A.
PENDAHULUAN
Perlindungan hak kekayaan intelektual sangat
penting bagi pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Hak atas
kekayaan intelektual yang dilindungi di Indonesia bisa saja berupa merek,
lisensi, hak cipta, paten maupun desain industri. Hak atas kekayaan intelektual
pada saat ini bukan hanya sebagai suatu nama atau simbol saja, melainkan Hak
atas kekayaan intelektual memiliki aset kekayaan yang sangat besar. Hak atas
kekayaan intelektual yang tepat dan dipilih secara hati-hati merupakan aset
bisnis yang berharga untuk sebagian besar perusahaan.
Hal ini
karena konsumen menilai Hak atas Kekayaan Intelektual sebagai reputasi, citra
dan sejumlah kualitas-kualitas yang konsumen inginkan yang berhubungan dengan
Hak atas Kekayaan Intelektual. Konsumen dalam hal ini mau membayar lebih untuk
produk dengan Hak atas Kekayaan Intelektual tertentu yang telah diakui dunia
dan yang dapat memenuhi harapan mereka. Oleh karena itu, memiliki pengakuan
atas Hak atas Kekayaan Intelektual dengan citra dan reputasi yang baik
menjadikan sebuah perusahaan lebih kompetitif.
Fungsi utama dari penguasaan
Hak atas Kekayaan Intelektual adalah agar konsumen dapat mencirikan suatu
produk (baik itu barang maupun jasa) yang dimiliki oleh perusahaan sehingga
dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau yang mirip yang
dimiliki oleh pesaingnya. Konsumen yang merasa puas dengan suatu produk
tertentu akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa yang akan
datang. Untuk dapat melakukan hal tersebut pemakai harus mampu membedakan
dengan mudah antara-produki yang asli dengan produk-produk yang identik atau
yang mirip.
Apabila
kita simak landasan pemikiran filosofis yang menjiwai Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terlihatlah bahwa pembentuk undang-undang mendasarkan pada
pandangannya, bahwa ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat
konsumen.
Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut, menurut pembentuk Undang-Undang, akan
dilakukan melalui dua strategi dasar, yaitu di satu sisi melalui upaya
memberdayakan konsumen, yang akan ditempuh dengan cara
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya sendiri. Sedangkan disisi lain
ditempuh melalui upaya untuk menciptakan dan mendorong iklim usaha yang sehat
dan tangguh serta mendorong tumbuhnya sikap pelaku usaha yang bertanggung
jawab.
Dalam
konteks yang demikian, maka terlihatlah, bahwa segala upaya
memberikan perlindungan terhadap konsumen tentunya tidak
dimaksudkan untuk mematikan usaha dari pelaku usaha, tetapi justru
sebaliknya, upaya-upaya tersebut diharapkan juga dapat men-dorong terciptanya
iklim berusaha yang sehat, yakni yang mendorong lahirnya perusahaan
yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang
dan/atau jasa yang berkualitas. Dengan strategi yang disebutkan di
atas, pembentuk undang-undang mengharapkan akan tercipta keseimbangan
perlindungan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha.
Selanjutnya
untuk dapat menunjang strategi yang telah dipilih sebagaimana terurai diatas,
maka pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan beberapa asas (Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan tujuan dari
perlindungan konsumen (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) serta menetapkan secara tegas apa saja yang menjadi
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen (Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen) pelaku usaha (Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Keempat hal inilah, yang
selanjutnya diharapkan dapat menjadi mediator sekaligus penyaring dari berbagai
norma yang berfungsi untuk merestrukturisasi lembaga-lembaga dan
pranata-pranata hukum dan ekonomi yang telah ada, maupun merekonstruksi
pola-pola hubungan yang terjadi baik antara konsumen dan pelaku
usaha.
Lalu,
apa sajakah yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, ke dalam wujud norma-norma hukum yang
konkrit dan operasional, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya melalui
strategi yang telah dipilinya tersebut.
Apabila
dilihat dari substansi-substansi dari norma hukum yang ditetapkan oleh
pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka
dapatlah diketahui, bahwa untuk mendukung itu semua, di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah ditetapkan berbagai
perbuatan dari pelaku usaha, baik bagi pelaku usaha yang melakukan
kegiatan produksi, kegiatan perdagangan, maupun ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan
menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan produknya. (Pasal 9 s/d 17
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Selain
daripada itu ditetapkan pula hal-hal yang berkaitan dengan pencantuman klausula
baku (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Di
samping upaya-upaya yang berkaitan dengan pengaturan tentang perilakunya,
sebagai bagian integral dari upaya melindungi konsumen, undang-undang tersebut,
disamping mengakui keberadaan LSM (yang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat, lihat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen), juga menciptakan dan menyempurnakan berbagai macam
lembaga, baik yang difungsikan untuk membantu upaya pengembangan perlindungan
konsumen (yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional, lihat
Pasal 31 s/d 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen), maupun lembaga-lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha, baik yang bersifat non-litigasi (yang didalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut dengan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) maupun yang bersifat litigasi (Pasal 45
s/d 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Selain
daripada itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini
juga memberikan hak dan tanggung jawab kepada pemerintah untuk melakukan
pembinaan penyelenggaraan konsumen (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen) serta memberikan kewenangan kepada pemerintah,
masyarakat, serta lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. (Pasal 30
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Agar
berbagai norma tersebut dapat dipatuhi, maka untuk selanjtnya di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, ditetapkan berbagai macam sanksi
yang dapat ditetapkan kepada konsumen dan pelaku usaha yang melanggar norma-norma
yang telah ditetapakn, baik sanksi-sanksi keperdataan (Pasal 19 s/d 21, 23 s/d 28 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) , sanksi-sanksi administratif (Pasal
60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), maupun
sanksi-sanksi pidana ( Pasal 22, 61 s/d 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen)
Demikianlah
penetapan tujuan, strategi dan penetapan norma serta sanksi yang oleh pembentuk
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat
merestrukturisasi lembaga-lembaga dan pranata-pranata hukum dan ekonomi
yang telah ada maupun merekonstruksi pola-pola hubungan yang
terjadi baik antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis
modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang
menggunakan produk/jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh produsen. Dalam hal ini
tentu tidak cukup, bila konsumen tampil satu kali saja pada saat bisnis
dimulai. supaya bisnis berkesinambungan, perlulah konsumen yang secara teratur
memakai serta membeli produk/jasa tersebut dan dengan demikian menjadi
pelanggan.
“the customer is king” sebenarnya tidak merupakan slogan saja yang
dimaksud sebanyak mungkin pembeli. ungkapan ini menunjukkan tugas pokok bagi
perodusen/penyedia jasa: mengupayakan kepuasan konsumen. Pelanggan adalah raja
dalam arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan
produsen. Tidak mengherankan, kalau peranan sentral pelanggan atau konsumen
dengan menandaskan bahwa maksud bisa didefinisikan secara tepat sebagai “too
creat a customer”
Bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja
merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai
keberhasilan dalam bisnis. Sebagaimana halnya dengan banyak topik etika bisnis
lainnya, disini pun berlaku bahwa etika dalam praktek bisnis sejalan dengan
kesuksesan bisnis. Perhatian untuk etika dalam hubungan dengan konsumen, harus
dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi etis
dari relasi Pelaku usaha dan konsumen itu mendesak, karena posisi konsumen
sering kali agak lemah. Walaupun konsumen digelari raja, pada kenyataannya
“kuasanya” sangat terbatas karena berbagai alasan. Dalam konteks modern si
konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen.
Karena bisnis itu mempunyai kewakjiban moral untuk melindungi konsumen dan
menghindari kerugian baginya.
Menurut Penjelasan
Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),
faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi
karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal ini
terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
Jika dilihat lebih
lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya
kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai
konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan
penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu,
konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang
berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian
baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan
baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.[1]
Berdasarkan kondisi
diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan
pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran dari
pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu
mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.
Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan
dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan
hal tersebut diatas maka penulis akan menguraikan keterkaitan hubungan antara Persaingan
Usaha, Kontrak dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di dalam Perlindungan
Konsumen.
B.
PEMBAHASAN
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) atau intelectual property right telah cukup
kental di pikiran kita. HAKI memang bukan barang baru di Indonesia ini,
terlebih dengan semakin berkembangnya dunia teknologi informasi dan industri
kreatif diIndonesia. HAKI yang pada umumnya terkait dengan hak paten, hak
cipta, dan merek dagang ini memberikan hak tertentu kepada pemegangnya untuk
waktu tertentu mengecualikan pihak lain dalam memperoleh manfaat dari produk
atau jasa tersebut. Perlindungan atas HAKI memang diakui penting dalam
meningkatkan inovasi dan pada akhirnya menunjang pertumbuhan ekonomi. Dapat
dibayangkan, apa jadinya negara ini kalau insentif untuk melakukan
inovasi tidak diperhatikan. Bisa-bisa semua produk atau jasa yang ada di tanah
air kita ini berasal dari negara lain.
HAKI dari
sisi persaingan usaha dapat memberikan kekuatan pasar kepada pemegang hak untuk
menentukan kepada siapa dia dapat menjual produk atau jasa kreatifnya. Kekuatan
pasar tersebut dapat disalahgunakan apabila tidak terdapat teknologi atau
produk serupa yang dapat menjadi subtitusi. Akibatnya, dapat terjadi
inefisiensi dimana pemilik hak akan membatasi penjualan untuk mengurangi
tingkat persaingan di pasar dan memaksimalisasi keuntungan mereka. Dari sisi
persaingan usaha juga dapat ditemukan fenomena bahwa perilaku monopolistik
tersebut dapat diperkenankan apabila hanya dilakukan pada jangwa pendek dan
tetap dapat dibuktikan memberikan manfaat jangka panjang yang optimal bagi
kesejahteraan rakyat. Dualisme pemikiran inilah yang membuat isu mengenai HAKI
menjadi menarik untuk ditelaah.
Dua sisi
pedang yang dimiliki HAKI ini sebenarnya telah mendapat perhatian dunia,
khususnya dalam mempertimbangan sejauh mana perlindungan atas HAKI dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perhatian tersebut diterjemahkan dalam
perjanjian aspek-aspek dagang dari HAKI (Agreement on Trade Related Aspects
of Intellectual Property Rights atau TRIPS) yang dinegosiasikan dalam
Putaran Uruguay (Uruguay Round). Perjanjian tersebut memperkenalkan
adanya standar minimal atas perlindungan dan penegakan hukum bagi HAKI dalam
sistem perdagangan internasional (cross boarder) dan bersifat mengikat
kepada seluruh negara anggota. Peranan kebijakan persaingan atas HAKI dalam
TRIPS juga dinyatakan spesifik. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa
negara anggota diperkenankan mengadopsi berbagai cara pencegahan atau
pengendalian praktek persaingan usaha tidak sehat dalam HAKI berdasarkan hukum
di negara bersangkutan.
Penyalahgunaan
HAKI secara umum dapat dibedakan pada sifat perjanjiannya, yaitu horizontal dan
vertikal. Secara horizontal, penyalahgunaan terjadi dalam bentuk adanya
koordinasi antar pesaing yang berdampak pada persaingan dan kesejahteraan
rakyat. Bentuk perilaku tersebut dapat berupa kondisi dimana pemegang HAKI
melakukan perjanjian dengan pemegang HAKI lainnya dengan tujuan menetapkan
harga yang disepakati bersama atas produk atau jasa yang terkait dengan
teknologi barang yang mereka miliki. Kerjasama tersebut bisa dilakukan secara
sendiri ataupun melalui pembentukan suatu usaha patungan (joint venture).
Sedangkan secara vertikal, perjanjian terjadi dalam hal pemegang HAKI
bekerjasama dengan perusahaan pengguna produk HAKI tersebut (sebagai barang
input). Penyalahgunaan tersebut umumnya dilakukan dengan cara penetapan harga
bersama dengan tujuan mengurangi biaya transaksi di antara mereka.
Secara
khusus, berbagai perilaku penyalahgunaan HAKI tersebut dapat berupa pembagian
wilayah, perjanjian eksklusif, penjualan bersyarat (tying), dan
penolakan pemberian lisensi (refusal to license). Pembagian wilayah
dilakukan apabila pembagian pasar menjadi beberapa wilayah dan membatasi
perdagangan dimungkinkan, maka pemegang HAKI cenderung akan memilih untuk
menunjuk satu pemegang izin tertentu untuk pada wilayah-wilayah tertentu.
Perjanjian ekslusif sering digunakan untuk mencegah pemegang HAKI untuk
memproduksi produk yang menggunakan teknologi yang dimiliki pesaingnya. Dalam
perjanjian ini, umumnya retalier tidak diperkenankan menjual produk pesaing.
Hal ini ditujukan untuk mencegah adanya free rider memanfaatkan
persaingan tersebut dan untuk mengembangkan hubungan teknologi antara pemegang
dan pemberi HAKI. Penjualan bersyarat juga kerap digunakan dalam mewajibkan
konsumen untuk menggunakan penyedia barang terkait dengan berlindung pada
alasan mempertahankan kualitas produk yang dimilikinya.
Namun
demikian, berbagai perilaku yang dilakukan pemegang HAKI seringkali juga
bermanfaat bagi pemegang hak sekaligus meningkatkan kompetisi di pasar jika
perilaku tersebut dilakukan secara benar. Misalnya, pembatasan wilayah
pemasaran dan perjanjian ekslusif yang dapat mengamankan keuntungan dengan
membatasi dan mendorong persaingan dalam merek yang sama (intrabrand
competition) serta memberikan harga yang berbeda antar wilayah geografis
berdasarkan karakter konsumen terkait. Bahan penjualan bersyarat dapat
digunakan untuk meningkatkan output dengan menetapkan harga berdasarkan
karakter konsumen yang berbeda (misalnya harga yang lebih rendah bagi konsumen
baru). Penggunaan royalti juga dapat mendorong efisiensi dengan cara menetapkan
besaran royalti berdasarkan output total yang dihasilkan. Memperhatikan
dua sisi perilaku positif dan negatif dari HAKI inilah yang seringkali membuat
hubungan antara penggunaan HAKI dengan penerapan hukum persaingan menjadi sangat
rumit dan membutuhkan pertimbangan ekonomis yang lebih matang.
HAKI
memiliki peranan yang vital dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan konsumen dan adalah hal yang penting untuk melindungi insentif
untuk menciptakan dan meningkatkan HAKI. Hubungan antara HAKI dan hukum
persaingan memiliki hubungan yang kompleks karena pemegang HAKI dapat melakukan
perilaku yang anti kompetisi dalam memperoleh kekuatan pasar yang lebih besar
dibandingkan dengan kekuatan pasar yang secara otomatis mereka miliki begitu mereka memperoleh hak
khusus tersebut. Penggunaan hukum persaingan yang tepat dapat mengatasi
permasalahan tersebut tanpa menginjak legitimasi atas perlindungan HAKI.
Kepentingan pemegang HAKI, produsen, dan konsumen akan diuntungkan melalui
suatu pasar yang kompetitif dan diwarnai dengan kemudahan akses, transparansi,
proses negosiasi jual beli lisensi tepat, praktek HAKI yang efisien, dan
penegakan hukum yang tepat. Kombinasi yang tepat diantara keduanya akan
menciptakan suatu standar yang optimal dalam melindungi kepentingan pemegang
HAKI dan melindungi kesejahteraan rakyat.
Terhadap
perlindungan konsumen dari pelaku usaha
dalam hal penyusunan Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku
diistilahkan secara beragam dalam bahasa Inggeris dengan standardized contract,
standard contract atau contract of adhesion. Pada awal dimulainya sistem
perjanjian, kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang
merupakan unsur yang amat penting. Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin
berkembang, para pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang
sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa
formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Inilah
yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau perjanjian baku.
Dengan cara yang praktis ini, pihak pemberi kontrak standar sering kali
menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan yang dibakukan itu lebih
menguntungkan pihaknya dan
bahkan mengambil kesempatan di kala lawan perjanjian tidak berkesempatan membaca isinya secara
detil atau tidak
terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen atau pelaku usaha. Perdagangan modern ditandai dengan kontrak standar yang berlaku secara massal, perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh produsen.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen atau pelaku usaha. Perdagangan modern ditandai dengan kontrak standar yang berlaku secara massal, perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh produsen.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan sebagai
berikut :
Klausula baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
(1) Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak
kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan palaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku
yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan
Ayat (1)
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”.
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat
dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau pernjanjian
yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a), seharusnya
larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai
ketentuan Pasal 27 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang pemproduksi
barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan,
karena sama sekali menurut kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari
tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.
Menyangkut larangan mencantumkan
klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ada
batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari larangan klasula baku
yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi
pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya
dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas
barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan
alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Larangan dalam huruf d dari
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sudah tepat. Klausula baku yang berisikan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah
tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan
konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.
Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.
Khusus menyangkut larangan dalam Pasal
18 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dimengerti
bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan
ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan.
Berkenaan dengan hal tersebut,
ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen
yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan
konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai asas keseimbangan
dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus
dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan
harus mendapat porsi yang seimbang.
Dalam hal melakukan produksi pelaku usaha harus menjamin bahwa produknya
pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa dipakai dengan aman.
Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, Pelaku usaha maupun
konsumen masing–masing mempunyai tanggung jawab.
Untuk
mendasarkan tanggung jawab pelaku usaha, telah dikemukakan 3 teori yang
mendukung nuansa yang berbeda: teori kontrak, teori perhatian semestinya dan
teori biaya sosial.
1. Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi kuno yang berbunyi caveat
emptor “hendaknya si pembeli berhati–hati”. Sebagaimana sebelum
menandatangani sebuah kontrak, Konsumen harus membaca dengan teliti seluruh
teksnya termasuk huruf–huruf terkecil sekalipun, serta konsumen dengan hati–hati
harus mempelajari keadaan produk serta ciri–cirinya. Sebelum dengan membayar ia
menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai dengan apa yang
tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual memperoleh
dasarnya dari situ.
Tetapi tidak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen dan konsumen,
selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak. Karena itu pandangan
kontrak dari beberapa segi tidak memuaskan juga terutama ada 3 (tiga) keberatan
berikut terhadap pandangan ini.
- Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara pelaku usaha dan konsumen.
- Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen. Padahal konsumen pada kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan pelaku usaha.
- Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik. Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlanjur menyetujui kontrak jual beli. Padahal disitu tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman dan sebagainya. Bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual beli hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen terlaksana.
2. Teori perhatian semestinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan
kontrak atau persetujuan antara konsumen danpelaku usaha, melainkan terutama
kualitas produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu tekanannya bukan dari
segi hukum saja, melainkan dalam etika dalam arti luas. Norma dasar yang
melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain
dengan kegiatannya.
3. Teori biaya sosial
Teori biaya sosial merupakan versi yang paling ekstrim
dari semboyan caveat venditor. walaupun teori ini paling menguntungkan
bagi konsumen, rupanya sulit juga mempertahankan. Kritik yang dikemukakan dalam
teori ini, bisa disingkatkan sebagai berikut: teori biaya sosial tampaknya
kurang adil, karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal–hal yang tidak
diketahui atau tidak dihindarkan. Menurut keadaan kompensatoris orang yang
bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa
dicegah olehnya.
Dalam menjamin
keamanan produk, Pelaku usaha mempunyai kewajiban terhadap konsumen. Disini Penulis
membahas tiga kewajiban moral lain yang masing–masing berkaitan dengan kualitas
produk, harganya, dan pemberian label serta pengemasan.
- Kualitas produk
Dengan kualitas produk, disini dimaksudkan bahwa
produk sesuai dengan apa yang dijanjikan pelaku usaha dan apa yang secara wajar
boleh diharapkan konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena
ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang
berkualitas, misalnya produk yang tidak kadaluwarsa (bila ada batas waktu
seperti obat obatan atau makanan).
- Harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor–faktor
seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba
yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas , sepintas lalu rupanya harga yang
adil adalah hasil akhir
dari perkembangan daya pasar. Kesan spontan adalah bahwa harga yang adil
dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana dilakukan dipasar tradisional, dimana
si pembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan si penjual sampai
pada minimum harga yang mau dipasang . transaksi itu terjadi bila maksimum dan
minimum itu bertemu.
- Pengemasan dan pemberiaan label
Pengemasan dan label dapat menimbulkan masalah etis.
Dalam konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut
pada kemasan itu benar. Informasi yang kurang benar atau tidak pasti bukan saja
merugikan konsumen tetapi pihak lain juga. Disini contoh yang jelas ialah
diskusi beberapa tahun lalu di amerika serikat tentang kemungkinan kelapa sawit
bisa meningkatkan kadar kolestrol dalam darah. Kalau hal itu disampaikan
sebagai informasi yang benar, sedangkan pada kenyataannya belum terbukti,
negara kelapa sawit sangat dirugikan dan penyiaran informasi itu merupakan cara
berbisnis yang tidak fair.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. HAKI dari sisi persaingan usaha dapat memberikan
kekuatan pasar kepada pemegang hak untuk menentukan kepada siapa dia dapat
menjual produk atau jasa kreatifnya sekaligus meningkatkan kompetisi di pasar
jika perilaku tersebut dilakukan secara benar
b. Dalam hal melakukan produksi pelaku usaha harus
menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa
dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai,
Pelaku usaha maupun konsumen masing–masing mempunyai tanggung jawab
c. Terhadap perlindungan konsumen dari pelaku usaha dalam hal penyusunan Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku yang mana kebebasan
berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat
penting.
2.
Saran
Masalah etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam
hal ini konsumen sendiri tidak berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen
sendiri juga mempunyai tranggung jawab. Seperti sudah kita lihat sebelumnya,
dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap kritis dalam menilai produk yang
akan dibeli dan dikonsumsi itulah kebenaran yang terkandung dalam pepatah kuno caveat
emptor (hendaknya si pembeli berhati – hati).