Selasa, 14 Mei 2013

Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum


A.   Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Wanprestasi.
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atas kewajiban sampingan (kewajiban atas prestasi atau kewajiban jaminan/garansi) dalam perjanjian.
Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:[1]
1.   Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2.   Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;
3.   Debitur prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Terjadinya wanprestasi paihak debitur dalam suatu perjanjian, mambawa akibat yang tidak mengenakkan bagi debitur karena debitur harus:[2]
1.   Mengganti kerugian;
2.   Benda yang menjadi objek perikatan, sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung gugat debitur;
3.   Jika perikatan timbal balik, kreditor dapat minta pembatala (pemutusan)perjanjian.
Sedangkan untuk menghindari terjadinya kerugian bagi kreditor karena terjadinya wanprestasi, maka kreditor dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan[3]:
1.   Pembatalan (pemutusan) perjanjian;
2.   Pemenuhan perjanjian;
3.   Pembayaran ganti kerugian;
4.   Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian;
5.   Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian.
Dalam tanggung gugat berdasarkan wanprestasi, kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan ketentuan dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian  atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar.

B.   Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum.
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian atara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setap pihak yang dirugikan walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.   Ada perbuatan melanggar hukum;
2.   Ada kerugian;
3.   Ada hubungan kasaulitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian, dan
4.   Ada kesalahan.
1). Perbuatan melanggar hukum
Berbeda dengan pengertian perbuatan melanggar hukum sebelum tahun 1919 yang diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang, maka setelah tahun 1919, perbuatan melanggar hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang, melainkan perbuatan melanggar hukum tersebut dapat berupa[4]:
a.    Melanggar hak orang lain;
b.   Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;
c.    Berlawanan dengan kesusilaan baik; dan
d.   Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
Rumusan ini sebenarnya bukan berasal dari H.R. sendiri, melainkan diambil dari rencana Regout tahun 1911 yang telah diubah, dimana dalam rumusan yang lama syarat kesalahan berdiri sendiri, sedangkan pada rumusan baru tidak dapat ditempatkan pengertian kesalahan, karena barangsiapa yang berbuat melawan kesusilaan baik atau melawan sikap hati-hati pasti bersalah, atau dengan kata lain, bilamana ia tidak bersalah, maka ia tidak berbuat melawan kesusilaan baik atau sikap hati-hati. Dengan demikian, rumusan yang sebaiknya diperhunakan adalah rumusan regout adalah “barangsiapa  karena perbuatan melanggar  hukum  menimbulkan kerugian, maka ia wajib mengganti kerugian itu”.[5]
Unsur perbuatan melanggar hukum yang pertama adalah melanggar hak orang lain, yang menurut van der Grinten, bahwa tidak seorang pun boleh merusak barang orang lain tanpa suatu kewenangan. Bilamana orang bertindak demikian, maka ia melanggar hak orang lain, sehingga dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Walaupun demikian, melakukan perbuatan pelanggaran hak orang lain tidak secara merta bertanggung gugat atas kerugian yang timbul, karena diperlukan adanya kesalahan dari orang yang bersangkutan.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, sebagai bentuk kedua dari perbuatan melanggar hukum. Kewajiban hukum yang dimaksud adalah kewajiban menurut undang-undang, baik yang termasuk hukum publik maupun hukum privat.
Berdasarkan yurisprudensi, melanggar kewajiban undang-undang tidak begitu saja merupakan perbuatan melanggar hukum, karena memiliki persyaratan tertentu, yaitu[6]:
a.    Dengan pelanggaran ini, kepentingan penggugat dilanggar atau diancam;
b.   Kepentingan itu dilindungi oleh kewajiban yang dilanggar;
c.    Kepentungan itu termasuk dilindungi berdasarkan Pasal 1365 B.W.;
d.   Pelanggaran tersebut bersifat tidak pantas terhadap si penggugat, mengingat sikap dan perbuatan sendiri;
e.    Tidak ada alasan pembenar.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pelanggaran atas kewajiban hukum merupakan perbuatan melanggar hukum. Sedangkan ajaran kuno yang mengatakan bahwa melanggar kewajiban hukum dengan sendirinya merupakan perbuatan melanggar hukum, sekarang sudah harus dianggap ketinggalan zaman.
2. Kerugian
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiridapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Walaupun kerugian dapat berupa kerugian atas diri (fisik) seseorang atau kerugian yang menimpa harta benda, akan tetapi jika dikaitkan dengan ganti kerugian, maka keduanya dapat dinilai dengan uang (harta kekayaan). Demikian pula karena kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan, maka pengertian kerugian seharusnya adalah berkurangnya/tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian itu dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian, ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait dengan kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan pihak-pihak yang bersangkutan.
4.   Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat atau kausalitas, dikenal beberapa teori, di antaranya conditio sine qua non, adequat dan toerrekening naar redelijkheid. Namun karena masalah kausalitas ini tidak begitu dipersoalkan dalam pengembangan hukum di Indonesia.
5.   Kesalahan
Berdasarkan Pasal 1365 B.W., salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalaha. Kesalahan ini memiliki tiga unsur, yaitu:
a.    Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
b.   Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;
1).    Dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;
2.    dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;
c.    Dapat di pertanggung jawabkan: debitur dalam keadaan cakap.
Setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen, menjadi masalah apakah syarat kesalahan di samping syarat melanggar hukum memainkan peranan bersama dalam menentukan perbuatan melanggar hukum. Masalah ini menjadi perhatian, karena para sarjana masih beda pendapat mengenai hal tersebut, terutama antara Maijers dengan van Oven beserta para penganut-penganutnya.




[1] Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), (Bandung:Mandar Maju, 1994), Hal 11.
[2] Purwahid Patrik, op cit., hal 11
[3] Ibid., hal. 12.
[4] J.M. van Dunne van der Burht, Perbuatan melanggar hukum, terjemahan KPH Hapsoro Jayaningprang, Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia-Proyek Hukum Perdata, Ujung Pandang, Hal. 63-64.
[5] Ibid., Hal. 110-111.
[6] Ibid., 74-75.

Selasa, 07 Mei 2013

KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT PAKAR

Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi berbagai persoalan dan isu-isu yang ada dan berkembang di masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan sesuatu  maupun untuk melakukan tidakan tertentu.
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memengang penuh tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002).
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.
Thomas R. Dye (1981)
Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.
Easton (1969)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Anderson (1975)
Kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Dye (1978)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments choose to do or not to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.
David Easton
Mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative allocation of value for the whole society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively act on the ‘whole’ society, and everything the government choosed do or not to do result in the allocation of values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.
Chief J.O. Udoji (1981)
Mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai “ An sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that affect society at large.” Maksudnya ialah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Jonnes (1977)
Memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.
Edward
Kebijakan publik didefinisikan sebagai “What governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of governments programs.” Maksudnya, apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah termasuk kebijakan publik. Merujuk pada definisi di atas, kebijakan publik tampil sebagai sasaran atau tujuan program-program. Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan publik itu dapat diterapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Chandler dan Plano (1988)
Kebijakan publik ialah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Woll (1966)
kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut yaitu: 1) adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) adanya output kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; 3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyrakat.
Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut:
  1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
  2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
  3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
  4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
  5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
  6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
  7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya

Minggu, 05 Mei 2013

Pinjam Pakai dan Pinjam Meminjam

1. Pinjam Pakai
Dalam perjanjian pijam pakai,barang yang dipinjamkan tidak habis atau musnah karena pemakaian. Sipemilik barang meminjamkan barangnya kepada peminjam secara Cuma-Cuma ini sesuai dengan definisinya berdasarkan pasal 1740 pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya. Dalam pinjam pakai hak kepemilikan barang tetap berada pada yang meminjamkan barang, peminjam hanya memiliki hak pakai.
Perikatan-perikatan yang terbit dari perjanjian pinjam pakai berpindah kepada ahli waris pihak yang meminjamkan dan pada ahli waris yang meminjam. Namun, jika suatu peminjaman dilakukan karena mengingat orangnya yang menerima pinjaman dan telah diberikan khusus kepada orang tersebut secara pribadi, maka para ahli waris orang ini tidak dapat tetap menikmati barang pinjaman itu hal ini berdasarkan pasal 1743. Hal pertama yang tercantum dalam pasal tersebut sejalan dengan asas umum dari hukum pewarisan. Namun apabila hal tersebut (hak dan kewajiban) ada hubungannya yang sangat erat dengan pribadi si meninggal, hak dan kewajiban itu tidak beralih kepada para ahli warisnya. Begitu pula bagian kedua dari pasl tersebut diatas, peminjaman itu dilakukan karena mengingat orangnya dan diberikan khusus kepada si meninggal secara pribadi, maka perjanjian pinjam pakai berakhir dan para ahli waris wajib mengembalikan barangnya. Dapat dijadikan contoh, mobil dinas yang digunakan oleh pejabat selama menjabat, dapat digunakan oleh mereka hanya selama menjabat. Apabila jabatan mereka berakhir maka mereka wajib mengembalikan mobil tersebut kepada instansi pejabat tersebut menjabat. Namun jika pejabat yang dipinjamkan mobil tsebut meninggal maka perjanjian seketika itu juga berakhir dan para ahli waris diwajibkan mengembalikan mobil yang dipinjamkan tersebut.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian sepihak atau unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “dipakai dengan Cuma-Cuma”, artinya hanya pihak yang meminjamkan yang berprestasi, sedangkan pihak yang meminjam hanya menggunakan tanpa ada balas prestasi kepada yang meminjamkan. Sehingga didalam perjanjian pinjam pakai ini tidak terdapat kontra prestasi. Namun begitu, terdapat kewajiban-kewajiban bagi si peminjam dan yang meminjamkan.
2. Kewajiban-Kewajiban Si Peminjam
Tedapat kewajiban-kewajiban bagi para peminjam yakni; siapa yang menerima pinjaman sesuatu, diwajibkan menyimpan dan memelihara barang pinjaman itu sebagai seorang bapak rumah yang baik. Ia tidak boleh memakainya guna suatu keperluan lain, selainnya yang sesuai sifatnya barangnya atau yang ditetapkan dalam perjanjian; kesemuanya atas ancaman penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu. Jika ia memakai barangnya pinjaman guna suatu keperluan lain atau lebih lama dari pada yang diperbolehkan, maka selain dari pada itu ia adalah bertanggung jawab atas musnahnya barangnya sekalipun nusnahnya barang itu disebabkan karena kejadian yang sama sekali tidak disengaja hal ini tercantum dalam pasal 1744. Bunyi pasal tersebut sangat jelas bahwa peminjam diwajibkan memelihara barang tersebut seperti miliknya sendiri. Barang yang dipinjamkan pun harus digunakan sesuai dengan manfaatnya barang tersebut atau berdasarkan kesepakatan antara peminjam dan penerima. Contohnya, apabila sebuah rumah dipinjamkan oleh si A kepada si B untuk tempat tinggal, namun si B menggunakannya sebagai Rumah Makan dan apabila terjadi kebakaran, maka B berkewajiban mengganti atas kerugian si A yang meminjamkan meskipun kebakaran tersebut tidak disengaja oleh si B.
Terdapat kewajiban lain bagi si peminjam; jika barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, yang mestinya dapat disingkiri seandainya sipeminjam telah memakai barangnya sendiri, atau jika hanya satu dari kedua barang itu saja yang dapat diselamatkan, si peminjam telah memilih menyelamatkan dia punya barang sendiri, maka ia bertanggung jawab atas musnahnya barang lainnya. Hal tersebut tercantum dalam pasl 1745, dari kententuan tersebutdapat kita simpulkan bahwa yang diutamakan keselamatan barangnya adalah milik yang meminjamkan dibandingkan barang milik peminjam sendiri harus di kesampingkan. Sedangkan dalam hal penggunaan, apabila si peminjam memiliki barang yang sama dengan barang yang dipijam, hendaknya ia menggunakan barangnya sendiri terlebih dahulu.
Dalam pasal 1746 menyatakan bahwa; Jika barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir harganya, maka musnahnya barang itu, biarpun ini terjadi karena suatu kejadian yang tidak disengaja, adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali apabila diperjanjikan sebaliknya. Dari ketentuan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa apabila sebelum barang diserahkan dalam pinjam pakai dan telah ditaksir harganya dihadapan kedua belah pihak, maka hal itu dianggap sebagai prasangka atau petunjuk bagi peminjam untuk memikul resiko atas barang pinjamannya.
Jika barangnya berkurang harganya hanya kaarena pemakaian untuk mana barang itu telah dipinjam, dan diluar kesalahan sipemakai, maka sipeminjam tidak bertanggung jawab tentang kemunduran itu. Hal tersebut tertuang dalam pasal 1747, pasal tersebut mengisyaratkan bahwa jika barang dipakai dalam batas-batas yang ditetapkan dalam perjanjian atau undang-undang, maka resiko atau barang dipikul oleh pemilik barang atau yang meminjamkan. Hal ini dikarenakan peminjam telah memanfaatkan atau menggunakan barang yang dipinjam sesuai dengan apa yang telah disepakati atau diperjanjikan.
Dalam pasal 1748 menyatakan bahwa; apabila si pemakai, untuk dapat memakai barangnya pinjaman, telah mengeluarkan sementara biaya, maka tak dapatlah ia menuntutnya kembali. Ketentuan ini juga sudah semestinya, karena dalam pinjam pakai selalu mengandung kebaikan dari yang meminjamkan. Misalnya saja, si peminjam meminjam mobil dan telah mengeluarkan biaya untuk membeli bensin atau menambalkan ban, maka hal itu dianggap tidak pantas apabila si peminjam meminta ganti rugi kecuali waktu meminjam mobil itu si peminjam harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk mengganti mesin tentu saja si peminjam diperbolehkan meminta ganti rugi kepada pemilik mobil atau yang meminjamkannya. Dalam pasal 1748 ini terdapat kalimat ‘sementara biaya’ dimaksudkan disini biaya yang tidak terlampau banyak.
Dalam pasal 1749 menyatakan bahwa; jika beberapa orang bersama-sama menerima satu barang dalam peminjaman, maka mereka itu adalah masing-masing untuk seluruhnya. Bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa si yang meminjamkan dapat meminta dari setiap orang untuk mengganti jumlah seluruh ganti rugi tanpa perlu membagi berapa bagian tiap orangnya. Karena apabila salah satu dari mereka telah membayar seluruh ganti rugi, maka yang lainnya dibebaskan. Bagaimana pembagiannya diantara para peminjam itu bukanlah urusan pemilik barang atau yang meminjamkan.
3. Kewajiban-Kewajiban Yang Meminjamkan
Selain kewajiban si peminjam, yang meminjamkan pun memiliki kewajiban yakni; dalam pasal 1750 menyatakan bahwa orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan selainnya setelah lewatnya waktu yang ditentukan, atau jika tidak ada ketentuan waktu yang demikian, setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud. Ketentuan ini juga sudah semestinya, karena maksud si peminjam meminjam barang adalah untuk digunakan untuk keperluan si peminjam. Dan sangat tidak pantas apabila yang meminjamkan meminta kembali barang miliknya apabila si peminjam belum lewat waktu meminjam barang itu meskipun hak kepemilikan ada pada yang meminjamkan. Selain itu juga, mungkin saja si peminjam menghadapi kesulitan yang lebih besar dari pada kalau ia tidak memperoleh pinjaman barang tersebut. Namun dilain pihak, bisa saja yang meminjamkan pun memerlukan barang yang dipinjamkannya kepada si peminjam. Dalam hal seperti itu, jika si peminjam tidak berkenaan mengembalikan barang karena belumlah habis waktu pinjamnya, harus diminta perantara Hakim, yang mengingat keadaan, dapat memaksa si peminjam untuk mengembalikan barang yang dipinjamnya kepada orang yang meminjamkan atau pemilik barang tersebut.
Hal tersebut diatas tentang kewenangan hakim megingat keadaan dapat memaksa si peminjam untuk mengembalikan barang, diatur dalam pasal 1751 yang berbunyi; jika namun itu orang yang meminjamkan, didalam jangka waktu tersebut, atau sebelum kebutuhan sipemakai habis, karena alasan-alasan yang mendesak dan sekonyong-konyong, memerlukan sendiri barangnya, maka hakim dapat, mengingat keadaan, memaksa sipemakai mengembalikan barangnya kepada orang yang meminjamkannya.
Dalam pasal 1752 menetapkan; jika si pemakai barang selama peminjaman, telah terpaksa mengeluarkan beberapa biaya luar biasa yang perlu, yang sebegitu mendesaknya sehingga ia tidak sempat memberitahukan hal itu sebelumnya kepada orang yang meminjamkan, maka orang ini diwajibkan mengganti biaya-biaya tersebut kepada si pemakai.
Akhirnya pasal 1753 menetapkan; jika barang yang mengandung cacad-cacad yang sedemikian, hingga orang yang memakainya dapat dirugikan karenanya, maka orang yang meminjamkan, jika ia mengetahui adanya cacad-cacad itu dan tidak memberitahukannya kapada si pemakai, bartanggung jawab tentang akibat-akibatnya. Pasal ini menegaskan bahwa apabila suatu barang dianggap tidak layak untuk dipinjamkan, maka pemilik barang hendaknya tidak meminjamkan. Namun, apabila pemilik barang dengan sengaja meminjamkan dan mengetahui bahwa barang tersebut cacad, maka ia bisa dianggap dengan sengaja atau bermaksud buruk.
Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam, barang yang digunakan dalam perjanjian ini adalah barang yang dapat habis dipakai. Orang yang meminjamkan berhak untuk menuntut balas dengan barang yang sama dengan kadar atau jumlah yang sama. Hal ini sejalan dengan pasal 1754 yang mengemukakan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
4. Pinjam Meminjam
Sebagaimana telah diterangkan dalam bab tentang pinjam pakai, yang membedakan antara pinjam pakai dan pinjam meminjam adalah apakah barang yang dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang dipinjam itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam-meminjam. Dalam istilah ‘verbruik-lening’ untuk perjanjian pinjam meminjam ini, perkataan ‘verbuik’ berasal dari bahasa ‘verbruiken’ yang berarti menghabiskan. Dapat juga terjadi baahwa barang yang menghabiskan karena pemakaian diberikan dalam pinjam pakai, yaitun jika didukung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau dipamerkan.
Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara bagimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggungannya (pasal 1755). Karena si peminjam diberikan kekuasaann untuk menghabiskan (memusnahkan) barangnya peminjam, maka sudah setepatnya ia dijadikan pemilik dari barng itu. Sebagai pemilik ini ia juga memikul segal resiko atas barang tersebut. Sebagi pemilik ini pinjam uang, kemorosotan nilai uang itu.
Dalam halnya, peminjam uang, utang yang terjadi karena hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat perlunasan, terjadi ustau kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlaah yang dipinjamharus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu (pasal 1756). Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terutang, kita harus berpangkal pada jumlaah yang disebutkan dalam perjanjian.
Dalam hubungan menetapkan jumlah uang yang harus dibayar oleh si berutang dalm perjanjian-perjanjian sebelum Perang Dunia II. Terdapat suatu yurisprudensi mahkamah agung yang terkenal, yang mengambil dasr untuk penilaian kembali tentang jumlah yang terutang itu :harga emas sebeelum perang dibandingkan dengan harga emas sekarang, namun resiko tentang kemorosotan nilai mata uang itu dipikul oleh masing-masing pihaak separoh. Mula-mula putusan-putusan seperti itu ddiambil dalm menetapkan jumlah uang tebusan dalam soal gadai tanah, tetapi kemudiam utang-piutaang uang juga mendpat perlakuan yang sama.Yurisprudensi tersebut mencerminkaan suatu peengetrapan asas itikad baik yang haarus diindahkan dalam hal pelaksanaan suatu perjanjian, seperti terkandung dalam pasal 1338 (3) B.W.
5. Kewajiban-Kewajiban Yang Meminjamkan
Terdapat kewajiban-kewajiban bagi orang yang meminjamkan yakni; orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Hal tersebut merupakan pernyataan dari pasal 1759, ketentuan ini sudahlah tepat karena sangatlah tidak etis apabila orang yang meminjamkan suatu barang misalnya, lalu meminta kembali padahal belum lewat waktu seperti yang diperjanjikan sebelumnya meskipun barang itu milik yang meminjamkan, demikian juga halnya dengan uang yang . Dalam pasal 1760 menyatakan; Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sedikit kelonggaran bagi sipeminjam. Pasal tersebut menguatkan kewenangan hakim sebagai penengah, apabila antara yang meminjamkan dan si peminjam tidak menentukan batas waktu sebelumnya. Kelonggaran tersebut, apabila diberikan oleh hakim, akan dicantumkan dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamanya, dengan menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayaran itu. Penghukuman pembayaran bunga moratoir juga ditetapkan mulai tanggal tersebut. Kalau orang yang meminjamkan, sebelum menggugatkan dimuka hakim, sudah memberikan waktu secukupnya kepada si peminjam, maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih juga memberikan pengundran. Jika perjanjian itu dibuat dengan akata otentik (notaris), maka jika itu diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan putusannya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada permohonan banding atau kasasi.
Dalam pasal 1761; jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang, akan mengembalikan bilamana ia mampu untuk itu, maka hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktunya pengembalian. Pada dasarnya penilaian tentang kemampuan si peminjam sangatlah subyektif. Dalam menghadapi janji seperti itu, hakim akan menetapkan suatu tanggal pengembalian pinjaman sebagaimana dilakukan terhadap suatu perjanjian yang tidak menentukan atau mencantumkan suatu waktu tertentu.
Dan pasal 1753 yang merupakan ketentuan tentang pinjam pakai pun berlaku bagi pinjam meminjam apabila yang dipinjam bukan berupa uang tetapi dapat habis karena pemakaian. Misalnya; beras, gandum, gula, bensin, dan laian-lain.


6. Kewajiban-Kewajiban Si Peminjam
Si peminjam pun memiliki kewajiban-kewajiban seperti halnya yang meminjamkan yakni; orang-orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan. Hal ini merupakan isi dari pasal 1763. Bila tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran, menurut ketentuan pasal 1760 yang telah dibahas pada kewajiban-kewajiban yang meminjamkan.
Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, harus dikembalikan, jika waktu dan tempat ini tidak telah ditetapkan, harus diambil harga barang pada waktu dan di tempat dimana pinjaman telah terjadi (1764). Yang biasa adalah bahwa barang pinjaman harus dikembalikan di tempat dimana pinjaman telah terjadi, yang adalah juga tempat dimana barang itu telah diterima oleh si peminjam. Oleh karena itu, sudahlah tepat pada pasal 1764 tersebut menetapkan bahwa, dalam halnya tidak terdapat penunjuk tempat pengembalian, harus diambil tempat dimana pinjaman telah terjadi, dalam menetapkan harga barang yang harus dibayar oleh sipeminjam.
Dalam pinjam meminjam ini, kebanyakan mengatur tentang pinjam meminjam uang, dalam pinjam meminjam uang biasanya diikut sertakan dengan bunga. Bunga dalam peminjaman uang pun memiliki pengaturannya dalam BW yakni; pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Bunga yang diperjanjiakan atas peminjaman beras atas gandum, lajimnya juga berupa beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya berupa uang.



7. Meminjamkan Dengan Bunga
Siapa yang telah menrima pinjaman dan membayar bunga yang telah tidak diperjanjikan, tidak boleh menuntutnya kembali maupun menguranginya dari jumlah pokok, kecuali apabila bunga yang dibayar itu melebihi bunga menurut undang-undang; dalam hal mana uang yang telah dibayar selebihnya boleh dituntut kembali atau dikurangi dari jumlah pokok.
Pembayaran bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan si berutang untuk membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikannya harus dibayar sampai saat pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih (pasal 1766). Menurut pasal ini, bunga yang terlanjur dibayar meskipun tidak ada perjanjian tentang bnga, dapat diminta kembali sekedar melebihi “bunga menurut undang-undang”. Dengan ini dimaksudkan bunga sebesar enam persen setahun menurut Staatsbland (Lembaran Negara) tahun 1848. No. 22.
Jika telah diperjanjikan bunga, maka bunga ini harus dibayar sampai saat pengembalian atau “penitipan” uang pokoknya. Dengan penitipan ini dimaksudkan penitipan uang yang terutang itu dikepaniteraan Pengadilan Negeri atau kepada seorang pihak ketiga, setelah uang itu oleh seorang jurusita atau notaris yang bertindak atas suruhan si berutang, ditawarkan kepada orang yang meminjamkan tetapi ditolak.
Ada bunga menurut undang-undang dan ada yang ditetapkan dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditetapkan dlam undang-undang. Bunga yang diperjanjikan boleh melampaui bunga menurut undang-undang, dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.
Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis (pasal 1767). Berapa besarnya bunga menurut undang-undang, sudah kita lihat diatas, yaitu enam persen setahun. Bunga ini juga dinamakan bunga moratoir, dimana perkataan moratoir ini berarti kelalaian, sehingga itu berarti bunga yang harus dibayar karena debitor lalai membayar utangnya. Di Negeri Belanda bunga moratoir itu sekarang adalah delapan persen pertahun.
Sampai berapa besarnya bunga yang diperjanjikan tidak disebutkan, hanyalah dikatakan : asal tidak dilarang oleh undang-undang. Pembatasan terhadap bunga yang terlampau tinggi hanya kita kenal dalam bentuk “Woeker-ordonnantie 1938”, yang dimuat dalam staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1938 No.524, yang menetapkan bahwa, apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak, dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, sedangkan satu pihak berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa, yang telah disalah-gunkan oleh pihak-lawannya, maka si berutang dapat meminta kepada hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya. Melihat bunyinya peraturan tersebut, kiranya sangat sukar apabila kedua pihak adalah pedagang atau usahawan, untuk mengetrapkan Woeker-ordonnantie tersebut, karena suliy mengatakan bahwa salah satu telah berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa.
Juga dalam lingkungan hukum adat, dapat kita lihat suatu yurisprudensi tetap dari mahkamah Agung, yang menetapakan bahwa besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama (lihat a.l. putusan Mahkamah Agung tanggal 22-7-1972 No. 289 K/Sip/1972).
Jika barang meminjamkan telah memperjanjikan bunga dengan tidak menetap berapa besarnya, maka si penerima pinjaman diwajibkan membayar bunga menurut undang-undang (pasal 1768).
Akhirnya dalam hal pinjam uang dengan bunga itu oleh pasal 1769 ditetapkan bahwa bukti pembayaran uang-pokok dengan tidak menyebutkan sesuatu apa mengenai bunga, memberikan persangkaan tentang sudah pula dibayarnya bunga itu, dan si berutang dibebaskan dari pada itu. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa, apabila seorang kreditor memberiakan tanda pembayaran yang sah tentang telah bayarnya uang-pokok, dianggap bahwa bunga-bunga yang terutang juga sudah dibayar. Jika sebenarnya tidak demikian, itu manjadi beban bagi kreditor untuk membuktikannya.