8).
            Berdasar dari pemikiran Descartes seperti itu, ternyata pengaruhnya tidak hanya bidang filsafat, melainkan juga ilmu pasti, ilmu alam, dan kedokteran, sehingga tampak jelas, bahwa dia telah memberi epistemology yang sama sekali baru, dan filsafat telah dibuatnya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sikap rasionalis ini pun juga ditemukan pada Spinoza dan Leibniz.
            Filsafat modern tidak saja ditemukan pada Descartes, meskipun dia telah mencari dasar untuk semua kepastian,  dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan “saya berpikir, maka saya ada”. Ternyata penglihatan Descartes tentang “saya berpikir, maka saya ada” menjadi titik pangkal aliran rasionalisme, meskipun di Inggris dalam waktu yang sama juga timbul aliran lain, yaitu aliran empirisme.
            Aliran empirisme dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan aliran ini sangat penting bagi John Loke (1632-1704) sebagai seorang tokoh aliran empirisme Hal ini dapat dimengerti karena rasionalisme menekankan peranan “rasio”, akal budi, maka empirisme menekankan peranan “pengalaman inderawi” (Yunani: emperia).
            John Loke mengatakan bahwa segala sesuatu dalam pikiran saya, berasal dari pengalaman inderawi. Tidak dari akal budi. Otak itu sepeti sehelai kertas yang masih putih. Baru melalui pengalaman inderawi, helai kertas itu diisi (Harry Hamersma, 1992: 19). Dan menurut John Loke tidak ada perbedaan antara pengetahuan dari akal budi dan pengetahuan dari panca indra. Semua pengetahuan berasal atau dari pengalaman lahiriah (dari sense atau external sensation), atau dari pengalaman batin (internal sense atau reflexion). Yang lahiriah member informasi tentang dunia di luar kita, yang batin tentang dunia dalam kita, yakni: jiwa. Pengalaman lahiriah, sensation, itu tersusun dari sifat-sifat seperti: “keluasan”, “bentuk”, “jumlah”, dan “gerak”. Pengalaman batin, reflexion, terjadi kalau kesadaran melihat keaktifannya sendiri. Dengan cara ini terjadi “ingat”, membandingkan”, “menghendaki”, dan lain sebagainya. Isi otak saya terdiri dari idea-idea, kata John Loke. Ada dua jenis idea kata John Loke,yakni: idea tunggal dan idea majemuk (simple ideas dan complex ideas). Idea tunggal berasal secara langsung dari pengalaman inderawi, sedangkan idea majemuk memang hanya “hubungan-hubungan dari idea-idea tunggal”. Missal: “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan lain sebagainya, tidak diamati secara langsung, tetapi “dilihat” melalui kombinasi idea-idea tunggal. Jadi bagi penganut empirisme, bahwa sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman. Pengalaman yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman. Oleh sebab itu para penganut aliran empirisme berkeyakinan bahwa manusia tidak mempunyai idea-idea bawaan yang dalam bahasa Yunani disebut ”Innate ideas”. Bagi mereka manusia itu ibarat kertas putih yang belum ditulisi, dan baru terisi melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
            Aliran empirisme pertama kali berkembang di Inggris pada abad ke-15 dengan Francis Bacon sebagai pelopornya. Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam penyelidikan atau penelitian. Menurut Francis Bacon, bahwa manusia melalui pengalamannya dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi antara benda-benda. Kemudian ajaran ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, ia juga meyakini bahwa pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari pendahulunya, John Locke lebih terdorong untuk mengemukakan tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta, menguji kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia. Paham empirisme ini kemudian dikembangkan oleh David Hume (tahun 1611-1776), ia menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman, dan ia sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada prinsip apriori, yang bertitik tolak dari idea-idea bawaan. David Hume mengajarkan bahwa manusia  tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan ialah pengamatan, melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan (impresion) dan pengertian-pengertian (ideas) (Harun Hadiwijono, 1985: 52). Kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Sedangkan pengertian-pengertian merupakan gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan langsung.
            Di abad filsafat Modern, kemunculan aliran-aliran bukan saja hanya aliran rasionalisme dan aliran empirisme, melainkan banyak aliran lain, seperti aliran Kritisisme, aliran Idealisme, aliran Positivisme, dan lain sebagainya.
FILSAFAT  POSTMODERN
(Kontemporer)
1. Pendahuluan
            Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa (Bertens, 1987: 17). Ungkapan filsafat yang membingungkan. Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus, sebagaimana yang diperbuat oleh para filsuf sebelumnya, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidak pahaman terhadap bahasa logika (Charlesworth, 1959: 2).
            Russell dan Wittgenstein melangkah lebih jauh ke dalam metode analisa bahasa ini sebagai sikap atau keyakinan ontologis memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat. Menurut Wittgenstein, bahwa apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan hanya sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan itu menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran-pemikiran . Filsafat bukanlah doktrin, melainkan aktivitas. Sebuah karya filsafat pada hakekatnya terdiri atas penjelasan (elucidations) (Wittgenstein, 1963: 49).
            Dengan demikian jelaslah apa yang diperbuat oleh para filsuf analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat idealisme. Sebab aliran filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Padahal ungkapan-ungkapan filsafati yang diintrodusir oleh penganut idealisme itu menurut filsuf analitik, kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi dengan analisa bahasa.
2. Filsafat Postmodern
            Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran filsafat itu merupakan kelanjutan dari aliran aliran filsafat yang telah berkembang pada abad Modern, seperti neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran Postmodernisme.
            Munculnya gerakan Postmodernisme  sebenarnya bukan hanya masuk di akal, tetapi tak terelakkan. Di samping mendatangkan berbagai keuntungan dan kemajuan, proyek modernisme juga mendatangkan konsekuensi yang tidak diharapkan dan tidak diinginkan. Bila Amerika merupakan pemimpin Dunia Bebas pada tahun 1960an, dan bila ortodoksinya adalah suatu bentuk modernisme yang terkait dengan kapitalisme liberal, maka tepatlah waktunya bagi seniman dan intelektual untuk menyatakan pemikiran dan budaya tandingan (counter-culture). Mereka sudah kenyang, bahkan muak dengan cara hidup yang mekanistis, deterministis, dan materialistis. Tidak mengherankan bahwa tidak terjadi pergeseran dari perspektif yang antroposentris ke kosmologis. Yang sesungguhnya berarti adalah akal dan budi (spirit).Konon gerakan budaya, estetika dan spiritualitas postmodernisme adalah upaya mengembalikan nilai-nilai, keindahan dan moralitas kedalam kehidupan kontemporer (Suryakusuma, 1993: 1).
            Dengan atau tanpa nama, gerakan posmodernisme itu sudah ada. Adalah pekerjaan yang sangat khas  dari teori sosial menunjuk kepada suatu gejala sosial, mengidentifikasikannya, mengemas dan memberikan label. Postmodernisme adalah ibarat jari yang menunjuk kepada bulan. Sampai kapanpun, jari tidak akan menjadi bulan. Tetapi yang lebih penting diingat, bulan itu ada, apakah ditunjuk dengan jari ataupun tidak. Yang pasti, postmodernisme menunjuk pada suatu perkembangan masyarakat yang memang perlu diperhatikan. Sifat kritis posmodernisme menimbulkan banyak pertanyaan yang perlu dijawab, paling tidak ditanggapi. Kadang pertanyaan yang baik, pertanyaan yang tajam dan jitu, lebih berguna daripada pertanyaan yang buruk atau tidak tepat. Yang menjadi petanyaan, apakah postmodernisme akan atau bisa menjadi acuan suatu kehidupan dan dunia yang lebih baik, mengingat bahwa postmodernisme menghindari menjadi suatu world-view yang kohern ? Apakah postmodernisme mampu menjadi sang bulan, ataukah ia memang tak punya ambisi untuk itu ? Apakah tidak ada bahaya, postmodernisme dalam bentuknya yang ekstrim akan merosot menjadi relativisme, anarki dan chaos ? Hal inilah yang sekedar menjadi ilustrasi untuk memahami apakah itu posmodernisme.
Oleh karena banyaknya keterbatasan, maka dalam hal ini hanya dibicarakan beberapa aliran dan tokoh yang banyak pengaruhnya pada abad ke-20 ini.
Tokoh utama fenomenologi, yaitu Edmund Husserl (Tahun 1859-1938) yang sekaligus juga pendirinya, ia banyak mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat spektakuler. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Yunani: phainomenon). Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang menampakkan diri atau fenomenon (Bertens,  1987: 100). Fenomenon bagi Husserl adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, sehingga realitas itu sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl dengan pandangannya tentang fenomenon ini, mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Karena sejak Descartes, bahwa kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup, artinya bahwa kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan jalan itu mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas. Jadi, ”kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan mengatakan realitas menampakkan diri.
            Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada para penganutnya. Titus dkk. (1984: 382) tentang aliran Eksistensialisme mengidentifikasi ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
  1. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat Modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
  2. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
  3. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri Modern dan teknologi, serta gerakan masa. Oleh sebab itu masyarakat industri cenderung untuk seseorang kepada mesin.
