Selasa, 17 Juli 2018

KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG SECARA YURIDIS

Suatu Undang-Undang dikatakan berlaku secara yuridis apabila undang-undang tersebut dibentuk berdasarkan pertimbangan yang bersifat yuridis.
Pertimbangan yang bersifat yuridis tersebut adalah sebagai berikut:
1)    Pembuatan Undang-Undang dilakukan oleh Badan atau Pejabat yang berwenang;
Pembahasan ini terkait dengan adanya atribusi kewenangan. Dalam hal ini UUD 1945 sebelum perubahan sebagai konstitusi tertulis negara, memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang yaitu pejabat negara tertentu untuk membentuk Undang-Undang artinya, UUD NRI 1945 sebelum perubahan memberi kewenangan konstitusional kepada pejabat negara (pada suatu lembaga negara), untuk membentuk Undang-Undang.
Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menetapkan bahwa Pejabat Negara terdiri atas:
a.     Presiden dan Wakil Presiden;
b.     Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.      Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d.     Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e.     Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan kecuali hakim ad hoc;
f.       Ketua, Wakil Ketua, Anggota Mahkamah Konstitusi;
g.     Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h.     Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial;
i.       Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; 
j.       Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
k.  Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l.       Gubernur dan Wakil Gubernur
m.    Bupati/ Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota;
n.     Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan sebanyak 4 (empat) kali. Beberapa pasal dari UUD 1945 pasca perubahan yang berkaitan dengan atribusi kewenangan tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut:
i.   Pasal 5, “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
ii. Pasal 20 ayat (1), “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
iii.     Pasal 20 ayat (2), “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”.
iv.     Pasal 20 (4), “Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang”.
Dalam naskah UU PKN dan UU BPK telah tercantum bahwa                      Undang-Undang tersebut telah melalui persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden sehingga dapat dikatakan bahwa kedua Undang-Undang tersebut telah memenuhi syarat keberlakuan secara yuridis dilihat dari pembentukan Undang-Undang oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2)    Materi-materi yang ada dalam Undang-Undang didasarkan pada norma-norma yang lebih tinggi tingkatannya; Jenis dan hierarki peraturan dan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

i.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
ii.     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
iii.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
iv.    Peraturan Pemerintah;
v.     Peraturan Presiden;
vi.    Peraturan Daerah Provinsi; dan
vii.  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian selain jenis peraturan tersebut di atas, suatu peraturan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Undang-Undang, baik dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000, maupun UU PPP, ditetapkan dibawah UUD 1945 dapat diberi pendapat bahwa materi-materi yang terdapat pada Undang-Undang harus mendapat delegasi atau payung hukum (Kaderwet) dari UUD NRI 1945.  Demikian juga halnya dengan UU PKN dan UU BPK, materi-materinya harus mendapat delegasi dari UUD NRI 1945.
Delegasi kewenangan pada UU PKN dapat dicermati pada bagian “mengingat” yang menyatakan bahwa delegasi kewengan yang diperoleh berasal:
1.    Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 23 dan Pasal 23E UUD 1945;
2.    Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Nagara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, tambahan lembaran negara nomor 4286);
3.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);
Kemudian delegasi kewenangan pada UU BPK bagian “mengingat” menyatakan bahwa pasal 20, pasal 21, pasal 23E, pasal 23F, dan Pasal 23G UUD NRI 1945 sebagai pemberi delegasi kewenangan.
Bila melihat dari delegasi kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 maka baik UU PKN maupun UU BPK telah memenuhi syarat bahwa menteri yang diaturnya didasarkan oleh norma yang lebih tinggi tingkatannya.
3)    Adanya kesesuaian bentuk atau jenis Peraturan Perundangan-undangan dengan materi yang diatur.
Pembahasan bagian ini akan mengacu pada salah satu asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu asas kesesuaian antara jenis Peraturan Perundang-undangan dan materi muatan yang diatur didalamnya. Asas ini mengandung pengertian bahwa untuk jenis Undang-Undang dan  materi-materi yang dimuat memang merupakan norma-norma yang seharusnya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang[1].
Pada UU PKN titik berat materi yang diatur ada pada pasal 18, 23 dan 23E UUD NRI 1945, sedangan pada UU BPK titik berat materi yang hendak diatur ada pada pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G UUD NRI 1945.
Pasal 18 UUD NRI 1945 mengenai Pemerintah Daerah Pasal 23 mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pasal 23E mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pasal 23F mengenai Susunan Keanggotaan BPK, dan pasal 23G mengenai Kedudukan BPK di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU PKN mengatur bagaimana suatu pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dijalankan, sedangkan UU BPK memberikan kedudukan hukum dan menjelaskan tugas dan wewenang BPK.
Materi yang diatur dalam UU PKN terkait juga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU KN) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU PN). Bila dalam UU KN berisi tentang penyelenggaraan pemerintahan negara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang maka dakan UU PN berisi mengenai kaidah-kaidah hukum keuangan administrasi negara yang diperlukan untuk mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Kemudian yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Lebih lanjut, tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara        secara tertib, taat pada Peraturan Perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Sehingga pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab  keuangan negara dapat diartikan secara utuh sebagai proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar  pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi dari keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya  yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban secara tertib, taat pada Peraturan                 Perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
UU PKN dibuat sebagai dasar pelaksanaan tugas BPK sebagai   salah satu lembaga tinggi negara selain itu tata cara pemeriksaan dalam UU PKN dapat diadopsi oleh pemeriksa intern pemerintahan agar lebih sinkron dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena tata cara pemeriksaan yang diatur dalam Undang-Undang ini dapat dijadikan dasar pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan keuangan nagara oleh Aparat Pemeriksa Intern Pemerintah (APIP) maka pengaturannya  yang paling tepat melalui Peraturan Perundang-undangan yang  berada di bawah UUD NRI 1945 dan dalam bentuk Undang-Undang.
Undang-Undang BPK berisi materi tentang apakah BPK itu tugas serta wewenangnya kedudukan serta keanggotaan dalam BPK dan hal-hal yang terkait dengan BPK guna mencapai pencapaian tujuan adanya BPK. BPK bertujuan untuk mewujudkan keuangan negara yang tertib, taat pada perundang-undangan, efisien,              ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Tujuan akhir yang  hendak dicapai setelah itu adalah masyarakat Indonesia yang adil makmur dan sejatera sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI 1945. Materi ini terlebih telah melalui proses pendelegasian kewenangan yang tercantum dalam UUD NRI 1945 sehingga sudah tepat bila ketentuan-ketentuan tentang BPK diatur oleh   Undang-Undang.



[1]Jimly Asshiddiq, Perihal Undang-Undang.2006. Jakarta: Konstitusi Press. Halaman 206.