Minggu, 30 Juni 2013

haki



A.    PENDAHULUAN


 Perlindungan hak kekayaan intelektual sangat penting bagi pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Hak atas kekayaan intelektual yang dilindungi di Indonesia bisa saja berupa merek, lisensi, hak cipta, paten maupun desain industri. Hak atas kekayaan intelektual pada saat ini bukan hanya sebagai suatu nama atau simbol saja, melainkan Hak atas kekayaan intelektual memiliki aset kekayaan yang sangat besar. Hak atas kekayaan intelektual yang tepat dan dipilih secara hati-hati merupakan aset bisnis yang berharga untuk sebagian besar perusahaan.
Hal ini karena konsumen menilai Hak atas Kekayaan Intelektual sebagai reputasi, citra dan sejumlah kualitas-kualitas yang konsumen inginkan yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual. Konsumen dalam hal ini mau membayar lebih untuk produk dengan Hak atas Kekayaan Intelektual tertentu yang telah diakui dunia dan yang dapat memenuhi harapan mereka. Oleh karena itu, memiliki pengakuan atas Hak atas Kekayaan Intelektual dengan citra dan reputasi yang baik menjadikan sebuah perusahaan lebih kompetitif.
Fungsi utama dari penguasaan Hak atas Kekayaan Intelektual adalah agar konsumen dapat mencirikan suatu produk (baik itu barang maupun jasa) yang dimiliki oleh perusahaan sehingga dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau yang mirip yang dimiliki oleh pesaingnya. Konsumen yang merasa puas dengan suatu produk tertentu akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa yang akan datang. Untuk dapat melakukan hal tersebut pemakai harus mampu membedakan dengan mudah antara-produki yang asli dengan produk-produk yang identik atau yang mirip.
Apabila kita simak landasan pemikiran filosofis yang menjiwai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terlihatlah bahwa pembentuk                 undang-undang mendasarkan pada pandangannya, bahwa ditujukan  untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, menurut pembentuk                     Undang-Undang, akan dilakukan melalui dua strategi dasar, yaitu di satu sisi melalui upaya memberdayakan konsumen, yang akan ditempuh dengan  cara  meningkatkan  pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya sendiri. Sedangkan disisi lain ditempuh melalui upaya untuk menciptakan dan mendorong iklim usaha yang sehat dan tangguh serta mendorong tumbuhnya sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dalam konteks yang demikian, maka terlihatlah, bahwa segala  upaya  memberikan perlindungan  terhadap konsumen tentunya tidak dimaksudkan  untuk mematikan usaha  dari pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, upaya-upaya tersebut diharapkan juga dapat men-dorong terciptanya iklim  berusaha  yang sehat, yakni yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan  barang  dan/atau jasa  yang  berkualitas. Dengan strategi yang disebutkan di atas, pembentuk undang-undang mengharapkan akan tercipta keseimbangan perlindungan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha.
Selanjutnya untuk dapat menunjang strategi yang telah dipilih sebagaimana terurai diatas, maka pembentuk                    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan beberapa asas (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan tujuan dari perlindungan konsumen (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) serta menetapkan secara tegas apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen (Pasal 4 dan 5                    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) pelaku usaha (Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).  Keempat hal inilah, yang selanjutnya diharapkan dapat menjadi mediator sekaligus penyaring dari berbagai norma yang berfungsi untuk merestrukturisasi lembaga-lembaga dan  pranata-pranata hukum dan ekonomi yang telah ada, maupun merekonstruksi  pola-pola hubungan  yang  terjadi baik antara konsumen dan pelaku usaha.
Lalu, apa sajakah yang ditetapkan oleh pembentuk                    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ke dalam wujud norma-norma hukum yang konkrit dan operasional, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya melalui strategi yang telah dipilinya tersebut.
Apabila dilihat dari substansi-substansi dari norma hukum yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapatlah diketahui, bahwa untuk mendukung itu semua, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen             tersebut telah ditetapkan berbagai perbuatan dari pelaku usaha,  baik  bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan produksi, kegiatan perdagangan, maupun ketika mereka melakukan                        kegiatan-kegiatan menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan produknya.  (Pasal 9 s/d 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).  Selain daripada itu ditetapkan pula hal-hal yang berkaitan dengan pencantuman klausula baku (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Di  samping upaya-upaya yang berkaitan dengan pengaturan tentang perilakunya,  sebagai bagian integral dari upaya melindungi konsumen, undang-undang tersebut, disamping mengakui keberadaan LSM (yang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, lihat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), juga menciptakan dan menyempurnakan berbagai macam lembaga, baik yang difungsikan untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen (yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional, lihat Pasal 31 s/d 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), maupun lembaga-lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha, baik yang bersifat non-litigasi (yang didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) maupun yang bersifat litigasi (Pasal 45 s/d 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Selain daripada itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini juga memberikan hak dan tanggung jawab kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan konsumen (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) serta memberikan kewenangan kepada pemerintah, masyarakat, serta lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Agar berbagai norma tersebut dapat dipatuhi, maka untuk selanjtnya di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, ditetapkan berbagai macam sanksi yang dapat ditetapkan kepada konsumen dan pelaku usaha yang melanggar norma-norma yang telah ditetapakn, baik sanksi-sanksi keperdataan (Pasal 19 s/d 21,                  23 s/d 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) , sanksi-sanksi administratif (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), maupun sanksi-sanksi pidana ( Pasal 22, 61 s/d 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Demikianlah penetapan tujuan, strategi dan penetapan norma serta sanksi yang oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat merestrukturisasi lembaga-lembaga dan  pranata-pranata hukum dan ekonomi yang telah ada maupun merekonstruksi  pola-pola hubungan  yang  terjadi baik antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk/jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh produsen. Dalam hal ini tentu tidak cukup, bila konsumen tampil satu kali saja pada saat bisnis dimulai. supaya bisnis berkesinambungan, perlulah konsumen yang secara teratur memakai serta membeli produk/jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan.
the customer is king” sebenarnya tidak merupakan slogan saja yang dimaksud sebanyak mungkin pembeli. ungkapan ini menunjukkan tugas pokok bagi perodusen/penyedia jasa: mengupayakan kepuasan konsumen. Pelanggan adalah raja dalam arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan produsen. Tidak mengherankan, kalau peranan sentral pelanggan atau konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisa didefinisikan secara tepat sebagai “too creat a customer”
Bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Sebagaimana halnya dengan banyak topik etika bisnis lainnya, disini pun berlaku bahwa etika dalam praktek bisnis sejalan dengan kesuksesan bisnis. Perhatian untuk etika dalam hubungan dengan konsumen, harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi etis dari relasi Pelaku usaha dan konsumen itu mendesak, karena posisi konsumen sering kali agak lemah. Walaupun konsumen digelari raja, pada kenyataannya “kuasanya” sangat terbatas karena berbagai alasan. Dalam konteks modern si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen. Karena bisnis itu mempunyai kewakjiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari kerugian baginya.
Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal ini terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.[1]
Berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis akan menguraikan keterkaitan hubungan antara Persaingan Usaha, Kontrak dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di dalam Perlindungan Konsumen.

B.    PEMBAHASAN
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau intelectual property right telah cukup kental di pikiran kita. HAKI memang bukan barang baru di Indonesia ini, terlebih dengan semakin berkembangnya dunia teknologi informasi dan industri kreatif diIndonesia. HAKI yang pada umumnya terkait dengan hak paten, hak cipta, dan merek dagang ini memberikan hak tertentu kepada pemegangnya untuk waktu tertentu mengecualikan pihak lain dalam memperoleh manfaat dari produk atau jasa tersebut. Perlindungan atas HAKI memang diakui penting dalam meningkatkan inovasi dan pada akhirnya menunjang pertumbuhan ekonomi. Dapat dibayangkan, apa jadinya negara           ini kalau insentif untuk melakukan inovasi tidak diperhatikan. Bisa-bisa semua produk atau jasa yang ada di tanah air kita ini berasal dari negara lain.
HAKI dari sisi persaingan usaha dapat memberikan kekuatan pasar kepada pemegang hak untuk menentukan kepada siapa dia dapat menjual produk atau jasa kreatifnya. Kekuatan pasar tersebut dapat disalahgunakan apabila tidak terdapat teknologi atau produk serupa yang dapat menjadi subtitusi. Akibatnya, dapat terjadi inefisiensi dimana pemilik hak akan membatasi penjualan untuk mengurangi tingkat persaingan di pasar dan memaksimalisasi keuntungan mereka. Dari sisi persaingan usaha juga dapat ditemukan fenomena bahwa perilaku monopolistik tersebut dapat diperkenankan apabila hanya dilakukan pada jangwa pendek dan tetap dapat dibuktikan memberikan manfaat jangka panjang yang optimal bagi kesejahteraan rakyat. Dualisme pemikiran inilah yang membuat isu mengenai HAKI menjadi menarik untuk ditelaah.
Dua sisi pedang yang dimiliki HAKI ini sebenarnya telah mendapat perhatian dunia, khususnya dalam mempertimbangan sejauh mana perlindungan atas HAKI dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perhatian tersebut diterjemahkan dalam perjanjian aspek-aspek dagang dari HAKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights atau TRIPS) yang dinegosiasikan dalam Putaran Uruguay (Uruguay Round). Perjanjian tersebut memperkenalkan adanya standar minimal atas perlindungan dan penegakan hukum bagi HAKI dalam sistem perdagangan internasional (cross boarder) dan bersifat mengikat kepada seluruh negara anggota. Peranan kebijakan persaingan atas HAKI dalam TRIPS juga dinyatakan spesifik. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa negara anggota diperkenankan mengadopsi berbagai cara pencegahan atau pengendalian praktek persaingan usaha tidak sehat dalam HAKI berdasarkan hukum di negara bersangkutan.
Penyalahgunaan HAKI secara umum dapat dibedakan pada sifat perjanjiannya, yaitu horizontal dan vertikal. Secara horizontal, penyalahgunaan terjadi dalam bentuk adanya koordinasi antar pesaing yang berdampak pada persaingan dan kesejahteraan rakyat. Bentuk perilaku tersebut dapat berupa kondisi dimana pemegang HAKI melakukan perjanjian dengan pemegang HAKI lainnya dengan tujuan menetapkan harga yang disepakati bersama atas produk atau jasa yang terkait dengan teknologi barang yang mereka miliki. Kerjasama tersebut bisa dilakukan secara sendiri ataupun melalui pembentukan suatu usaha patungan (joint venture). Sedangkan secara vertikal, perjanjian terjadi dalam hal pemegang HAKI bekerjasama dengan perusahaan pengguna produk HAKI tersebut (sebagai barang input). Penyalahgunaan tersebut umumnya dilakukan dengan cara penetapan harga bersama dengan tujuan mengurangi biaya transaksi di antara mereka.
Secara khusus, berbagai perilaku penyalahgunaan HAKI tersebut dapat berupa pembagian wilayah, perjanjian eksklusif, penjualan bersyarat (tying), dan penolakan pemberian lisensi (refusal to license). Pembagian wilayah dilakukan apabila pembagian pasar menjadi beberapa wilayah dan membatasi perdagangan dimungkinkan, maka pemegang HAKI cenderung akan memilih untuk menunjuk satu pemegang izin tertentu untuk pada wilayah-wilayah tertentu. Perjanjian ekslusif sering digunakan untuk mencegah pemegang HAKI untuk memproduksi produk yang menggunakan teknologi yang dimiliki pesaingnya. Dalam perjanjian ini, umumnya retalier tidak diperkenankan menjual produk pesaing. Hal ini ditujukan untuk mencegah adanya free rider memanfaatkan persaingan tersebut dan untuk mengembangkan hubungan teknologi antara pemegang dan pemberi HAKI. Penjualan bersyarat juga kerap digunakan dalam mewajibkan konsumen untuk menggunakan penyedia barang terkait dengan berlindung pada alasan mempertahankan kualitas produk yang dimilikinya.
Namun demikian, berbagai perilaku yang dilakukan pemegang HAKI seringkali juga bermanfaat bagi pemegang hak sekaligus meningkatkan kompetisi di pasar jika perilaku tersebut dilakukan secara benar. Misalnya, pembatasan wilayah pemasaran dan perjanjian ekslusif yang dapat mengamankan keuntungan dengan membatasi dan mendorong persaingan dalam merek yang sama (intrabrand competition) serta memberikan harga yang berbeda antar wilayah geografis berdasarkan karakter konsumen terkait. Bahan penjualan bersyarat dapat digunakan untuk meningkatkan output dengan menetapkan harga berdasarkan karakter konsumen yang berbeda (misalnya harga yang lebih rendah bagi konsumen baru). Penggunaan royalti juga dapat mendorong efisiensi dengan cara menetapkan besaran royalti berdasarkan output total yang dihasilkan. Memperhatikan dua sisi perilaku positif dan negatif dari HAKI inilah yang seringkali membuat hubungan antara penggunaan HAKI dengan penerapan hukum persaingan menjadi sangat rumit dan membutuhkan pertimbangan ekonomis yang lebih matang.
HAKI memiliki peranan yang vital dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan konsumen dan adalah hal yang penting untuk melindungi insentif untuk menciptakan dan meningkatkan HAKI. Hubungan antara HAKI dan hukum persaingan memiliki hubungan yang kompleks karena pemegang HAKI dapat melakukan perilaku yang anti kompetisi dalam memperoleh kekuatan pasar yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatan pasar yang secara otomatis mereka miliki               begitu mereka memperoleh hak khusus tersebut. Penggunaan hukum persaingan yang tepat dapat mengatasi permasalahan tersebut tanpa menginjak legitimasi atas perlindungan HAKI. Kepentingan pemegang HAKI, produsen, dan konsumen akan diuntungkan melalui suatu pasar yang kompetitif dan diwarnai dengan kemudahan akses, transparansi, proses negosiasi jual beli lisensi tepat, praktek HAKI yang efisien, dan penegakan hukum yang tepat. Kombinasi yang tepat diantara keduanya akan menciptakan suatu standar yang optimal dalam melindungi kepentingan pemegang HAKI dan melindungi kesejahteraan rakyat.
Terhadap perlindungan konsumen  dari pelaku usaha dalam hal  penyusunan Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku diistilahkan secara beragam dalam bahasa Inggeris dengan standardized contract, standard contract atau contract of adhesion. Pada awal dimulainya sistem perjanjian, kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat penting. Namun berhubung              aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, para pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak              menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau perjanjian baku.
Dengan cara yang praktis ini, pihak pemberi kontrak                      standar sering kali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya              dan bahkan mengambil kesempatan di kala lawan perjanjian   tidak berkesempatan membaca isinya secara detil atau                      tidak terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha dan konsumen,                    maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen                atau pelaku usaha. Perdagangan modern ditandai                  dengan kontrak standar yang berlaku secara massal,                 perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan                   yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak                          yang dibuat oleh produsen.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan sebagai berikut :
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan              syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan                     terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a.   menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan palaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)  Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan
Ayat (1)
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”.
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau pernjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a), seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang pemproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.  Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menurut kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.
          Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari larangan klasula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.
                   Larangan dalam huruf d dari Pasal 18 ayat (1)             Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah tepat. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
                   Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1)                Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.
         Khusus menyangkut larangan dalam Pasal 18 ayat (1)             huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dimengerti bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan.
         Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang.
Dalam hal melakukan produksi pelaku usaha harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, Pelaku usaha maupun konsumen masing–masing mempunyai tanggung jawab.
Untuk mendasarkan tanggung jawab pelaku usaha, telah dikemukakan 3 teori yang mendukung nuansa yang berbeda: teori kontrak, teori perhatian semestinya dan teori biaya sosial.
1.   Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi               kuno yang berbunyi caveat emptor “hendaknya si pembeli berhati–hati”. Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, Konsumen harus membaca dengan teliti seluruh teksnya termasuk huruf–huruf terkecil sekalipun, serta konsumen dengan hati–hati harus mempelajari keadaan produk serta ciri–cirinya. Sebelum dengan membayar ia menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual memperoleh dasarnya dari situ.
Tetapi tidak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen dan konsumen, selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak. Karena itu pandangan kontrak dari beberapa segi tidak memuaskan juga terutama ada 3 (tiga) keberatan berikut terhadap pandangan ini.
  1. Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara pelaku usaha dan konsumen.
  2. Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen. Padahal konsumen pada kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan pelaku usaha.
  3. Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik. Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlanjur menyetujui kontrak jual beli. Padahal disitu tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman dan sebagainya. Bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual beli hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen terlaksana.
2.   Teori perhatian semestinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsumen danpelaku usaha, melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu tekanannya bukan dari segi hukum saja, melainkan dalam etika dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.
3.   Teori biaya sosial
Teori biaya sosial merupakan versi yang paling ekstrim dari semboyan caveat venditor. walaupun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen, rupanya sulit juga mempertahankan. Kritik yang dikemukakan dalam teori ini, bisa disingkatkan sebagai berikut: teori biaya sosial tampaknya kurang adil, karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal–hal yang tidak diketahui atau tidak dihindarkan. Menurut keadaan kompensatoris orang yang bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya.
Dalam menjamin keamanan produk, Pelaku usaha mempunyai kewajiban terhadap konsumen. Disini Penulis membahas tiga kewajiban moral lain yang masing–masing berkaitan dengan kualitas produk, harganya, dan pemberian label serta pengemasan.
  1. Kualitas produk
Dengan kualitas produk, disini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan pelaku usaha dan apa yang secara wajar boleh diharapkan konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang berkualitas, misalnya produk yang tidak kadaluwarsa (bila ada batas waktu seperti obat obatan atau makanan).
  1. Harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor–faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas , sepintas lalu rupanya harga yang adil                adalah hasil akhir dari perkembangan daya pasar. Kesan spontan adalah bahwa harga yang adil dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana dilakukan dipasar tradisional, dimana si pembeli sampai pada maksimum harga yang              mau ia bayar dan si penjual sampai pada minimum harga yang mau dipasang . transaksi itu terjadi bila maksimum dan minimum itu bertemu.
  1. Pengemasan dan pemberiaan label
Pengemasan dan label dapat menimbulkan masalah etis. Dalam konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar. Informasi yang kurang benar atau tidak pasti bukan saja merugikan konsumen tetapi pihak lain juga. Disini contoh yang jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu di amerika serikat tentang kemungkinan kelapa sawit bisa meningkatkan kadar kolestrol dalam darah. Kalau hal itu disampaikan sebagai informasi yang benar, sedangkan pada kenyataannya belum terbukti, negara kelapa sawit sangat dirugikan dan penyiaran informasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair.
C.    PENUTUP
1.   Kesimpulan
a.    HAKI dari sisi persaingan usaha dapat memberikan kekuatan pasar kepada pemegang hak untuk menentukan kepada siapa dia dapat menjual produk atau jasa kreatifnya sekaligus meningkatkan kompetisi di pasar jika perilaku tersebut dilakukan secara benar
b.   Dalam hal melakukan produksi pelaku usaha harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, Pelaku usaha maupun konsumen masing–masing mempunyai tanggung jawab
c.    Terhadap perlindungan konsumen  dari pelaku usaha dalam hal  penyusunan Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku yang mana kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat penting.
2.   Saran
Masalah etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam hal ini konsumen sendiri tidak berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen sendiri juga mempunyai tranggung jawab. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap kritis dalam menilai produk yang akan dibeli dan dikonsumsi itulah kebenaran yang terkandung dalam pepatah kuno caveat emptor (hendaknya si pembeli berhati – hati).










[1] Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta, 2008, hal.29

Rabu, 26 Juni 2013

IMPLEMENTASI KEKUASAAN NEGARA DALAM SISTEM KETATAGERAAN



A. Pendahuluan
Kekuasaan negara merupakan obyek telaah oleh para ilmuan hukum dan kenegaraan dari masa ke masa yang terus berkembang. Istilah “kekuasaan negara” bukan saja dikaji berdasarkan konsep teoritis, tapi pengkajian terhadap kekuasaan negara dimaksudkan bagaimana kekuasaan dalam negara agar suatu negara yang berdaulat dapat menjalankan fungsi negara dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat.
Perkembangan zaman selalu saja mewarnai konsep dan pelaksanaan kekuasaan negara secara praktis oleh pemerintah sebagai alat perlengkapan negara. Setiap ruang/wilayah dan waktu/zaman selalu dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, ideologi, serta tujuan dan cita-cita masyarakat melahirkan kondisi sehingga melahirkan kondisi yang berbeda di setiap zaman dan tempat yang berbeda. Faktor inilah yang menyebabkan banyaknya konsep tentang kekuasaan negara terutama mengenai jumlah dan organ pelaksana dari kekuasaan tersebut.
Perbedaan pandangan antara beberapa ahli hukum mengenai kekuasaan negara disebabkan oleh selain sudut pandangan yang berbeda, juga disebabkan oleh zaman dan wilayah yang berbeda, oleh karena itu sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjadi acuan untuk melahirkan konsep baru tentang kekuasaan negara dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Kekuasaan negara di Indonesia menurut Jimly Asshiddiqie bahwa ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat berlaku secara silmultan dan pemikiran bangsa Indonesia tentang kekuasaan.
Negara Indonesia memiliki banyak lembaga negara. Lembaga negara tersebut merupakan implementasi kedaulatan rakyat Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga negara dalam rangka menjalankan roda pemerintahan untuk mencapai tujuan masyarakat sebagaimana termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya bahwa lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara yang dibentuk sebelumnya tidak cukup untuk menjalankan pemerintahan dan menjamin seluruh kepentingan masyarakat Indonesia.
Bentuk kewenangan yang dimiliki oleh lembaga negara sebelumnya tidak menjamin adanya pemerintahan yang demokratis dan mengekang kebebasan hak-hak dasar masyarakat, sehingga pasca reformasi sistem ketatanegaraan Indonesia berubah secara drastis, salah satu indikatornya adalah berubahnya struktur ketatanegaraan, wewenang sebagian lembaga negara serta bertambahnya jumlah lembaga negara yang ada.
Bertambahnya jumlah lembaga negara yang ada melahirkan pemikiran baru yang menyatakan bahwa teori tradisional yang menyatakan tiga kekuasaan negara sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, termasuk sistem ketatanegaraan Indonesia yang sudah jauh melenceng dari teori tiga kekuasaan baik yang sifatnya pemisahan maupun pembagian. Bahkan beberapa negara modern yang demokrasinya sudah matang seperti: Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Amerika, pelaksanaan kekuasaan negara dilakukan oleh banyak lembaga negara, yang dikategorikan sebagai lembaga negara utama (Primary State Organs) dan lembaga negara bantu atau penunjang (Auxiliary State Organs). Kekuasaan negara seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu fungsi legislative, fungsi executive, fungsi judicative, fungsi federative atau terkait dengan hubungan luar negeri, financial, fungsi polisi, fungsi defensive, pada dasarnya telah menjadi bagian dari tugas pemerintahan dalam negara konstitusional modern.
Hasil pemikiran mengenai jumlah kekuasaan dalam negara dilahirkan oleh beberapa ahli hukum dan kenegaraan dengan konsep yang berbeda antara satu sama lain. Teori tentang adanya kekuasaan dalam negara yang harus dibagi-bagi lahir di Eropa Barat. Pandangan ini muncul sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolute yang bertujuan untuk mencegah tumbuhnya kekuasaan di tangan satu orang, selain itu agar terdapat jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
Beberapa ahli hukum mengemukakan konsep kekuasaan negara diantaranya adalah John Locke, Montesquieu, C.F. Strong, C. Van Vollenhoven, dan Logemann. Locke mengatakan bahwa dalam suatu negara, kekuasaan-kekuasaan dibagi tiga yaitu legislative, eksekutif, dan federatif. Legislative adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, federatif adalah kekuasaan yang meliputi kekuasaan yang mengenai perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. Pemikiran ini ditulis dalam bukunya yang berjudul “two trities on civil government”.
Montesquieu mengatakan bahwa disetiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu legislative power (kekuasaan untuk membentuk undang-undang), executive power (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang), dan judicative power (kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang). Ia mengatakan bahwa ketiga jenis kekuasaan tersebut harus dipegang dan dijalankan oleh sebuah lembaga negara dimana masing-masing lembaga negara harus terpisah antara satu sama lain baik orang yang duduk dalam lembaga tersebut maupun dalam hal pelaksanaan kewenangan atau fungsinya. Sebelum Montesquieu fungsi negara itu telah dikenal sejak lama di negara Perancis pada abad XVI, yang terdiri dari lima yaitu : fungsi diplomatie, fungsi defencie, fungsi financie, fungsi justicie, fungsi policie.
C.F. Strong mengemukakan bahwa pemerintahan terdiri dari kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif : “…government……it must have legislative power, executive power, and judicial power, which we may call the three departments of government”. Ketiga kekuasaan dalam pemerintahan itu, semuanya berperan dalam pelaksanaan kedaulatan negara modern. Ketiga kekuasaan tersebut selalu berhubungan erat satu sama lain, bahkan di beberapa negara hubungan antara ketiganya lebih erat walaupun memiliki perbedaan.
Konsep tentang kekuasaan negara juga dikemukakan Cornelis Van Vollenhoven. Pemikiran dari sarjana Belanda ini juga terinspirasi oleh pemikiran Montesquieu, akan tetapi ia memisahkan badan/kekuasaan kepolisian yang terpisah secara khusus. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang hanya meliputi executive power saja, sehingga fungsi maupun organ pemerintahan itu menurutnya merupakan catur praja yang terdiri dari : pertama adalah regeling (tugas legislative) yang berfungsi membuat undang-undang dalam arti formil maupun materil; Kedua, bestuur (tugas eksekutif) yakni memelihara kepentingan umum dengan sungguh-sungguh. Eksekutif atau bestuur tidak hanya melaksanakan undang-undang saja tetapi secara umum dapat dikatakan memperhatikan secara aktif dan bebas semua kebutuhan masyarakat; ketiga adalah justitie/recht-spraak (tugas yudikatif) yakni menyelesaikan tugas pertikaian dalam peradilan perdata dan pidana; dan keempat, politie (tugas kepolisian) yang merupakan pemisahan khusus dari bestuur, yakni mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan hukum oleh warga negara individual, mempertahankan hak-hak baik secara preventif, menyelesaikan pertikaian dalam peradilan pidana, memelihara ketentraman dan keamanan.
Dikatakan bahwa kekuasaan itu harus dipisahkan (separation of power), kenyataannya dalam praktek pelaksanaan ketatanegaraan semua negara tidak dapat melaksanakannya pemisahan kekuasaan secara penuh. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi menyatakan bahwa konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu sudah tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat bahwa sangat tidak mungkin urusan pemerintahan dalam negara hanya dijalankan secara ekslusif oleh salah satu atau ketiga lembaga negara. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa ketiga cabang kekuasaan itu mustahil tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan sesuai dengan prinsip Checks and Balances.
Perkembangan kehidupan ketatanegaraan dewasa ini yang cukup berbeda dengan kehidupan ketatanegaraan pada masa-masa sebelumnya. Struktur organisasi negara termasuk bentuk-bentuk dan fungsinya mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yakni, pertama adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan menganut sistem Cheeks and Balances yang setara dan seimbang diantara cabang-cabang kekuasaan, kedua mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, ketiga menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia. Keempat adalah dikarenakan perkembangan masyarakat baik secara ekonomi, politik, dan sosial budaya, serta pengaruh globalisme dan lokalisme.
Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terlepas dari pengembangan konsep trias politika yang dikembangkan oleh John Locke, Montesquieu, dan pengaruh dari model ketatanegaraan negara Belanda. Dalam perkembangan ketatanegaraan, Indonesia menjadi contoh negara demokrasi bagi negara-negara modern di abad 21, yang memiliki 18 lembaga negara. Ada beberapa lembaga negara yang disebut sebagai institusi politik (political institutions) dan beberapa lembaga yang disebut sebagai alat kelengkapan negara. Bertambahnya jumlah lembaga negara yang ada melahirkan pemikiran baru sebagaimana pendapat Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa teori tradisional yang menyatakan tiga kekuasaan negara sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, termasuk sistem ketatanegaraan Indonesia yang sudah jauh melenceng dari teori tiga kekuasaan baik yang sifatnya pemisahan maupun pembagian. Jadi jika dikatakan bahwa kekuasaan negara itu terdiri dari tiga, empat atau juga lima yang dijalankan oleh suatu institusi politik, namun kenyataannya secara kelembagaan, jumlah lembaga negara di Indonesia yang disebutkan dalam UUD 1945 melebihi dari lima lembaga negara.
Masalah dalam tulisan ini dibatasi pada dua hal yakni : pertama, fungsi negara menurut UUD 1945 yang sesuai dengan tujuan berdirinya negara Indonesia, dan kedua adalah bagaimana fungsi negara tersebut dijalankan melalui lembaga-lembaga negara dan alat-alat kelengkapan negara. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mendeskripsikan fungsi negara berdasarkan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, dan mendeskripsikan hubungan kekuasaan antarlembaga negara dalam rangka menjalankan fungsi negara.
B. Pembahasan
Istilah Fungsi dan kekuasaan negara
“Kekuasaan” adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak, artinya jika seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka orang yang berkuasa itu mampu untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain itu. Menurut Abu Daud Busroh bahwa landasan kekuasaan adalah adanya rasa takut oleh setiap orang terhadap ancaman apabila tidak melakukan sesuatu.
Dalam KBBI istilah “kekuasaan” mempunyai banyak arti diantaranya adalah “kemampuan orang/sekelompok orang untuk menguasai orang/kelompok lain berdasarkan wewenang, kharisma, atau kekuatan fisik”. Istilah “kekuasaan” juga diartikan sebagai “kewenangan atas sesuatu untuk memerintah, mewakili, atau mengurus sesuatu”.
Menurut Hans Kelsen bahwa kekuasaan mempunyai dua makna yang berbeda, yaitu Pertama kekuasaan negara terhadap rakyat untuk menundukan diri sebagai validitas dan efektifitas tata hukum nasional, artinya rakyat harus mengakui eksistensi dari kekuasaan negara sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi dan pelaksanaan hukum secara evektivitas dalam suatu negara. Pengertian yang kedua adalah ketika orang berbicara tentang ketiga kekuasaan negara, maka kekuasaan dipahami sebagai fungsi dari negara.
Jadi istilah kekuasaan adalah pengertian yang terakhir dimana “kekuasaan” identik dengan “kewenangan” atau “fungsi”. Kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan. Jadi kekuasaan diwujudkan dalam bentuk adanya kewenangan dan tugas.
Negara adalah suatu organisasi diantara kelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah atau teritorial tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.
Negara menurut H.J.W. Hetherington : “Institusi atau seperangkat institusi yang menyatukan penduduknya dalam satu wilayah teritorial yang ditandai secara jelas dibawah otoritas tunggal untuk menjamin tercapainya tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama”. Yang dimaksud dengan “penyatuan kekuasaan komunitas” dan “otiritas tunggal” dalam pandangan tersebut adalah kekuasaan (authority) untuk membuat hukum atau undang-undang.
Dalam pandangan tradisional seperti yang dikemukakan oleh John Locke, Montesquieu, Van Vollenhoven, Logemann, Hans Kelsen, dan C.F. Strong, kekuasaan atau kewenangan negara dianggap sebagai fungsi negara. Fungsi negara diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga negara sebagai alat perlengkapan negara. Antara kekuasaan dan negara tidak dapat dipisahkan. Mengenai hubungan kekuasaan dan negara dikemukakan oleh Strong C.F. Strong bahwa kekuasaan dalam suatu negara adalah sesuatu yang sangat penting, antara kekuasaan dan negara merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Negara harus memiliki otoritas atau kekuasaan tertinggi untuk membuat dan melaksanakan undang-undang. Pemerintah merupakan alat kelengkapan negara, karena negara tidak dapat eksis tanpa adanya Pemerintah. Pada hakikatnya Pemerintah adalah kekuasaan yang teroganisir. Oleh karena itu pembentukan lembaga negara selalu terkait dengan sistem penyelenggaraan negara. Jadi penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan fungsi/kekuasaan/kewenangan.
Fungsi negara menurut teori hukum
Negara menurut H.J.W. Hetherington adalah Institusi atau seperangkat institusi yang menyatukan penduduknya dalam satu wilayah territorial yang ditandai secara jelas dibawah otoritas tunggal untuk menjamin tercapainya tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama. Adapun tujuan dibentuknya negara adalah untuk rakyat, sebagaimana pendapat strong tentang keberadaan negara, bahwa : “In a properly organized political community the state exist for society and not society for the state………”. Pembentukan negara tidal lain untuk kepentingan rakyat. Jika tujuan negara sebagaimana yang tertera dalam dua pendapat tersebut, maka tujuan terbentuknya negara Indonesia merupakan tujuan bersama masyarakat secara kolektif.
Kekuasaan negara secara internal yaitu kekuasaan yang dimiliki oleh negara (yang diwakili oleh pemerintah dalam arti yang luas) terhadap masyarakat yang ada dalam negara tersebut. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki negara, dipegang oleh alat-alat perlengkapan negara atau lembaga/badan/organ negara untuk menjalankan negara tersebut guna mencapai tujuannya. Biasanya tujuan setiap negara tercantum dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasarnya. Jadi lembaga negara yang lazim disebut dengan alat-alat perlengkapan negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.
Tujuan negara sebagai cita-cita politik masyarakat digambarkan dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara. A.A.H. Struycken yang dikutip oleh Sri Sumantri mengatakan bahwa konstitusi merupakan dokumen formal yang berisi beberapa hal, yaitu :
1. pertama, hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2. Kedua, tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Ketiga, pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4. Keempat, suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. Demikian halnya dengan isi UUD 1945, memuat empat unsur sebagaimana yang dikemukakan oleh Struycken.
Ada empat tujuan utama dibentuknya negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, yakni : pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum, Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Berdasarkan tujuan tersebut, maka fungsi atau kekuasaan negara dalam konteks Indonesia adalah :
1. fungsi atau kekuasaan untuk melindungi bangsa Indonesia baik wilayah maupun rakyatnya.
2. fungsi atau kekuasaan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.
3. fungsi atau kekuasaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal ini masyarakat.
4. fungsi atau kekuasaan untuk melaksanakan ketertiban dunia.
Untuk mencapai keempat tujuan tersebut, negara membentuk alat-alat kelengkapan guna menjalankan roda pemerintahan. Alat-alat kelengkapan negara berbentuk lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945. Kedaulatan diberikan oleh masyarakat agar negara menjalankan tugas dan kewenangan dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Dalam menjalankan tugas dalam rangka menegakkan kepentingan masyarakat, maka negara memerlukan kekuasaan. Kekuasaan negara merupakan kedaulatan yang diperoleh dari masyarakat dan diwujudkan melalui tugas dan kewenangan alat-alat perlengkapan atau organ negara.
Pelaksanaan fungsi negara menurut UUD 1945
Kekuasaan tertinggi (kedaulatan) negara Indonesia berada ditangan rakyat sebagaimana pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa : “kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pelaksanaan kekuasaan rakyat itu dilakukan menurut UUD 1945. Undang-Undang Dasar telah membentuk sebanyak 18 lembaga negara, masing-masing lembaga negara ada yang disebutkan kewenangannya dalam UUD 1945 dan ada juga kewenangannya diatur dengan undang-undang.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa alat-alat perlengkapan suatu negara atau yang disebut dengan lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Jadi Perlu ditekankan disini bahwa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan negara” adalah kekuasaan negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara, pelaksanaan kekuasaan negara oleh lembaga/organ negara dalam rangka menjamin sistem pemerintahan yang demokratis untuk mencapai tujuan negara sebagai cita-cita masyarakat secara kolektif.
Jadi yang dimaksud “kekuasaan negara” adalah kewenangan yang dimiliki oleh lembaga dalam pengertian bukan hanya institusi politik tetapi dalam pengertian lembaga negara utama (primary state organ) dan lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) yang terwujud dalam tugas dan kewenangannya masing-masing. Sehingga untuk menentukan jumlah kekuasaan negara kita akan meninjau dari aspek tugas dan wewenang yang dimiliki oleh setiap lembaga negara, baik lembaga negara utama maupun lembaga negara yang sifatnya penunjang.
Strong menganggap pemerintah (government) sebagai kekuasaan yang terorganisir, sebagai pemegang kekuasaan untuk menjalankan negara. Jadi pemerintah memiliki pengertian yang lebih luas dan mempunyai beberapa kekuasaan yang diberikan, dalam rangka menjaga keamanan dan pertahanan di dalam di luar negeri, sehingga pemerintah bukan hanya memiliki kekuasaan bidang legislative, eksekutif, dan yudikatif saja, tapi juga harus memiliki kekuatan militer dan kekuasaan financial.
Kekuasaan negara adalah kemampuan negara untuk mempengaruhi orang atau kelompok masyarakat. Kekuasaan negara berarti kemampuan negara untuk mengurus sesuatu dalam bidang pemerintahan. Pihak yang melaksanakan kekuasaan negara adalah pemerintah dalam arti luas. Jadi kekuasaan negara terwujud dalam tugas dan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah. Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang tertinggi yang disebut kedaulatan.
Negara Indonesia merupakan manifestasi dari konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum yang berlaku secara simultan dalam ketatanegaraan Indonesia. Konsep bernegara dalam masyarakat Indonesia dilandasi oleh kesadaran atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara Indonesia terbentuk karena adanya kesadaran tentang persamaan senasib oleh rakyat Indonesia, sehingga melahirkan perjanjian bersama diantara berbagai suku untuk membentuk negara yakni negara Indonesia. Oleh karena itu kekuasaan negara dalam konteks ke-Indonesiaan diperoleh dari rakyat Indonesia secara keseluruhan dan dilaksanakan berdasarkan hukum.
Pemerintahan Indonesia juga dibentuk berdasarkan atas persetujuan dari wakil-wakil dari seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah Indonesia dibentuk dengan empat tujuan utama yaitu pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia. Proses pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah dalam arti yang luas yang berdasarkan hukum sebagai implementasi dari konsep negara hukum. Proses pelaksanaan sistem pemerintahan juga dilakukan atas dasar prinsip-prinsip demokratis.
Pemerintah dalam arti luas adalah lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif yang juga disebut sebagai lembaga negara. Ada 18 lembaga atau organ negara yang dibentuk dengan UUD 1945, yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat (the people’s consultative assembly), Dewan Perwakilan Rakyat (the people’s representative council), Dewan Perwakilan Daerah (the council of representative of the regions), Lembaga Kepresidenan (the executive power) terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi (constitutional court), Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (supreme audit board), Komisi Yudisial, Kementrian negara (ministers of state) terdiri dari departemen-departemen dan non departemen, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten dan kota, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, komisi pemilihan umum, bank sentral (central bank), Tentara Nasional Indonesia (the Indonesian national military), Kepolisian Negara Republik Indonesia (the Indonesian national police), dan Dewan Pertimbangan Presiden. Masing-masing lembaga atau organ tersebut menjalankan fungsi atau kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau sebagian termasuk dalam kategori lembaga eksekutif, lembaga eksekutif, atau juga lembaga yudikatif.
Pimpinan tertinggi lembaga atau organ eksekutif adalah Presiden yang dibantu oleh wakil Presiden. Dalam proses pelaksanaan pemerintahan ada beberapa lembaga atau organ yang berada dibawah Presiden, yaitu lembaga Kementrian negara yang terdiri dari departemen dan non departemen, POLRI, TNI. Kementrian negara diantaranya adalah Departemen pertahanan, Kepolisian negara Republik Indonesia, Departemen dalam negeri, Departemen luar negeri, Departemen keuangan, departemen pendidikan nasional, dan lain-lain. Walaupun departemen-departemen tersebut berada dibawah eksekutif, namun Masing-masing menjalankan fungsi yang berbeda antara satu sama lain. TNI dan POLRI tidak disebut sebagai kekuasaan tersendiri karena pelaksanaan tugas kedua lembaga tersebut tergantung dari Presiden sehingga disebut bagian dari lembaga eksekutif. Demikian juga dengan departemen luar negeri yang menjalankan kekuasaan hubungan luar negeri, departemen keuangan yang menjalankan kekuasaan di bidang financial, dan masih banyak departemen-departemen lain yang menjalankan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Fungsi atau kekuasaan negara yang berada dibawah kendali Lembaga Eksekutif tertinggi adalah Fungsi pertahanan, keamanan, keuangan, educative, federative, dan administrasi. Lembaga Eksekutif juga memiliki kewenangan legislatif yaitu melalui pembuatan peraturan pemerintah, peraturan Presiden, atau pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pemikiran Kelsen bahwa legislatif pada zaman Romawi merupakan Legis Lasio yaitu kewenangan membentuk hukum. Kata “hukum” berarti meliputi semua peraturan perundang-undangan, baik undang-undang yang bersifat umum maupun peraturan-peraturan yang mengatur hal-hal yang bersifat khusus.
Lembaga-lembaga atau organ legislatif adalah MPR, DPR, dan DPD. Lembaga-lembaga tinggi negara ini juga menjalankan fungsi atau kekuasaan membentuk undang-undang atau kewenangan legislatif, selain itu DPR dan DPD masing-masing mempunyai fungsi atau kekuasaan memberi pertimbangan atau consultative, pengawasan atau controlling, dan memberi pertimbangan atau Consultative. Fungsi legislatif dari MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, fungsi legislatif dari DPR dan DPD adalah membentuk undang-undang bersama Presiden. Fungsi konsultatif dari DPR adalah memberi pertimbangan dan persetujuan pada Presiden dalam menetapkan kebijakan strategis misalnya pengangkatan duta dan konsul, menyatakan perang dan damai, dan lain-lain. Fungsi konsultatif dari DPD adalah memberi pertimbangan terhadap DPR dalam membentuk undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Fungsi controlling dari DPR adalah kewenangannya untuk mengawasi Presiden beserta menteri-menterinya dalam melaksanakan undang-undang, sedangkan fungsi controlling dari DPD adalah kewenangannya untuk mengawasi eksekutif atas pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah.
Lembaga atau organ yudikatif adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Sebenarnya komisi yudisal hanyalah lembaga penunjang dalam bidang yudikatif karena fungsinya bersifat tidak mengadili. Lembaga MA selain memiliki fungsi atau kekuasaan yudikatif, lembaga ini juga mempunyai kekuasaan legislatif misalnya ketika memutuskan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD dengan menafsirkan muatan UUD. Lembaga MA selain memiliki fungsi yudikatif, lembaga ini juga mempunyai fungsi di bidang legislatif yaitu ketika memutus kasus kongkrit yang berdasarkan kebiasaan, atau putusannya dijadikan yurisprudensi. Menurut Kelsen bahwa vonis pengadilan yang berdasarkan hukum kebiasaan dan putusan yang menjadi yurisprudensi adalah proses yang sama dengan pembentukan undang-undang oleh Lembaga Legislatif.
Fungsi atau kekuasaan negara yang diwakili oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga negara di Indonesia adalah:
1. Fungsi legislative yaitu kekuasaan membuat hukum. Kekuasaan ini dijalankan oleh lembaga atau organ negara berupa MPR, Presiden, DPR, DPD, MA dan lembaga peradilan yang berada dibawahnya, Mahkamah Konstitusi, serta lembaga-lembaga atau organ lainnya yang dibentuk berdasarkan UUD.
2. Fungsi executive dalam arti khusus, yaitu kekuasaan melaksanakan hukum dalam pengertian pengambilan kebijakan tingkat tertinggi yang dilakukan oleh Presiden dan wakil Presiden atau para Menteri.
3. Fungsi administrative yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tata administrasi dalam pemerintahan. Kekuasaan ini dijalankan oleh pegawai negara yang berada pada departemen-departemen pemerintahan.
4. Fungsi judicative yaitu kekuasaan mengadili terhadap setiap orang yang melanggar hukum. Kekuasaan ini berada di tangan Mahkamah Agung dan seluruh peradilan yang berada dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.
5. Fungsi financial, yaitu kekuasaan untuk mengatur keuangan negara yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral dan penggunaan keuangan negara dilakukan melalui departemen keuangan sebagai bagian dari lembaga eksekutif.
6. Fungsi politie atau kemanan, yaitu kekuasaan untuk menjaga ketertiban hukum dalam masyarakat dengan tujuan menjamin keamanan dan ketentraman warga negara. Kekuasaan ini berada di tangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sebagai bagian dari Lembaga eksekutif.
7. Fungsi defensive yaitu kekuasaan di bidang pertahanan negara dalam rangka menjaga kedaulatan negara secara eksternal berupa invansi oleh negara lain. Kekuasaan ini dipegang oleh Tentara Nasional Indonesia yang juga merupakan bagian dari Lembaga Eksekutif.
8. Fungsi federative yaitu kekuasaan untuk mengadakan hubungan kerja sama dengan negara-negara lain, baik di bidang ekonomi, politik, terutama untuk menciptakan perdamaian dunia. Kekuasaan ini dijalankan oleh departemen luar negeri dan kedutaan besar yang berada dibawah lembaga Eksekutif.
9. Fungsi educative sebagaimana tujuan negara Indonesia. Fungsi ini dilakukan oleh departemen pendidikan nasional yang berada dibawah kendali Presiden.
Daftar Pustaka
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, cet.1, Jakarta, 1983.
Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, cet.1, Jakarta, 2005.
Ateng Syafrudin, Hand Out and Course Materials Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Unpad, Bandung.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Sidwick & Jackson Limited, London, 1963.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH-UII Press, cet. 2, Jogyakarta, 2005.
———————,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
John Locke, Concerning Civil Government, Second Essay: An Essay Concerning the True Original Extent and End of Civil Government, the Pennsylvania State University, 1690.
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981.
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH-UI, cet.7, Jakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, cet.5, Bandung, 2000.
Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), PT. Citra Aditya Bhakti, cet.8. Bandung, 1997.
Strong, C.F., Modern Political Constitution, Sidwig & Jhon Limited, London, 1966.
Titi Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, cet.2, Jakarta, 2006.
W. Friedman, Legal Theory, Stevens and Sons Limited, London, 1960
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Dian Rakyat, cet.6, Jakarta, 1989.