Di
negeri-negeri yang dibangun di atas fondasi suatu bangsa yang berbudaya homogen
seperti yang terjadi pada awal mulanya di Eropa kawasan Katolik Barat
sebagaimana di bentangkan di muka, upaya untuk membuat stándar perilaku yang
tunggal lewat kerja pengkodifikasian hukum itu tidaklah terlalu sulit.
Indoktrinasinya pun tidak dapat dibilang sulit. Kodifikasi dikerjakan dengan
cara mempositifkan norma-norma yang
telah berlaku sebagai moral dan tradisi masyarakat ke dalam bentuknya yang
formal dan baru sebagai teks-teks undang-undang untuk kemudian
dikitabkan. Dari proses kerja seperti inilah datangnya istilah ‘hukum
yang telah dipositifkan’ atau ‘hukum positif, atau pula istilah ‘ius constitutum’ yang
berarti ‘norma hukum yang telah dibentuk’. Maka, dengan demikian,
tidaklah keliru dan salah apabila orang berkeyakinan bahwa materi hukum yang
telah berlaku selama ini di dalam masyarakat pada hakikatnya sama saja dengan
norma substantif yang termuat dalam setiap undang-undang.
Karena pada awalnya undang-undang negara bangsa itu “hanya” merupakan
formalisasi saja dari apa yang telah berlaku secara nyata dalam masyarakat,
maka lahirlah doktrin dalam ilmu hukum bahwa kodifikasi itu pada hakikatnya
adalah sebuah gambaran normatif suatu masyarakat yang benar-benar “bulat,
lengkap dan tuntas”. Dari keyakinan doktrinal seperti ini pulalah
lahirnya doktrin berikutnya yang dikenal dengan adagium berbahasa Latin ‘ignoratio iuris’; ialah,
bahwa tak seorangpun dalam sidang pengadilan boleh menolak diberlakukannya undang-undang terhadap dirinya
dengan dalih bahwa dia tidak pernah membaca dan mengetahui adanya undang-undang
itu. Kalaupun orang tidak pernah membaca dan mengetahui adanya
undang-undang yang mengatur perbuatannya yang terlarang, kerena sebagai anggota
masyarakat bukankah dia telah sejak awal mengetahui moral atau tradisi sosial
yang melarangnya.
Dalam kajian-kajian sosiologi, keyakinan seperti itu disebut keyakinan yang
menyamakan hukum dengan masyarakatnya. Inilah keyakinan fiktif bahwa apa
yang telah dihukumkan dalam undang-undang (the
law) tidaklah berbeda dengan apa yang berlaku dalam masyarakatnya (the society). Inilah
yang dari sudut pandang sosiologi merupakan suatu fiksi bahwa law is society.
Dikatakan suatu fiksi karena dari kajian ilmu-ilmu sosial yang ekonomik,
politik, sosial maupun budaya law is not always society, atau
bahkan law is not
society. Hukum undang-undang sebagai teks
tidaklah selamanya sama dan sebangun dengan realitasnya dalam konteks
sosial-kultural.
Adalah kenyataan bahwa kehidupan bermasyarakat di dunia yang fana ini cenderung
berubah, dan dalam abad-abad terakhir ini kian berubah cepat. Komunitas-komunitas
lokal dengan cepat lebur dan terintegrasi ke dalam kehidupan urban-industrial
yang berskala dan berformat nasional. Inilah perkembangan yang disebut perkembangan from old societies to a new state, terjadi sepanjang abad 18-19 di
Eropa Barat dan seterusnya sepanjang abad 20 di Asia dan Afrika, dengan segala
permasalahan yang berkaitan dengan persoalan tertib kehidupan bermasyarakat
negara, serta ihwal sarana kontrol berikut segala aspek hukumnya.
Demikianlah, manakala ‘Ilmu Hukum’ sebagai kajian law in books berkonsentrasi pada ihwal hukum
undang-undang yang tengah berlaku, yang demi kepastian akan dijadikan dasar
hukum untuk mengadili perkara-perkara, ‘Hukum Dalam Masyarakat’ adalah kajian
tentang ihwal kebermaknaan sosial hukum undang-undang itu. Adapun yang
dimaksudkan dengan ‘the
social significance of law’ ini tidak lain ialah fakta actual yang
hendak mengabarkan sejauh mana hukum undang-undang yang berstatus
formal itu ditaati dan terealisasi menjadi perilaku warga masyarakat dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, hukum undang-undang tidak
hanya tersimak sebagai bacaan tentang perintah-perintah yang harus ditaati akan
tetapi juga tersimak secara indrawi sebagai pola perilaku yang faktual. Semakin
sering hukum undang-undang itu tampak dipatuhi dan terwujud secara nyata dalam
perilaku para warga dalam kehidupan sehari-hari akan boleh dikatakan bahwa
hukum undang-undang itu semakin bermakna secara sosial dan kultural. Berikut
Perbandingan Teori Robert B Saidman dan David M Trubek dalam Perubahan Hukum.
A. TEORI ROBERT
B SEIDMAN
Pertemuan antara hukum modern dan hukum setempat yang
telah ada lebih dulu selama puluhan bahkan ratusan tahun, menimbulkan jurang
yang menganga antara keduanya. Dikatakan sebagai jurang, karena tidak hanya
terjadi pertemuan antara dua bentuk atau format hukum yang berbeda, melainkan
pertemuan antara dua cara hidup atau kultur. Hal tersebut yang menyebabkan
pertemuan tersebut menjadi sangat dramatis.
Robert B. Seidman menyebut adresat hukum sebagai pemegang peran. Oleh karena itu budaya hukum
berpengaruh terhadap pemegang peran. Untuk menanamkan nilai-nilai baru,
diperlukan proses pelembagaan dalam rangka pembentukan kesadaran hukum
masyarakat. Dalam proses ini dibutuhkan komitmen yang tulus dan kemampuan yang
tinggi dari petugas dalam mengimplementasikan kebijaksanaan yang tertuang dalam
hukum tersebut.
Sarana
yang memadai serta organisasi yang rapi menunjang usaha untuk
mengimplementasikan kebijaksanaan baru serta hak-hak baru bagi masyaraat yang
terkena sasaran tersebut. Selain itu diperlukan pengawasan terhadap proses
pelembagaan dan petugas pembuat kebijaksanaan. Usaha-usaha untuk menumbuhkan
budaya hukum yang baru dapat berhasil apabila proses pelembagaannya dilakukan
secara sungguh-sungguh.
Dalam teori Robert B Seidman menyimpulkan bahwa hukum
suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Dalam
penelitiannya, Robert B. Seidman mengambil contoh penerapan hukum administrasi
Inggris di negara bekas jajahannya di Afrika. Ternyata hukum administrasi Inggris tersebut tidak
dapat diterapkan begitu saja di negara-negara Afrika. Ada
beberapa kendala yang menghalangi penerapannya hukum administrasi tersebut.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh negara-negara Afrika dalam menerapkan
hukum administrasi Inggris adalah masalah ethos yang tidak mendukung.
Ethosethos yang dimiliki oleh kulit putih kolonial Inggris ternyata tidak
dipunyai oleh pribumi negara Afrika. Akibatnya adalah kegagalan dalam
menerapkan sistem hukum administrasi Inggris di negara bekas jajahannya di
Afrika.
Dari apa yang telah dikemukakan oleh Robert B Seidman
tersebut melalui tesis-tesisnya, maka dalam rangka pembangunan hukum nasional Indonesia, perlulah
dihayati betul makna pemikiran Robert B Seidman tersebut. Dalam pembangunan
hukum nasional Indonesia, kita tidak boleh mengadopsi begitu saja sistem hukum negara lain, walaupun sudah maju
sekalipun. Sebagai negara bekas jajahan Belanda, dalam membangun hukum
nasional, kita tidak mengadopsi begitu saja sistem hukum Belanda. Dengan segala
kekurangan-kekurangan yang ada kita mencoba merumuskan sendiri model dan materi
hukum yang pas dengan nilai-nilai asli bangsa Indonesia Analisis mengenai
pengalihan hukum asing oleh suatu bangsa yang dapat digolongkan ke
dalam studi hukum dan masyarakat pernah dilakukan oleh Robert B. Seidman
mengenai negara-negara bekas
jajahan Inggris di Afrika. Dengan melakukan penelitian Seidman ingin memperoleh
jawaban mengenai apakah yang akan terjadi bila peraturan-peraturan hukum
diambil alih dari negara-negara yang sudah maju dahulu. Setelah mengadakan penelitian mengenai hukum
administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris, Robert B. Seidman menarik
kesimpulan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada
bangsa lain dan penemuannya ini dirumuskannya dalam sebuah dalil yang berjudul
“The Law of Nontransferability of Law” (Hukum mengenai tidak dapat
dialihkannya hukum). Penelitian itu didasarkan pada anggapan bahwa hukum
administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris mengikuti hukum yang berlaku di
Inggris, yaitu “The Common Law System”. Hukum administrasi ini secara
formal memenuhi persyaratan sebagai hukum yang bersifat yuridis rasional tetapi
hukum administrasi di Afrika
bekas jajahan Inggris menghadapi kenyataan yang berbeda. Hukum administrasi
yang bersifat yuridis rasional ini, seharusnya didasarkan pada birkorasi yang
instrumental dengan rumusan perananperanan yang sesempit mungkin, untuk
membatasi timbulnya pengaruh yang subyektif. Ini berarti bahwa kebebasan para
pejabat dalam memutuskan sesuatu sangat dibatasi. Ternyata bahwa hukum yang
demikian ini tidak mampu menangani keadaan di Afrika bekas jajahan Inggris itu. Hukum yang
diwarisi dari Inggris tidak cukup memberikan peraturan-peraturan yang
dibutuhkan guna mengendalikan para pejabat pemerintahan di Afrika yang berada
tersebar di pedalaman.
Oleh karena itu penggunaan peraturan hukum tersebut
untuk waktu dan tempat yang berbeda dan juga dengan lembaga penerapan sanksi
yang berbeda serta kompleks kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang
mempengaruhi pemegang peran yang berbeda pula, tidak dapat diharapkan akan
menimbulkan aktivitas pemegang peran yang sama dengan yang terjadi di tempat
asal dari peraturan-peraturan hukum tersebut.
B. TEORI DAVID
M TRUBEK
Salah satu
ciri hukum modern, menurut David M. Trubek adalah dalam hal penggunaannya yang
secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu,
antara lain, tersusun dari kemauan sosial-kemasyarakatan yang mengejawantah
menjadi kebijakan negara. Di sini, terjalin suatu mekanisme bawah-atas (bottom-up) dalam
pembentukan hukum: hukum kebiasaan yang hidup di masyarakat menjiwai hukum yang
diberlakukan secara nasional. Namun, seiring dengan menguatnya negara,
mekanisme itu kemudian terkikis, sehingga negara memperoleh legitimasi politis
untuk membuat dan memberlakukan hukum tanpa mesti mencari dukungan dari
masyarakat.
Alih-alih
mencari dukungan masyarakat, negara yang semakin kuat lambat laun akan merasa
“percaya diri”. Bahkan, negara, demi menegakkan legitimasinya, akan melakukan
penindasan terhadap masyarakat, dengan tujuan supaya masyarakat patuh dan
tunduk kepadanya.
Usaha-usaha untuk memastikan hubungan hukum dan perkembangan masyarakat ternyata
masih memancing timbulnya kritik-kritik. David M Trubek dalam bukunya Toward
a Social Theory of Law, mencoba untuk meninjau kembali berbagai konsep dan
teori mengenai hubungan antara hukum dan perkembangan masyarakat yang ada serta
mengutarakan dengan jelas kritiknya terhadap pandangan tradisional mengenai
peranan hukum modern dalam menciptakan masyarakat modern industrial.
Kritik tersebut datang sehubungan dengan pemakaian
hukum modern itu sendiri untuk mencapai masyarakat modern industrial,
kepercayaan terhadap kemampuan hukum modern tersebut pada hakikatnya bersumber
pada anggapan, yang dinamakan perkembangan itu adalah sama dengan evolusi menuju
kepada bentuk kemajuan seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa barat dan hukum modern adalah sama dengan struktur hukum dan
kebudayaan barat, sehingga negara-negara sedang berkembang memang ditakdirkan
untuk menjadi negara yang terbelakang sampai mereka memakai system hukum barat.
Kritik selanjutnya berhubungan dengan sifat etnosentrik dari konsep pembaruan
tersebut. Oleh karena konsep hukum modern dari pembaru itu diselimuti oleh
pandangan yang berakar pada masyarakatnya sendiri mengenai peranan hukum dalam
masyarakat, maka apa yang disarankannya untuk diterapkan pada Negara-negara
sedang berkembang justru bisa menimbulkan hasil-hasil yang sebaliknya cacat
yang terdapat di sini terutama berhubungan dengan penggunaan hukum secara
instrumental, yaitu sebagai sarana yang secara sadar dipakai untuk membentuk
masyarakat.
Pengguna hukum secara demikian itu makin memperkuat
kedudukan Negara, oleh karena konsepsi tersebut memberikan keleluasan dan
kesempatan yang besar kepada Negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang
dipandangnya perlu guna membawa masyarakat kepada perubahan yang dikehendaki
dan menuangkan kebijakan-kebijakan tersebut kedalam hukum.
Dengan mengutip pengalaman-pengalaman di Negara
Brasilia, Trubek menunjukkan penerapan system ekonomi pasar ternyata tidak
dengan begitu saja mampu bergandengan dengan dijalankannya prinsip-prinsip rule
of law dengan semestinya di negara tersebut. Menurut konsep modernisasi,
justru diantara keduanya itu terdapat hubungan saling menunjang yang erat.
Perkembangan menjadi lain disebabkan oleh karena kelompok otoriter memegang
kekuasaan dan menghilangkan dasar yang penting bagi dioperasikannya
prinsip-prinsip rule of law, yaitu kesamaan derajat dan kekuatan
diantara para pelaku system ekonomi pasar.
C. ANALISIS
Sekarang
negara–negara berkembang sedang mengalami modernisasi masyarakatnya. Pada saat negara
tersebut mengalami problem sosial sebagai akibat modernisasi–industrialisasi
yang dijalankan. Salah satu aspek dari konsepsi hukum modern yang mempunyai
arti penting dalam pembicaraan adalah ciri instrumental hukum moden yaitu
penggunaan dengan sengaja untuk mengejar tujuan–tujuan atau untuk mengantarkan
keputusan–keputusan politik, sosial dan ekonomi yang diambil oleh negara.
Hukum modern
merupakan suatu proses yang ditempuh secara sadar untuk merumuskan kebijakan–kebijakan
dan kemudian menerapkannya dalam masyarakat, maka dapat dikatakan, hukum modern
mempunyai tujuan untuk mengatur masyarakat secara efektif dengan menggunakan
peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Proses tersebut kemudian
dihubungkan denga perkembangan sosial, politik dan ekonomi di Barat, sehingga
peran hukum modern dihubungkan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai di bagian
dunia tersebut. Dari sini Hukum modern dapat digunakan untuk menciptakan
masyarakat modern industrial.
Penyempurnaan
dalam subtansi hukum itu diantaranya meliputi jaminan bagi adanya kebebasan
untuk melakukan perjanjian dan perlindungan terhadap kemerdekaan yang
berserikat, segala hal yang memang merupakan karakteristik dari
msayarakat barat modern. Usaha perombakan tersebut meluas meliputi segi
kehidupan hukum, termasuk penerapan peraturan-peraturan yang telah dibuat
sesuai dengan prinsip-prinsip modern.
Kepercayaan
terhadap kemampuan hukum modern tersebut pada hakekatnya bersumber pada
anggapan, yang dinamakan perkembangan itu adalah sqama dengan evolusi menuju
pada bentuk kemajuan seperti yang dialami bangsa barat dan hukum modern
adalah sama dengan struktur hukum dan kebudayaan barat, sehingga negara-negara
sedang berkembang memang ditakdirkan untuk menjadi negara yang terbelakang
sampai mereka memakai sistem hukum barat. Peningkatan penggunaan hukum pada
suatu saat dan pada suatu suasana tertentu bisa menimbulkan hasil-hasil yang
justru tidak dihendaki.Hal ini disebabkan oleh konsepsi yang didasarkan pada
asumsi, masyarakat bersangkutan merupakan masyarakat yang demokratis dan sistem
politiknya menghendaki adanya pluralisme.
Pengakuan dan
penghormatan terhadap kekuatan–kekuatan politik yang terdapat di negara itu
menjamin adanya pembatasan tersebut. Sebaliknya, apabila konsepsi itu akan
diterapkan pada suatu negara, sedang di situ kelompok-kelompok otoriter
memegang kekuasaan, maka perkembangannya bisa menimbulkan kemerosotan otonomi
hukum. Kesalahan konsepsi penggunaan hukum modern untuk membentuk
masyarakat yang dikehendaki terletak pada kesempitannya, yang tidak memberikan
kepada orang untuk melakukan pilihan-pilihan lain kecuali menerima konsepsi
mengenai peranan hukum modern sebagaimana yang dikehendakinya. Trubek
menyatakan bahwa agar pengkajian mengenai teori hubungan hukum dan perkembangan
masyarakat yang dilakukan dengan lebih subur hendaknya membuka kesempatan luas
untuk membicarakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pemikiran untuk
menggunakan hukum sebagai sarana melakukan perubahan sosial.
Sebagaimana teori David M Trubek, bagian yang
menguraikan tentang hubungan antara hukum dan perkembangan masyarakat sebagaimana terdapat di barat atau Negara-negara industri
maju untuk kemudian dipakainya di negara-negara sedang berkembang, sehingga
Negara-negara tersebut terakhir diharuskan menempuh jalan yang telah dilalui
oleh negara-negara industri maju, pada dasarnya menolak pemahaman evolusioner
tentang masyarakat yang terlalu sederhana dan mutlak.
Kritik tersebut mengandung inti kebenaran terutama
atas dasar perkembangan masyarakat sebagai proses sosial adalah suatu
peristiwa yang kompleks. Namun demikian di pihak lain tidak dapat diabaikan
kenyataan, di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, masyarakat
modern industrial merupakan tujuan yang ingin dicapai. Dalam menghadapi keadaan
tersebut diperlukan suatu kerangka teori yang bisa dipakai untuk memahami
perkembangan tersebut tanpa memastikan jalan yang bagaimana yang harus dilalui.
Teori Robert B Seidman yang intinya menyatakan bahwa
hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain, turut
memberi warna dalam upaya pembangunan hukum nasional Indonesia. Walaupun negara
Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, namun dalam sistem hukum yang hendak
dibangun tidak mengambil alih begitu saja sistem hukum kolonial Belanda. Harus
diakui bahwa pengaruh sistem hukum Belanda masih terasa dalam sistem hukum
nasional Indonesia, namun itu tidak berarti bahwa kita menjiplak hukum kolonial
Belanda. Kita dengan sistematis telah berupaya untuk membangun suatu sistem
hukum nasional yang bercita Indonesia. Tidak pernah terpikirkan untuk mengoper
begitu saja system hukum negara lain, sekalipun dirasa lebih maju, ke dalam
Hukum Nasional Indonesia, karena hal itu belum menjamin akan dapat dilaksanakan
dengan baik. Pembangunan hukum nasional Indonesia mengacu pada cita hukum
Pancasila. Tujuan Hukum Pengayoman, Konsepsi Negara Hukum Pancasila, Wawasan
Kebangsaan dan Wawasan Nusantara. Untuk membangun tata hukum nasional, kita
tidak dapat begitu saja menggunakan dan menerapkan ilmu hukum yang berkembang
di negara lain, sekalipun telah memberikan hasil yang bermutu tinggi. Kenyataan
antropologis dan sosiologis di Indonesia hingga kini masih memperlihatkan
keberagaman kultural dan sejalan dengan itu panorama kultur hukum yang beragam pula.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Teory Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Prenada Media Group, 2009,
Jakarta
Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bina Cipta, 1976, Bandung
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang
Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, 2009, Yogyakarta
……………………, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu
Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta
Publishing, 2009, Yogyakarta
……………………., Biarkan Hukum Mengalir, Catatan
Kritis Tentang Pergulatan Hukum dan Manusia, Kompas, 2007, Jakarta