  4. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fisis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan dalam kolektif atau massa.
  5. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
  6. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang populer adaah Jean Paul Sartre (Tahun 1905-1980), ia membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis. Rasio analitis dijalankan dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan, jika berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini bersifat dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan pengetahuan. Rasio ini dialektis, karena objek yang diselidikinya bersifat dialektis, dan juga karena ditentukan oleh tempatnya dalam sejarah (Bertens, 1987: 111).
            Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika aliran eksistensialisme menekankan pada peranan individu, maka aliran strukturalisme justru melihat manusia ”terkungkung” dalam berbagai struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip lingustik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey disebut ”Geisteswissenschaften” yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau ”Naturwissenschaften”.
Kedua, struturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahamimasalah yang muncul dalam sejarah filsafat.  Metodologi struktural di sini dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusastraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia (Kurzwell, 1980: vi-x).
            Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistik dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran strukturalisme ini memilki corak yang beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu: penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem, melinkan takluk pada sistem.
            Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme, yaitu Michel Foucault (Tahun 1926-1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pikiran manusia (Bertens, 1987: 217). Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
            Di abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praksis cukup besar, yaitu aliran filsafat Pragmatisme. Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran (Titus, dkk, 1984: 340). Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya.
            Salah satu tokoh Pragmatisme adalah William James (Tahun 1842-1910), berpandangan bahwa pikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan, yaitu:
Pertama, pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988: 62).
Kebenaran itu suatu proses, suatu idea dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari idea itu. Oleh karena kebenaran itu hanya satu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis (berdasarkan hasil/ buah pikiran), maka kebenaran potensial menjadi real.
            Postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat populer pada penghujung abad ke-20 ini merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat serta ilmu pengetahuan. Istilah ”Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan meriah dan hiruk-pikkuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong.
            Pada awalnya Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan Modernisme. Filsafat dalam Modernisme memang berpusat pada Epistemologi yang bersabda pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain terpisah dan tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan (Fondasionalisme), dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (Representasionalisme). Dengan demikian klaim-klaim dari kaum Posmodernis tentang ”berakhirnya Modernisme” biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan Modern tentang ”subjek” dan ”dunia objektif” tadi (Bambang Sugiharto, 1996: 33).
            Wacana Postmodern menjadi populer setelah Francois Lyotard (Tahun 1924- ) menerbitkan bukunya ”The Postmodern Condition: A Report on Knowldge” (Tahun 1979). Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat Modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitive dulu. Seperti halnya dengan mitos dalam masyarakat primitive, kisah-kisah besar pun melegitimasi institusi-institusi serta praktek-praktek social politik, system hokum serta moral, dan seluruh cara berpikir. Namun berbeda dengan mitos-mitos, kisah-kisah besar itu tidak mencari legitimasi dalam suatu peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh dewa-dewa) melainkan dalam suatu masa depan, dalam suatu idea yang harus diwujudkan (Bertens, 1987: 348). Salah satu contoh kisah besar yang berusaha mewujudkan idea seperti itu adalah emansipasi progresif dan rasio serta kebebasan dalam liberalisme politik.
            Mengakhiri pembicaraan tentang pemikiran filsafat Barat terutama di akhir abad ke 20 dan menginjak abad 21 ini, penulis kutipkan tulisan Julia I Suryakusuma (th. 1993) tentang: Modern dicangkok ke Postmodern sebagai berikut:
Modern                                              Postmodern

1. Dalam politik
 Negara (nation-state)                          region/ badan supranational
Totalitarian                                          demokratis
Konsensus                                           konsensus yang dipertanyakan
Friksi kelas                                          isyu agenda baru

2. Dalam Ekonomi
Fordism                                               Posca fordism (networking)
Kapitalisme monopoli                         kapitalisme sosialis yg diregulasi
Sentralisasi                                          ekonomi dunia yg didesentralisasi

3. Dalam Masyarakat
Pertumbuhan pesat                              kestabilan berkesinambungan
Industrial                                             pasca industrial
Berstruktur kelas                                 berkelompok kelompok kecil

4. Dalam Kebudayaan
Kemurnian (purism)                            double-coding
Elitisme                                               dialog elit/ masa
Objektivisme                                       nilai-nilai dalam alam

5. Dalam Estetika
Harmoni sederhana                             harmoni yg tidak harmonis
Top-down terintegrasi                         semiosis yg dikonflikkan
Ahistoris                                              terkait waktu
6. Dalam Filsafat
Monisme                                             pluralisme
Materialisme                                        pandangan semiotik
Utopian                                               interutopian

7. Dalam Media
Dunia Cetak                                        elektronik/ reproduktif
Berubah cepat                                     instan/ mengubah dunia

8. Dalam Ilmu Pengetahuan
Mekanistis                                           mengorganisasi diri sendiri
Linier                                                   non linier
Deterministik                                      kreatif/ terbuka

9. Dalam Agama
Tuhan telah mati                                 spiritualitas pusatnya pada kreasi
Kekecewaan                                        kembali terpesona

10. Dalam Pandangan Hidup
Mekanistis                                           ekologis
Reduktif                                              holoistik/ saling berkaitan
Terpisah                                               berkaitan semi-otonom
Hirarkis                                               heterarkis
Antroposentris                                                orientasi kosmologis
Absurditas manusia                             optimisme tragis

PENUTUP
            Berdasarkan paparan singkat perkembangan filsafat Barat sejak kelahirannya pada zaman Yunani Kuno sampai dengan abad ke-20 atau abad Kontemporer yang biasa juga disebut zaman Postmodern, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa pemikiran filsafat Barat berkembang sebagai reaksi terhadap mitos-mitos dan sikap dogmatis. Reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran rasional, artinya bahwa suatu pendapat yang dimitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan, ditentang, dan dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah yang baru. Di sini ciri utama filsafat spekulatif menjadi lebih dominan, artinya ada keberanian untuk menemukan hal-hal baru, walaupun manusia pada zamannya mungkin belum dapat menerima idea-idea tersebut pada massa itu, sebagaimana halnya Copernicus, Galileo Galilei yang pandangan Heliosentrismenya belum dapat diterima oleh umat manusia pada zamannya, namun akhirnya pandangan mereka tetap diakui kebenarannya pada era-era sesudahnya.
            Demikian juga dengan kelahiran filsafat Modern yang dirintis sejak Renaissans dan Aufklarung, merupakan reaksi terhadap pemikiran filsafat abad Pertengahan yang bersifat dogmatis. Gereja sebagai institusi pada waktu menjadi satu-satunya otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan di luar kontrol Gereja sudah berjalan sangat pesat, terutama bidang Astronomi. Sehingga upaya mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan kedalam sekat-sekat agama mengalami kegagalan. Bahkan terjadi sekularisasi ilmu, yaitu pemisahan antara aktivitas ilmiah dengan aktivitas keagamaan.
            Pada abad ke-20 kelahiran Postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran Modern yang juga telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat Modern yang lahir sebagai reaksi terhadap sikap dogmatis Abad Pertengahan, menurut kaum Postmodernis telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos baru itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam teknologi, segala persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan. Padahal  kenyataannya banyak agenda kemanusiaan yang masih membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Di sinilah Postmodernisme ”menggugat” Modernisme yang telah mandeg (berhenti) dan berubah menjadi mitos baru.
            Akhirnya dari uraian-uraian di atas yang berupa perkembangan pemikiran filsafat Barat, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Filsafat dapat dipandang sebagai sikap kritis yang mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kacamata awam tidak perlu dipersoalkan.
  2. Filsafat memiliki daya dobrak/ gebrakkan yang tinggi terhadap kemapanan yang diciptakan oleh manusia dalam peradaban dan kebudayaannya.
  3. Filsafat bukan merupakan dogma, melainkan suatu aktivitas yang menuntut kreativitas pikir secara berkesinambungan.
DaftarPustaka
Bertens, K, 1987, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Harry Hamersma, 1992,  Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, PT. Gramedia
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil