Selasa, 14 Mei 2013

Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum


A.   Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Wanprestasi.
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atas kewajiban sampingan (kewajiban atas prestasi atau kewajiban jaminan/garansi) dalam perjanjian.
Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:[1]
1.   Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2.   Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;
3.   Debitur prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Terjadinya wanprestasi paihak debitur dalam suatu perjanjian, mambawa akibat yang tidak mengenakkan bagi debitur karena debitur harus:[2]
1.   Mengganti kerugian;
2.   Benda yang menjadi objek perikatan, sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung gugat debitur;
3.   Jika perikatan timbal balik, kreditor dapat minta pembatala (pemutusan)perjanjian.
Sedangkan untuk menghindari terjadinya kerugian bagi kreditor karena terjadinya wanprestasi, maka kreditor dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan[3]:
1.   Pembatalan (pemutusan) perjanjian;
2.   Pemenuhan perjanjian;
3.   Pembayaran ganti kerugian;
4.   Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian;
5.   Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian.
Dalam tanggung gugat berdasarkan wanprestasi, kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan ketentuan dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian  atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar.

B.   Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum.
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian atara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setap pihak yang dirugikan walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.   Ada perbuatan melanggar hukum;
2.   Ada kerugian;
3.   Ada hubungan kasaulitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian, dan
4.   Ada kesalahan.
1). Perbuatan melanggar hukum
Berbeda dengan pengertian perbuatan melanggar hukum sebelum tahun 1919 yang diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang, maka setelah tahun 1919, perbuatan melanggar hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang, melainkan perbuatan melanggar hukum tersebut dapat berupa[4]:
a.    Melanggar hak orang lain;
b.   Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;
c.    Berlawanan dengan kesusilaan baik; dan
d.   Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
Rumusan ini sebenarnya bukan berasal dari H.R. sendiri, melainkan diambil dari rencana Regout tahun 1911 yang telah diubah, dimana dalam rumusan yang lama syarat kesalahan berdiri sendiri, sedangkan pada rumusan baru tidak dapat ditempatkan pengertian kesalahan, karena barangsiapa yang berbuat melawan kesusilaan baik atau melawan sikap hati-hati pasti bersalah, atau dengan kata lain, bilamana ia tidak bersalah, maka ia tidak berbuat melawan kesusilaan baik atau sikap hati-hati. Dengan demikian, rumusan yang sebaiknya diperhunakan adalah rumusan regout adalah “barangsiapa  karena perbuatan melanggar  hukum  menimbulkan kerugian, maka ia wajib mengganti kerugian itu”.[5]
Unsur perbuatan melanggar hukum yang pertama adalah melanggar hak orang lain, yang menurut van der Grinten, bahwa tidak seorang pun boleh merusak barang orang lain tanpa suatu kewenangan. Bilamana orang bertindak demikian, maka ia melanggar hak orang lain, sehingga dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Walaupun demikian, melakukan perbuatan pelanggaran hak orang lain tidak secara merta bertanggung gugat atas kerugian yang timbul, karena diperlukan adanya kesalahan dari orang yang bersangkutan.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, sebagai bentuk kedua dari perbuatan melanggar hukum. Kewajiban hukum yang dimaksud adalah kewajiban menurut undang-undang, baik yang termasuk hukum publik maupun hukum privat.
Berdasarkan yurisprudensi, melanggar kewajiban undang-undang tidak begitu saja merupakan perbuatan melanggar hukum, karena memiliki persyaratan tertentu, yaitu[6]:
a.    Dengan pelanggaran ini, kepentingan penggugat dilanggar atau diancam;
b.   Kepentingan itu dilindungi oleh kewajiban yang dilanggar;
c.    Kepentungan itu termasuk dilindungi berdasarkan Pasal 1365 B.W.;
d.   Pelanggaran tersebut bersifat tidak pantas terhadap si penggugat, mengingat sikap dan perbuatan sendiri;
e.    Tidak ada alasan pembenar.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pelanggaran atas kewajiban hukum merupakan perbuatan melanggar hukum. Sedangkan ajaran kuno yang mengatakan bahwa melanggar kewajiban hukum dengan sendirinya merupakan perbuatan melanggar hukum, sekarang sudah harus dianggap ketinggalan zaman.
2. Kerugian
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiridapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Walaupun kerugian dapat berupa kerugian atas diri (fisik) seseorang atau kerugian yang menimpa harta benda, akan tetapi jika dikaitkan dengan ganti kerugian, maka keduanya dapat dinilai dengan uang (harta kekayaan). Demikian pula karena kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan, maka pengertian kerugian seharusnya adalah berkurangnya/tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian itu dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian, ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait dengan kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan pihak-pihak yang bersangkutan.
4.   Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat atau kausalitas, dikenal beberapa teori, di antaranya conditio sine qua non, adequat dan toerrekening naar redelijkheid. Namun karena masalah kausalitas ini tidak begitu dipersoalkan dalam pengembangan hukum di Indonesia.
5.   Kesalahan
Berdasarkan Pasal 1365 B.W., salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalaha. Kesalahan ini memiliki tiga unsur, yaitu:
a.    Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
b.   Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;
1).    Dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;
2.    dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;
c.    Dapat di pertanggung jawabkan: debitur dalam keadaan cakap.
Setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen, menjadi masalah apakah syarat kesalahan di samping syarat melanggar hukum memainkan peranan bersama dalam menentukan perbuatan melanggar hukum. Masalah ini menjadi perhatian, karena para sarjana masih beda pendapat mengenai hal tersebut, terutama antara Maijers dengan van Oven beserta para penganut-penganutnya.




[1] Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), (Bandung:Mandar Maju, 1994), Hal 11.
[2] Purwahid Patrik, op cit., hal 11
[3] Ibid., hal. 12.
[4] J.M. van Dunne van der Burht, Perbuatan melanggar hukum, terjemahan KPH Hapsoro Jayaningprang, Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia-Proyek Hukum Perdata, Ujung Pandang, Hal. 63-64.
[5] Ibid., Hal. 110-111.
[6] Ibid., 74-75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar