A. Tuntutan Ganti Kerugian
Berdasarkan Wanprestasi.
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam
lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan
ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian
yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian
didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat
(produsen dan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga
(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut
ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya
wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atas kewajiban
sampingan (kewajiban atas prestasi atau kewajiban jaminan/garansi) dalam
perjanjian.
Bentuk-bentuk
wanprestasi dapat berupa:[1]
1.
Debitur tidak memenuhi prestasi sama
sekali;
2.
Debitur terlambat dalam memenuhi
prestasi;
3.
Debitur prestasi tidak sebagaimana
mestinya.
Terjadinya
wanprestasi paihak debitur dalam suatu perjanjian, mambawa akibat yang tidak
mengenakkan bagi debitur karena debitur harus:[2]
1.
Mengganti kerugian;
2.
Benda yang menjadi objek perikatan,
sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung gugat debitur;
3.
Jika perikatan timbal balik, kreditor
dapat minta pembatala (pemutusan)perjanjian.
Sedangkan
untuk menghindari terjadinya kerugian bagi kreditor karena terjadinya
wanprestasi, maka kreditor dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan[3]:
1.
Pembatalan (pemutusan) perjanjian;
2.
Pemenuhan perjanjian;
3.
Pembayaran ganti kerugian;
4.
Pembatalan perjanjian disertai ganti
kerugian;
5.
Pemenuhan perjanjian disertai ganti
kerugian.
Dalam tanggung gugat berdasarkan wanprestasi,
kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan
ketentuan dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua
belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian,
bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus
dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta
besarnya ganti kerugian yang harus dibayar.
B. Tuntutan Ganti Kerugian
Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum.
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang
didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya
wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar
hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian atara produsen dengan konsumen,
sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setap pihak yang
dirugikan walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen
dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti
kerugian.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian
tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti
bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
1.
Ada perbuatan melanggar hukum;
2.
Ada kerugian;
3.
Ada hubungan kasaulitas antara
perbuatan melanggar hukum dengan kerugian, dan
4.
Ada kesalahan.
1).
Perbuatan melanggar hukum
Berbeda
dengan pengertian perbuatan melanggar hukum sebelum tahun 1919 yang
diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang, maka setelah tahun 1919,
perbuatan melanggar hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang,
melainkan perbuatan melanggar hukum tersebut dapat berupa[4]:
a.
Melanggar hak orang lain;
b.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si
pembuat;
c.
Berlawanan dengan kesusilaan baik; dan
d.
Berlawanan dengan sikap hati-hati yang
seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang
lain.
Rumusan
ini sebenarnya bukan berasal dari H.R. sendiri, melainkan diambil dari rencana
Regout tahun 1911 yang telah diubah, dimana dalam rumusan yang lama syarat kesalahan
berdiri sendiri, sedangkan pada rumusan baru tidak dapat ditempatkan pengertian
kesalahan, karena barangsiapa yang berbuat melawan kesusilaan baik atau melawan
sikap hati-hati pasti bersalah, atau dengan kata lain, bilamana ia tidak
bersalah, maka ia tidak berbuat melawan kesusilaan baik atau sikap hati-hati.
Dengan demikian, rumusan yang sebaiknya diperhunakan adalah rumusan regout
adalah “barangsiapa karena perbuatan
melanggar hukum menimbulkan kerugian, maka ia wajib mengganti
kerugian itu”.[5]
Unsur
perbuatan melanggar hukum yang pertama adalah melanggar hak orang lain, yang
menurut van der Grinten, bahwa tidak seorang pun boleh merusak barang orang
lain tanpa suatu kewenangan. Bilamana orang bertindak demikian, maka ia
melanggar hak orang lain, sehingga dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
hukum. Walaupun demikian, melakukan perbuatan pelanggaran hak orang lain tidak
secara merta bertanggung gugat atas kerugian yang timbul, karena diperlukan
adanya kesalahan dari orang yang bersangkutan.
Bertentangan
dengan kewajiban hukum si pembuat, sebagai bentuk kedua dari perbuatan
melanggar hukum. Kewajiban hukum yang dimaksud adalah kewajiban menurut
undang-undang, baik yang termasuk hukum publik maupun hukum privat.
Berdasarkan
yurisprudensi, melanggar kewajiban undang-undang tidak begitu saja merupakan
perbuatan melanggar hukum, karena memiliki persyaratan tertentu, yaitu[6]:
a.
Dengan pelanggaran ini, kepentingan
penggugat dilanggar atau diancam;
b.
Kepentingan itu dilindungi oleh
kewajiban yang dilanggar;
c.
Kepentungan itu termasuk dilindungi
berdasarkan Pasal 1365 B.W.;
d.
Pelanggaran tersebut bersifat tidak
pantas terhadap si penggugat, mengingat sikap dan perbuatan sendiri;
e.
Tidak ada alasan pembenar.
Apabila
syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pelanggaran atas kewajiban hukum
merupakan perbuatan melanggar hukum. Sedangkan ajaran kuno yang mengatakan
bahwa melanggar kewajiban hukum dengan sendirinya merupakan perbuatan melanggar
hukum, sekarang sudah harus dianggap ketinggalan zaman.
2.
Kerugian
Kerugian yang diderita seseorang secara garis
besar dapat dibagi dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian
yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiridapat
berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Walaupun kerugian dapat berupa kerugian atas diri
(fisik) seseorang atau kerugian yang menimpa harta benda, akan tetapi jika
dikaitkan dengan ganti kerugian, maka keduanya dapat dinilai dengan uang (harta
kekayaan). Demikian pula karena kerugian harta benda dapat pula berupa
kehilangan keuntungan yang diharapkan, maka pengertian kerugian seharusnya
adalah berkurangnya/tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang
disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh
pihak lain.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang
harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian
harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada
kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti
kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang
seharusnya andaikata perjanjian itu dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi
perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian, ganti kerugian harus diberikan sesuai
dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak
terkait dengan kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan pihak-pihak yang
bersangkutan.
4.
Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat atau kausalitas, dikenal
beberapa teori, di antaranya conditio sine qua non, adequat dan toerrekening
naar redelijkheid. Namun karena masalah kausalitas ini tidak begitu
dipersoalkan dalam pengembangan hukum di Indonesia.
5.
Kesalahan
Berdasarkan Pasal 1365 B.W., salah satu syarat
untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar
hukum adalah adanya kesalaha. Kesalahan ini memiliki tiga unsur, yaitu:
a.
Perbuatan yang dilakukan dapat
disesalkan;
b.
Perbuatan tersebut dapat diduga
akibatnya;
1).
Dalam arti objektif: sebagai manusia
normal dapat menduga akibatnya;
2.
dalam arti subjektif: sebagai seorang
ahli dapat menduga akibatnya;
c.
Dapat di pertanggung jawabkan: debitur
dalam keadaan cakap.
Setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen, menjadi
masalah apakah syarat kesalahan di samping syarat melanggar hukum memainkan
peranan bersama dalam menentukan perbuatan melanggar hukum. Masalah ini menjadi
perhatian, karena para sarjana masih beda pendapat mengenai hal tersebut,
terutama antara Maijers dengan van Oven beserta para penganut-penganutnya.
[1] Purwahid
Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan
dari undang-undang), (Bandung:Mandar Maju, 1994), Hal 11.
[2] Purwahid
Patrik, op cit., hal 11
[3] Ibid., hal.
12.
[4] J.M. van
Dunne van der Burht, Perbuatan melanggar hukum, terjemahan KPH Hapsoro
Jayaningprang, Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia-Proyek
Hukum Perdata, Ujung Pandang, Hal. 63-64.
[5] Ibid.,
Hal. 110-111.
[6] Ibid.,
74-75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar