Minggu, 14 April 2013

TEORI ROBERT B SAIDMAN DAN DAVID M TRUBEK TENTANG HUKUM DAN MASYARAKAT


Di negeri-negeri yang dibangun di atas fondasi suatu bangsa yang berbudaya homogen seperti yang terjadi pada awal mulanya di Eropa kawasan Katolik Barat sebagaimana di bentangkan di muka, upaya untuk membuat stándar perilaku yang tunggal lewat kerja pengkodifikasian hukum itu tidaklah terlalu sulit. Indoktrinasinya pun tidak dapat dibilang sulit. Kodifikasi dikerjakan dengan cara mempositifkan  norma-norma yang telah berlaku sebagai moral dan tradisi masyarakat ke dalam bentuknya yang formal dan baru sebagai teks-teks undang-undang untuk kemudian dikitabkan.  Dari proses kerja seperti inilah datangnya istilah ‘hukum yang telah dipositifkan’ atau ‘hukum positif, atau pula istilah ‘ius constitutum’ yang berarti ‘norma hukum yang telah dibentuk’.  Maka, dengan demikian, tidaklah keliru dan salah apabila orang berkeyakinan bahwa materi hukum yang telah berlaku selama ini di dalam masyarakat pada hakikatnya sama saja dengan norma substantif yang termuat dalam setiap undang-undang.
          Karena pada awalnya undang-undang negara bangsa itu “hanya” merupakan formalisasi saja dari apa yang telah berlaku secara nyata dalam masyarakat, maka lahirlah doktrin dalam ilmu hukum bahwa kodifikasi itu pada hakikatnya adalah sebuah gambaran normatif suatu masyarakat yang benar-benar “bulat, lengkap dan tuntas”.  Dari keyakinan doktrinal seperti ini pulalah lahirnya doktrin berikutnya yang dikenal dengan adagium berbahasa Latin ‘ignoratio iuris’; ialah, bahwa tak seorangpun dalam sidang pengadilan boleh menolak diberlakukannya              undang-undang terhadap dirinya dengan dalih bahwa dia tidak pernah membaca dan mengetahui adanya undang-undang itu.  Kalaupun orang tidak pernah membaca dan mengetahui adanya undang-undang yang mengatur perbuatannya yang terlarang, kerena sebagai anggota masyarakat bukankah dia telah sejak awal mengetahui moral atau tradisi sosial yang melarangnya.
          Dalam kajian-kajian sosiologi, keyakinan seperti itu disebut keyakinan yang menyamakan hukum dengan masyarakatnya.  Inilah keyakinan fiktif bahwa apa yang telah dihukumkan dalam undang-undang (the law) tidaklah berbeda dengan apa yang berlaku dalam masyarakatnya (the society).  Inilah yang dari sudut pandang sosiologi merupakan suatu fiksi bahwa  law is society.  Dikatakan suatu fiksi karena dari kajian ilmu-ilmu sosial yang ekonomik, politik, sosial maupun budaya  law is not always society, atau bahkan law is not society.  Hukum              undang-undang sebagai teks tidaklah selamanya sama dan sebangun dengan realitasnya dalam konteks sosial-kultural.
          Adalah kenyataan bahwa kehidupan bermasyarakat di dunia yang fana ini cenderung berubah, dan dalam abad-abad terakhir ini kian berubah cepat.  Komunitas-komunitas lokal dengan cepat lebur dan terintegrasi ke dalam kehidupan urban-industrial yang berskala dan berformat nasional.  Inilah perkembangan yang  disebut perkembangan from old societies to a new state,  terjadi sepanjang abad 18-19 di Eropa Barat dan seterusnya sepanjang abad 20 di Asia dan Afrika, dengan segala permasalahan yang berkaitan dengan persoalan tertib kehidupan bermasyarakat negara, serta ihwal sarana kontrol berikut segala aspek hukumnya.
          Demikianlah, manakala ‘Ilmu Hukum’ sebagai kajian law in books berkonsentrasi pada ihwal hukum undang-undang yang tengah berlaku, yang demi kepastian akan dijadikan dasar hukum untuk mengadili perkara-perkara, ‘Hukum Dalam Masyarakat’ adalah kajian tentang ihwal kebermaknaan sosial hukum undang-undang itu.  Adapun yang dimaksudkan dengan ‘the social significance of law’ ini tidak lain ialah fakta actual yang hendak mengabarkan sejauh mana hukum              undang-undang yang berstatus formal itu ditaati dan terealisasi menjadi perilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari.  Dengan demikian, hukum undang-undang tidak hanya tersimak sebagai bacaan tentang perintah-perintah yang harus ditaati akan tetapi juga tersimak secara indrawi sebagai pola perilaku yang faktual. Semakin sering hukum undang-undang itu tampak dipatuhi dan terwujud secara nyata dalam perilaku para warga dalam kehidupan sehari-hari akan boleh dikatakan bahwa hukum undang-undang itu semakin bermakna secara sosial dan kultural. Berikut Perbandingan Teori Robert B Saidman dan David M Trubek dalam Perubahan Hukum.



A.   TEORI ROBERT  B  SEIDMAN
Pertemuan antara hukum modern dan hukum setempat yang telah ada lebih dulu selama puluhan bahkan ratusan tahun, menimbulkan jurang yang menganga antara keduanya. Dikatakan sebagai jurang, karena tidak hanya terjadi pertemuan antara dua bentuk atau format hukum yang berbeda, melainkan pertemuan antara dua cara hidup atau kultur. Hal tersebut yang menyebabkan pertemuan tersebut menjadi sangat dramatis.
Robert B. Seidman menyebut adresat hukum sebagai pemegang peran. Oleh karena itu budaya hukum berpengaruh terhadap pemegang peran. Untuk menanamkan nilai-nilai baru, diperlukan proses pelembagaan dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat. Dalam proses ini dibutuhkan komitmen yang tulus dan kemampuan yang tinggi dari petugas dalam mengimplementasikan kebijaksanaan yang tertuang dalam hukum tersebut.
            Sarana yang memadai serta organisasi yang rapi menunjang usaha untuk mengimplementasikan kebijaksanaan baru serta hak-hak baru bagi masyaraat yang terkena sasaran tersebut. Selain itu diperlukan pengawasan terhadap proses pelembagaan dan petugas pembuat kebijaksanaan. Usaha-usaha untuk menumbuhkan budaya hukum yang baru dapat berhasil apabila proses pelembagaannya dilakukan secara sungguh-sungguh.
Dalam teori Robert B Seidman menyimpulkan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Dalam penelitiannya, Robert B. Seidman mengambil contoh penerapan hukum administrasi Inggris di negara bekas jajahannya di Afrika. Ternyata   hukum administrasi Inggris tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja              di negara-negara Afrika. Ada beberapa kendala yang menghalangi penerapannya hukum administrasi tersebut. Salah satu masalah yang dihadapi oleh negara-negara Afrika dalam menerapkan hukum administrasi Inggris adalah masalah ethos yang tidak mendukung.  Ethosethos yang dimiliki oleh kulit putih kolonial Inggris ternyata tidak dipunyai oleh  pribumi negara Afrika. Akibatnya adalah kegagalan dalam menerapkan sistem hukum administrasi Inggris di negara bekas jajahannya di Afrika.
Dari apa yang telah dikemukakan oleh Robert B Seidman tersebut melalui tesis-tesisnya, maka dalam rangka pembangunan            hukum nasional Indonesia, perlulah dihayati betul makna pemikiran Robert B Seidman tersebut. Dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, kita tidak boleh mengadopsi begitu saja sistem hukum            negara lain, walaupun sudah maju sekalipun. Sebagai negara bekas jajahan Belanda, dalam membangun hukum nasional, kita tidak mengadopsi begitu saja sistem hukum Belanda. Dengan segala kekurangan-kekurangan yang ada kita mencoba merumuskan sendiri model dan materi hukum yang pas dengan nilai-nilai asli bangsa Indonesia Analisis mengenai pengalihan hukum asing oleh suatu             bangsa yang dapat digolongkan ke dalam studi hukum dan masyarakat pernah dilakukan oleh Robert B. Seidman mengenai negara-negara            bekas jajahan Inggris di Afrika. Dengan melakukan penelitian Seidman ingin memperoleh jawaban mengenai apakah yang akan terjadi bila peraturan-peraturan hukum diambil alih dari negara-negara yang sudah maju dahulu.  Setelah mengadakan penelitian mengenai hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris, Robert B. Seidman menarik kesimpulan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain dan penemuannya ini dirumuskannya dalam sebuah dalil yang berjudul “The Law of Nontransferability of Law” (Hukum mengenai tidak dapat dialihkannya hukum). Penelitian itu didasarkan pada anggapan bahwa hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris mengikuti hukum yang berlaku di Inggris, yaitu “The Common Law System”. Hukum administrasi ini secara formal memenuhi persyaratan sebagai hukum yang bersifat yuridis rasional tetapi hukum              administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris menghadapi kenyataan             yang berbeda. Hukum administrasi yang bersifat yuridis rasional ini, seharusnya didasarkan pada birkorasi yang instrumental dengan rumusan perananperanan yang sesempit mungkin, untuk membatasi timbulnya pengaruh yang subyektif. Ini berarti bahwa kebebasan para pejabat dalam memutuskan sesuatu sangat dibatasi. Ternyata bahwa hukum yang demikian ini tidak mampu menangani keadaan di Afrika bekas             jajahan Inggris itu. Hukum yang diwarisi dari Inggris tidak cukup memberikan peraturan-peraturan yang dibutuhkan guna mengendalikan para pejabat pemerintahan di Afrika yang berada tersebar di pedalaman.
Oleh karena itu penggunaan peraturan hukum tersebut untuk waktu dan tempat yang berbeda dan juga dengan lembaga penerapan sanksi yang berbeda serta kompleks kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang mempengaruhi pemegang peran yang berbeda pula, tidak dapat diharapkan akan menimbulkan aktivitas pemegang peran yang sama dengan yang terjadi di tempat asal dari peraturan-peraturan hukum tersebut.
B.   TEORI DAVID M TRUBEK
Salah satu ciri hukum modern, menurut David M. Trubek adalah dalam hal penggunaannya yang secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu, antara lain, tersusun dari kemauan sosial-kemasyarakatan yang mengejawantah menjadi kebijakan negara. Di sini, terjalin suatu mekanisme bawah-atas (bottom-up) dalam pembentukan hukum: hukum kebiasaan yang hidup di masyarakat menjiwai hukum yang diberlakukan secara nasional. Namun, seiring dengan menguatnya negara, mekanisme itu kemudian terkikis, sehingga negara memperoleh legitimasi politis untuk membuat dan memberlakukan hukum tanpa mesti mencari dukungan dari masyarakat.
Alih-alih mencari dukungan masyarakat, negara yang semakin kuat lambat laun akan merasa “percaya diri”. Bahkan, negara, demi menegakkan legitimasinya, akan melakukan penindasan terhadap masyarakat, dengan tujuan supaya masyarakat patuh dan tunduk kepadanya.
Usaha-usaha untuk memastikan hubungan hukum dan perkembangan masyarakat ternyata masih memancing timbulnya kritik-kritik. David M Trubek dalam bukunya Toward a Social Theory of Law, mencoba untuk meninjau kembali berbagai konsep dan teori mengenai hubungan antara hukum dan perkembangan masyarakat yang ada serta mengutarakan dengan jelas kritiknya terhadap pandangan tradisional mengenai peranan hukum modern dalam menciptakan masyarakat modern industrial.
Kritik tersebut datang sehubungan dengan pemakaian hukum modern itu sendiri untuk mencapai masyarakat modern industrial, kepercayaan terhadap kemampuan hukum modern tersebut pada hakikatnya bersumber pada anggapan, yang dinamakan perkembangan itu adalah sama dengan evolusi menuju kepada bentuk kemajuan seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa barat dan hukum  modern adalah sama dengan struktur hukum dan kebudayaan barat, sehingga negara-negara sedang berkembang memang ditakdirkan untuk menjadi negara yang terbelakang sampai mereka memakai system hukum barat. Kritik selanjutnya berhubungan dengan sifat etnosentrik dari konsep pembaruan tersebut. Oleh karena konsep hukum modern dari pembaru itu diselimuti oleh pandangan yang berakar pada masyarakatnya sendiri mengenai peranan hukum dalam masyarakat, maka apa yang disarankannya untuk diterapkan pada Negara-negara sedang berkembang justru bisa menimbulkan hasil-hasil yang sebaliknya cacat yang terdapat di sini terutama berhubungan dengan penggunaan hukum secara instrumental, yaitu sebagai sarana yang secara sadar dipakai untuk membentuk masyarakat.
Pengguna hukum secara demikian itu makin memperkuat kedudukan Negara, oleh karena konsepsi tersebut memberikan keleluasan dan kesempatan yang besar kepada Negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu guna membawa masyarakat kepada perubahan yang dikehendaki dan menuangkan kebijakan-kebijakan tersebut kedalam hukum.
Dengan mengutip pengalaman-pengalaman di Negara Brasilia, Trubek menunjukkan penerapan system ekonomi pasar ternyata tidak dengan begitu saja mampu bergandengan dengan dijalankannya prinsip-prinsip rule of law dengan semestinya di negara tersebut. Menurut konsep modernisasi, justru diantara keduanya itu terdapat hubungan saling menunjang yang erat. Perkembangan menjadi lain disebabkan oleh karena kelompok otoriter memegang kekuasaan dan menghilangkan dasar yang penting bagi dioperasikannya prinsip-prinsip rule of law, yaitu kesamaan derajat dan kekuatan diantara para pelaku system ekonomi pasar.   

  
C.   ANALISIS
Sekarang negara–negara berkembang sedang mengalami modernisasi masyarakatnya. Pada saat negara tersebut mengalami problem sosial sebagai akibat modernisasi–industrialisasi yang dijalankan. Salah satu aspek dari konsepsi hukum modern yang mempunyai arti penting dalam pembicaraan adalah ciri instrumental hukum moden yaitu penggunaan dengan sengaja untuk mengejar tujuan–tujuan atau untuk mengantarkan keputusan–keputusan politik, sosial dan ekonomi yang diambil oleh negara.
Hukum modern merupakan suatu proses yang ditempuh secara sadar untuk merumuskan kebijakan–kebijakan dan kemudian menerapkannya dalam masyarakat, maka dapat dikatakan, hukum modern mempunyai tujuan untuk mengatur masyarakat secara efektif dengan menggunakan peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Proses tersebut kemudian dihubungkan denga perkembangan sosial, politik dan ekonomi di Barat, sehingga peran hukum modern dihubungkan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai di bagian dunia tersebut. Dari sini Hukum modern dapat digunakan untuk menciptakan masyarakat modern industrial.
Penyempurnaan dalam subtansi hukum itu diantaranya meliputi jaminan bagi adanya kebebasan untuk melakukan perjanjian dan perlindungan terhadap kemerdekaan yang berserikat, segala hal yang memang merupakan karakteristik dari  msayarakat barat modern. Usaha perombakan tersebut meluas meliputi segi kehidupan hukum, termasuk penerapan peraturan-peraturan yang telah dibuat sesuai dengan                prinsip-prinsip modern.
Kepercayaan terhadap kemampuan hukum modern tersebut pada hakekatnya bersumber pada anggapan, yang dinamakan perkembangan itu adalah sqama dengan evolusi menuju pada bentuk kemajuan seperti yang  dialami bangsa barat dan hukum modern adalah sama dengan struktur hukum dan kebudayaan barat, sehingga negara-negara sedang berkembang memang ditakdirkan untuk menjadi negara yang terbelakang sampai mereka memakai sistem hukum barat. Peningkatan penggunaan hukum pada suatu saat dan pada suatu suasana tertentu bisa menimbulkan hasil-hasil yang justru tidak dihendaki.Hal ini disebabkan oleh konsepsi yang didasarkan pada asumsi, masyarakat bersangkutan merupakan masyarakat yang demokratis dan sistem politiknya menghendaki adanya pluralisme.
Pengakuan dan penghormatan terhadap kekuatan–kekuatan politik yang terdapat di negara itu menjamin adanya pembatasan tersebut. Sebaliknya, apabila konsepsi itu akan diterapkan pada suatu negara, sedang di situ kelompok-kelompok otoriter memegang kekuasaan, maka perkembangannya bisa menimbulkan kemerosotan otonomi hukum.  Kesalahan konsepsi penggunaan hukum modern untuk membentuk masyarakat yang dikehendaki terletak pada kesempitannya, yang tidak memberikan kepada orang untuk melakukan pilihan-pilihan lain kecuali menerima konsepsi mengenai peranan hukum modern sebagaimana yang dikehendakinya. Trubek menyatakan bahwa agar pengkajian mengenai teori hubungan hukum dan perkembangan masyarakat yang dilakukan dengan lebih subur hendaknya membuka kesempatan luas untuk membicarakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pemikiran untuk menggunakan hukum sebagai sarana melakukan perubahan sosial.
Sebagaimana teori David M Trubek, bagian yang menguraikan tentang hubungan antara hukum dan perkembangan masyarakat sebagaimana  terdapat di barat atau Negara-negara industri maju untuk kemudian dipakainya di negara-negara sedang berkembang, sehingga Negara-negara tersebut terakhir diharuskan menempuh jalan yang telah dilalui oleh negara-negara industri maju, pada dasarnya menolak pemahaman evolusioner tentang masyarakat yang terlalu sederhana dan mutlak.
Kritik tersebut mengandung inti kebenaran terutama atas dasar perkembangan masyarakat sebagai proses sosial adalah  suatu peristiwa yang kompleks. Namun demikian di pihak lain tidak dapat diabaikan kenyataan, di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, masyarakat modern industrial merupakan tujuan yang ingin dicapai. Dalam menghadapi keadaan tersebut diperlukan suatu kerangka teori yang bisa dipakai untuk memahami perkembangan tersebut tanpa memastikan jalan yang bagaimana yang harus dilalui.

Teori Robert B Seidman yang intinya menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain, turut memberi warna dalam upaya pembangunan hukum nasional Indonesia. Walaupun negara Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, namun dalam sistem hukum yang hendak dibangun tidak mengambil alih begitu saja sistem hukum kolonial Belanda. Harus diakui bahwa pengaruh sistem hukum Belanda masih terasa dalam sistem hukum nasional Indonesia, namun itu tidak berarti bahwa kita menjiplak hukum kolonial Belanda. Kita dengan sistematis telah berupaya untuk membangun suatu sistem hukum nasional yang bercita Indonesia. Tidak pernah terpikirkan untuk mengoper begitu saja system hukum negara lain, sekalipun dirasa lebih maju, ke dalam Hukum Nasional Indonesia, karena hal itu belum menjamin akan dapat dilaksanakan dengan baik. Pembangunan hukum nasional Indonesia mengacu pada cita hukum Pancasila. Tujuan Hukum Pengayoman, Konsepsi Negara Hukum Pancasila, Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara. Untuk membangun tata hukum nasional, kita tidak dapat begitu saja menggunakan dan menerapkan ilmu hukum yang berkembang di negara lain, sekalipun telah memberikan hasil yang bermutu tinggi. Kenyataan antropologis dan sosiologis di Indonesia hingga kini masih memperlihatkan keberagaman kultural dan sejalan dengan itu panorama kultur hukum yang beragam pula.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Teory Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Prenada Media Group, 2009, Jakarta
Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, 1976, Bandung
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, 2009, Yogyakarta
……………………, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, 2009, Yogyakarta
……………………., Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Hukum dan Manusia, Kompas, 2007, Jakarta