1. Pinjam Pakai
Dalam perjanjian pijam pakai,barang yang dipinjamkan
tidak habis atau musnah karena pemakaian. Sipemilik barang meminjamkan
barangnya kepada peminjam secara Cuma-Cuma ini sesuai dengan definisinya
berdasarkan pasal 1740 pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk
dipakai dengan Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini,
setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan
mengembalikannya. Dalam pinjam pakai hak kepemilikan barang tetap berada
pada yang meminjamkan barang, peminjam hanya memiliki hak pakai.
Perikatan-perikatan
yang terbit dari perjanjian pinjam pakai berpindah kepada ahli waris
pihak yang meminjamkan dan pada ahli waris yang meminjam. Namun, jika
suatu peminjaman dilakukan karena mengingat orangnya yang menerima
pinjaman dan telah diberikan khusus kepada orang tersebut secara
pribadi, maka para ahli waris orang ini tidak dapat tetap menikmati
barang pinjaman itu hal ini berdasarkan pasal 1743. Hal pertama yang
tercantum dalam pasal tersebut sejalan dengan asas umum dari hukum
pewarisan. Namun apabila hal tersebut (hak dan kewajiban) ada
hubungannya yang sangat erat dengan pribadi si meninggal, hak dan
kewajiban itu tidak beralih kepada para ahli warisnya. Begitu pula
bagian kedua dari pasl tersebut diatas, peminjaman itu dilakukan karena
mengingat orangnya dan diberikan khusus kepada si meninggal secara
pribadi, maka perjanjian pinjam pakai berakhir dan para ahli waris wajib
mengembalikan barangnya. Dapat dijadikan contoh, mobil dinas yang
digunakan oleh pejabat selama menjabat, dapat digunakan oleh mereka
hanya selama menjabat. Apabila jabatan mereka berakhir maka mereka wajib
mengembalikan mobil tersebut kepada instansi pejabat tersebut menjabat.
Namun jika pejabat yang dipinjamkan mobil tsebut meninggal maka
perjanjian seketika itu juga berakhir dan para ahli waris diwajibkan
mengembalikan mobil yang dipinjamkan tersebut.
Perjanjian pinjam
pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian sepihak atau unilateral
(dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya adanya prestasi dari
satu pihak saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan
“dipakai dengan Cuma-Cuma”, artinya hanya pihak yang meminjamkan yang
berprestasi, sedangkan pihak yang meminjam hanya menggunakan tanpa ada
balas prestasi kepada yang meminjamkan. Sehingga didalam perjanjian
pinjam pakai ini tidak terdapat kontra prestasi. Namun begitu, terdapat
kewajiban-kewajiban bagi si peminjam dan yang meminjamkan.
2. Kewajiban-Kewajiban Si Peminjam
Tedapat
kewajiban-kewajiban bagi para peminjam yakni; siapa yang menerima
pinjaman sesuatu, diwajibkan menyimpan dan memelihara barang pinjaman
itu sebagai seorang bapak rumah yang baik. Ia tidak boleh memakainya
guna suatu keperluan lain, selainnya yang sesuai sifatnya barangnya atau
yang ditetapkan dalam perjanjian; kesemuanya atas ancaman penggantian
biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu. Jika ia memakai
barangnya pinjaman guna suatu keperluan lain atau lebih lama dari pada
yang diperbolehkan, maka selain dari pada itu ia adalah bertanggung
jawab atas musnahnya barangnya sekalipun nusnahnya barang itu disebabkan
karena kejadian yang sama sekali tidak disengaja hal ini tercantum
dalam pasal 1744. Bunyi pasal tersebut sangat jelas bahwa peminjam
diwajibkan memelihara barang tersebut seperti miliknya sendiri. Barang
yang dipinjamkan pun harus digunakan sesuai dengan manfaatnya barang
tersebut atau berdasarkan kesepakatan antara peminjam dan penerima.
Contohnya, apabila sebuah rumah dipinjamkan oleh si A kepada si B untuk
tempat tinggal, namun si B menggunakannya sebagai Rumah Makan dan
apabila terjadi kebakaran, maka B berkewajiban mengganti atas kerugian
si A yang meminjamkan meskipun kebakaran tersebut tidak disengaja oleh
si B.
Terdapat kewajiban lain bagi si peminjam; jika barang yang
dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, yang mestinya
dapat disingkiri seandainya sipeminjam telah memakai barangnya sendiri,
atau jika hanya satu dari kedua barang itu saja yang dapat diselamatkan,
si peminjam telah memilih menyelamatkan dia punya barang sendiri, maka
ia bertanggung jawab atas musnahnya barang lainnya. Hal tersebut
tercantum dalam pasl 1745, dari kententuan tersebutdapat kita simpulkan
bahwa yang diutamakan keselamatan barangnya adalah milik yang
meminjamkan dibandingkan barang milik peminjam sendiri harus di
kesampingkan. Sedangkan dalam hal penggunaan, apabila si peminjam
memiliki barang yang sama dengan barang yang dipijam, hendaknya ia
menggunakan barangnya sendiri terlebih dahulu.
Dalam pasal 1746
menyatakan bahwa; Jika barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir
harganya, maka musnahnya barang itu, biarpun ini terjadi karena suatu
kejadian yang tidak disengaja, adalah atas tanggungan si peminjam,
kecuali apabila diperjanjikan sebaliknya. Dari ketentuan tersebut, dapat
kita simpulkan bahwa apabila sebelum barang diserahkan dalam pinjam
pakai dan telah ditaksir harganya dihadapan kedua belah pihak, maka hal
itu dianggap sebagai prasangka atau petunjuk bagi peminjam untuk memikul
resiko atas barang pinjamannya.
Jika barangnya berkurang harganya
hanya kaarena pemakaian untuk mana barang itu telah dipinjam, dan diluar
kesalahan sipemakai, maka sipeminjam tidak bertanggung jawab tentang
kemunduran itu. Hal tersebut tertuang dalam pasal 1747, pasal tersebut
mengisyaratkan bahwa jika barang dipakai dalam batas-batas yang
ditetapkan dalam perjanjian atau undang-undang, maka resiko atau barang
dipikul oleh pemilik barang atau yang meminjamkan. Hal ini dikarenakan
peminjam telah memanfaatkan atau menggunakan barang yang dipinjam sesuai
dengan apa yang telah disepakati atau diperjanjikan.
Dalam pasal
1748 menyatakan bahwa; apabila si pemakai, untuk dapat memakai barangnya
pinjaman, telah mengeluarkan sementara biaya, maka tak dapatlah ia
menuntutnya kembali. Ketentuan ini juga sudah semestinya, karena dalam
pinjam pakai selalu mengandung kebaikan dari yang meminjamkan. Misalnya
saja, si peminjam meminjam mobil dan telah mengeluarkan biaya untuk
membeli bensin atau menambalkan ban, maka hal itu dianggap tidak pantas
apabila si peminjam meminta ganti rugi kecuali waktu meminjam mobil itu
si peminjam harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk mengganti mesin
tentu saja si peminjam diperbolehkan meminta ganti rugi kepada pemilik
mobil atau yang meminjamkannya. Dalam pasal 1748 ini terdapat kalimat
‘sementara biaya’ dimaksudkan disini biaya yang tidak terlampau banyak.
Dalam
pasal 1749 menyatakan bahwa; jika beberapa orang bersama-sama menerima
satu barang dalam peminjaman, maka mereka itu adalah masing-masing untuk
seluruhnya. Bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa si yang meminjamkan dapat meminta
dari setiap orang untuk mengganti jumlah seluruh ganti rugi tanpa perlu
membagi berapa bagian tiap orangnya. Karena apabila salah satu dari
mereka telah membayar seluruh ganti rugi, maka yang lainnya dibebaskan.
Bagaimana pembagiannya diantara para peminjam itu bukanlah urusan
pemilik barang atau yang meminjamkan.
3. Kewajiban-Kewajiban Yang Meminjamkan
Selain
kewajiban si peminjam, yang meminjamkan pun memiliki kewajiban yakni;
dalam pasal 1750 menyatakan bahwa orang yang meminjamkan tidak boleh
meminta kembali barang yang dipinjamkan selainnya setelah lewatnya waktu
yang ditentukan, atau jika tidak ada ketentuan waktu yang demikian,
setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai untuk keperluan yang
dimaksud. Ketentuan ini juga sudah semestinya, karena maksud si peminjam
meminjam barang adalah untuk digunakan untuk keperluan si peminjam. Dan
sangat tidak pantas apabila yang meminjamkan meminta kembali barang
miliknya apabila si peminjam belum lewat waktu meminjam barang itu
meskipun hak kepemilikan ada pada yang meminjamkan. Selain itu juga,
mungkin saja si peminjam menghadapi kesulitan yang lebih besar dari pada
kalau ia tidak memperoleh pinjaman barang tersebut. Namun dilain pihak,
bisa saja yang meminjamkan pun memerlukan barang yang dipinjamkannya
kepada si peminjam. Dalam hal seperti itu, jika si peminjam tidak
berkenaan mengembalikan barang karena belumlah habis waktu pinjamnya,
harus diminta perantara Hakim, yang mengingat keadaan, dapat memaksa si
peminjam untuk mengembalikan barang yang dipinjamnya kepada orang yang
meminjamkan atau pemilik barang tersebut.
Hal tersebut diatas tentang
kewenangan hakim megingat keadaan dapat memaksa si peminjam untuk
mengembalikan barang, diatur dalam pasal 1751 yang berbunyi; jika namun
itu orang yang meminjamkan, didalam jangka waktu tersebut, atau sebelum
kebutuhan sipemakai habis, karena alasan-alasan yang mendesak dan
sekonyong-konyong, memerlukan sendiri barangnya, maka hakim dapat,
mengingat keadaan, memaksa sipemakai mengembalikan barangnya kepada
orang yang meminjamkannya.
Dalam pasal 1752 menetapkan; jika si
pemakai barang selama peminjaman, telah terpaksa mengeluarkan beberapa
biaya luar biasa yang perlu, yang sebegitu mendesaknya sehingga ia tidak
sempat memberitahukan hal itu sebelumnya kepada orang yang meminjamkan,
maka orang ini diwajibkan mengganti biaya-biaya tersebut kepada si
pemakai.
Akhirnya pasal 1753 menetapkan; jika barang yang mengandung
cacad-cacad yang sedemikian, hingga orang yang memakainya dapat
dirugikan karenanya, maka orang yang meminjamkan, jika ia mengetahui
adanya cacad-cacad itu dan tidak memberitahukannya kapada si pemakai,
bartanggung jawab tentang akibat-akibatnya. Pasal ini menegaskan bahwa
apabila suatu barang dianggap tidak layak untuk dipinjamkan, maka
pemilik barang hendaknya tidak meminjamkan. Namun, apabila pemilik
barang dengan sengaja meminjamkan dan mengetahui bahwa barang tersebut
cacad, maka ia bisa dianggap dengan sengaja atau bermaksud buruk.
Sedangkan
dalam perjanjian pinjam meminjam, barang yang digunakan dalam
perjanjian ini adalah barang yang dapat habis dipakai. Orang yang
meminjamkan berhak untuk menuntut balas dengan barang yang sama dengan
kadar atau jumlah yang sama. Hal ini sejalan dengan pasal 1754 yang
mengemukakan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan
mutu yang sama pula.
4. Pinjam Meminjam
Sebagaimana telah
diterangkan dalam bab tentang pinjam pakai, yang membedakan antara
pinjam pakai dan pinjam meminjam adalah apakah barang yang dipinjamkan
itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang dipinjam
itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam-meminjam. Dalam
istilah ‘verbruik-lening’ untuk perjanjian pinjam meminjam ini,
perkataan ‘verbuik’ berasal dari bahasa ‘verbruiken’ yang berarti
menghabiskan. Dapat juga terjadi baahwa barang yang menghabiskan karena
pemakaian diberikan dalam pinjam pakai, yaitun jika didukung maksud
bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau dipamerkan.
Berdasarkan
perjanjian pinjam-meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi
pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan
cara bagimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggungannya (pasal 1755).
Karena si peminjam diberikan kekuasaann untuk menghabiskan
(memusnahkan) barangnya peminjam, maka sudah setepatnya ia dijadikan
pemilik dari barng itu. Sebagai pemilik ini ia juga memikul segal resiko
atas barang tersebut. Sebagi pemilik ini pinjam uang, kemorosotan nilai
uang itu.
Dalam halnya, peminjam uang, utang yang terjadi karena
hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika
sebelum saat perlunasan, terjadi ustau kenaikan atau kemunduran harga
(nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka
pengembalian jumlaah yang dipinjamharus dilakukan dalam mata uang yang
berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang
berlaku pada saat itu (pasal 1756). Dengan demikian maka untuk
menetapkan jumlah uang yang terutang, kita harus berpangkal pada jumlaah
yang disebutkan dalam perjanjian.
Dalam hubungan menetapkan jumlah
uang yang harus dibayar oleh si berutang dalm perjanjian-perjanjian
sebelum Perang Dunia II. Terdapat suatu yurisprudensi mahkamah agung
yang terkenal, yang mengambil dasr untuk penilaian kembali tentang
jumlah yang terutang itu :harga emas sebeelum perang dibandingkan dengan
harga emas sekarang, namun resiko tentang kemorosotan nilai mata uang
itu dipikul oleh masing-masing pihaak separoh. Mula-mula putusan-putusan
seperti itu ddiambil dalm menetapkan jumlah uang tebusan dalam soal
gadai tanah, tetapi kemudiam utang-piutaang uang juga mendpat perlakuan
yang sama.Yurisprudensi tersebut mencerminkaan suatu peengetrapan asas
itikad baik yang haarus diindahkan dalam hal pelaksanaan suatu
perjanjian, seperti terkandung dalam pasal 1338 (3) B.W.
5. Kewajiban-Kewajiban Yang Meminjamkan
Terdapat
kewajiban-kewajiban bagi orang yang meminjamkan yakni; orang yang
meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya,
sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Hal tersebut
merupakan pernyataan dari pasal 1759, ketentuan ini sudahlah tepat
karena sangatlah tidak etis apabila orang yang meminjamkan suatu barang
misalnya, lalu meminta kembali padahal belum lewat waktu seperti yang
diperjanjikan sebelumnya meskipun barang itu milik yang meminjamkan,
demikian juga halnya dengan uang yang . Dalam pasal 1760 menyatakan;
Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang
yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan,
memberikan sedikit kelonggaran bagi sipeminjam. Pasal tersebut
menguatkan kewenangan hakim sebagai penengah, apabila antara yang
meminjamkan dan si peminjam tidak menentukan batas waktu sebelumnya.
Kelonggaran tersebut, apabila diberikan oleh hakim, akan dicantumkan
dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamanya,
dengan menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayaran itu. Penghukuman
pembayaran bunga moratoir juga ditetapkan mulai tanggal tersebut. Kalau
orang yang meminjamkan, sebelum menggugatkan dimuka hakim, sudah
memberikan waktu secukupnya kepada si peminjam, maka tidak pada
tempatnya lagi kalau hakim masih juga memberikan pengundran. Jika
perjanjian itu dibuat dengan akata otentik (notaris), maka jika itu
diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan putusannya dapat
dijalankan terlebih dahulu meskipun ada permohonan banding atau kasasi.
Dalam
pasal 1761; jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah
meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang, akan mengembalikan bilamana
ia mampu untuk itu, maka hakim, mengingat keadaan, akan menentukan
waktunya pengembalian. Pada dasarnya penilaian tentang kemampuan si
peminjam sangatlah subyektif. Dalam menghadapi janji seperti itu, hakim
akan menetapkan suatu tanggal pengembalian pinjaman sebagaimana
dilakukan terhadap suatu perjanjian yang tidak menentukan atau
mencantumkan suatu waktu tertentu.
Dan pasal 1753 yang merupakan
ketentuan tentang pinjam pakai pun berlaku bagi pinjam meminjam apabila
yang dipinjam bukan berupa uang tetapi dapat habis karena pemakaian.
Misalnya; beras, gandum, gula, bensin, dan laian-lain.
6. Kewajiban-Kewajiban Si Peminjam
Si
peminjam pun memiliki kewajiban-kewajiban seperti halnya yang
meminjamkan yakni; orang-orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan
mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu
yang ditentukan. Hal ini merupakan isi dari pasal 1763. Bila tidak telah
ditetapkan sesuatu waktu, maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran,
menurut ketentuan pasal 1760 yang telah dibahas pada kewajiban-kewajiban
yang meminjamkan.
Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang
yang dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan
membayar harganya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat
dimana barangnya, menurut perjanjian, harus dikembalikan, jika waktu dan
tempat ini tidak telah ditetapkan, harus diambil harga barang pada
waktu dan di tempat dimana pinjaman telah terjadi (1764). Yang biasa
adalah bahwa barang pinjaman harus dikembalikan di tempat dimana
pinjaman telah terjadi, yang adalah juga tempat dimana barang itu telah
diterima oleh si peminjam. Oleh karena itu, sudahlah tepat pada pasal
1764 tersebut menetapkan bahwa, dalam halnya tidak terdapat penunjuk
tempat pengembalian, harus diambil tempat dimana pinjaman telah terjadi,
dalam menetapkan harga barang yang harus dibayar oleh sipeminjam.
Dalam
pinjam meminjam ini, kebanyakan mengatur tentang pinjam meminjam uang,
dalam pinjam meminjam uang biasanya diikut sertakan dengan bunga. Bunga
dalam peminjaman uang pun memiliki pengaturannya dalam BW yakni; pasal
1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas
peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Bunga
yang diperjanjiakan atas peminjaman beras atas gandum, lajimnya juga
berupa beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan
bunganya berupa uang.
7. Meminjamkan Dengan Bunga
Siapa
yang telah menrima pinjaman dan membayar bunga yang telah tidak
diperjanjikan, tidak boleh menuntutnya kembali maupun menguranginya dari
jumlah pokok, kecuali apabila bunga yang dibayar itu melebihi bunga
menurut undang-undang; dalam hal mana uang yang telah dibayar selebihnya
boleh dituntut kembali atau dikurangi dari jumlah pokok.
Pembayaran
bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan si berutang untuk
membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikannya harus
dibayar sampai saat pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun
pengembalian atau penitipan ini dilakukan setelah lewatnya waktu
utangnya dapat ditagih (pasal 1766). Menurut pasal ini, bunga yang
terlanjur dibayar meskipun tidak ada perjanjian tentang bnga, dapat
diminta kembali sekedar melebihi “bunga menurut undang-undang”. Dengan
ini dimaksudkan bunga sebesar enam persen setahun menurut Staatsbland
(Lembaran Negara) tahun 1848. No. 22.
Jika telah diperjanjikan bunga,
maka bunga ini harus dibayar sampai saat pengembalian atau “penitipan”
uang pokoknya. Dengan penitipan ini dimaksudkan penitipan uang yang
terutang itu dikepaniteraan Pengadilan Negeri atau kepada seorang pihak
ketiga, setelah uang itu oleh seorang jurusita atau notaris yang
bertindak atas suruhan si berutang, ditawarkan kepada orang yang
meminjamkan tetapi ditolak.
Ada bunga menurut undang-undang dan ada
yang ditetapkan dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditetapkan
dlam undang-undang. Bunga yang diperjanjikan boleh melampaui bunga
menurut undang-undang, dalam segala hal yang tidak dilarang oleh
undang-undang.
Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian
harus ditetapkan secara tertulis (pasal 1767). Berapa besarnya bunga
menurut undang-undang, sudah kita lihat diatas, yaitu enam persen
setahun. Bunga ini juga dinamakan bunga moratoir, dimana perkataan
moratoir ini berarti kelalaian, sehingga itu berarti bunga yang harus
dibayar karena debitor lalai membayar utangnya. Di Negeri Belanda bunga
moratoir itu sekarang adalah delapan persen pertahun.
Sampai berapa
besarnya bunga yang diperjanjikan tidak disebutkan, hanyalah dikatakan :
asal tidak dilarang oleh undang-undang. Pembatasan terhadap bunga yang
terlampau tinggi hanya kita kenal dalam bentuk “Woeker-ordonnantie
1938”, yang dimuat dalam staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1938 No.524,
yang menetapkan bahwa, apabila antara kewajiban-kewajiban
bertimbal-balik dari kedua belah pihak, dari semula terdapat suatu
ketidak-seimbangan yang luar biasa, sedangkan satu pihak berbuat karena
kebodohan dan keadaan terpaksa, yang telah disalah-gunkan oleh
pihak-lawannya, maka si berutang dapat meminta kepada hakim untuk
menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan
perjanjiannya. Melihat bunyinya peraturan tersebut, kiranya sangat sukar
apabila kedua pihak adalah pedagang atau usahawan, untuk mengetrapkan
Woeker-ordonnantie tersebut, karena suliy mengatakan bahwa salah satu
telah berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa.
Juga dalam
lingkungan hukum adat, dapat kita lihat suatu yurisprudensi tetap dari
mahkamah Agung, yang menetapakan bahwa besarnya suku bunga pinjaman
adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama (lihat a.l. putusan
Mahkamah Agung tanggal 22-7-1972 No. 289 K/Sip/1972).
Jika barang
meminjamkan telah memperjanjikan bunga dengan tidak menetap berapa
besarnya, maka si penerima pinjaman diwajibkan membayar bunga menurut
undang-undang (pasal 1768).
Akhirnya dalam hal pinjam uang dengan
bunga itu oleh pasal 1769 ditetapkan bahwa bukti pembayaran uang-pokok
dengan tidak menyebutkan sesuatu apa mengenai bunga, memberikan
persangkaan tentang sudah pula dibayarnya bunga itu, dan si berutang
dibebaskan dari pada itu. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa,
apabila seorang kreditor memberiakan tanda pembayaran yang sah tentang
telah bayarnya uang-pokok, dianggap bahwa bunga-bunga yang terutang juga
sudah dibayar. Jika sebenarnya tidak demikian, itu manjadi beban bagi
kreditor untuk membuktikannya.