Minggu, 30 Juni 2013

haki



A.    PENDAHULUAN


 Perlindungan hak kekayaan intelektual sangat penting bagi pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Hak atas kekayaan intelektual yang dilindungi di Indonesia bisa saja berupa merek, lisensi, hak cipta, paten maupun desain industri. Hak atas kekayaan intelektual pada saat ini bukan hanya sebagai suatu nama atau simbol saja, melainkan Hak atas kekayaan intelektual memiliki aset kekayaan yang sangat besar. Hak atas kekayaan intelektual yang tepat dan dipilih secara hati-hati merupakan aset bisnis yang berharga untuk sebagian besar perusahaan.
Hal ini karena konsumen menilai Hak atas Kekayaan Intelektual sebagai reputasi, citra dan sejumlah kualitas-kualitas yang konsumen inginkan yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual. Konsumen dalam hal ini mau membayar lebih untuk produk dengan Hak atas Kekayaan Intelektual tertentu yang telah diakui dunia dan yang dapat memenuhi harapan mereka. Oleh karena itu, memiliki pengakuan atas Hak atas Kekayaan Intelektual dengan citra dan reputasi yang baik menjadikan sebuah perusahaan lebih kompetitif.
Fungsi utama dari penguasaan Hak atas Kekayaan Intelektual adalah agar konsumen dapat mencirikan suatu produk (baik itu barang maupun jasa) yang dimiliki oleh perusahaan sehingga dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau yang mirip yang dimiliki oleh pesaingnya. Konsumen yang merasa puas dengan suatu produk tertentu akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa yang akan datang. Untuk dapat melakukan hal tersebut pemakai harus mampu membedakan dengan mudah antara-produki yang asli dengan produk-produk yang identik atau yang mirip.
Apabila kita simak landasan pemikiran filosofis yang menjiwai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terlihatlah bahwa pembentuk                 undang-undang mendasarkan pada pandangannya, bahwa ditujukan  untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, menurut pembentuk                     Undang-Undang, akan dilakukan melalui dua strategi dasar, yaitu di satu sisi melalui upaya memberdayakan konsumen, yang akan ditempuh dengan  cara  meningkatkan  pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya sendiri. Sedangkan disisi lain ditempuh melalui upaya untuk menciptakan dan mendorong iklim usaha yang sehat dan tangguh serta mendorong tumbuhnya sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dalam konteks yang demikian, maka terlihatlah, bahwa segala  upaya  memberikan perlindungan  terhadap konsumen tentunya tidak dimaksudkan  untuk mematikan usaha  dari pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, upaya-upaya tersebut diharapkan juga dapat men-dorong terciptanya iklim  berusaha  yang sehat, yakni yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan  barang  dan/atau jasa  yang  berkualitas. Dengan strategi yang disebutkan di atas, pembentuk undang-undang mengharapkan akan tercipta keseimbangan perlindungan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha.
Selanjutnya untuk dapat menunjang strategi yang telah dipilih sebagaimana terurai diatas, maka pembentuk                    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan beberapa asas (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan tujuan dari perlindungan konsumen (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) serta menetapkan secara tegas apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen (Pasal 4 dan 5                    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) pelaku usaha (Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).  Keempat hal inilah, yang selanjutnya diharapkan dapat menjadi mediator sekaligus penyaring dari berbagai norma yang berfungsi untuk merestrukturisasi lembaga-lembaga dan  pranata-pranata hukum dan ekonomi yang telah ada, maupun merekonstruksi  pola-pola hubungan  yang  terjadi baik antara konsumen dan pelaku usaha.
Lalu, apa sajakah yang ditetapkan oleh pembentuk                    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ke dalam wujud norma-norma hukum yang konkrit dan operasional, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya melalui strategi yang telah dipilinya tersebut.
Apabila dilihat dari substansi-substansi dari norma hukum yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapatlah diketahui, bahwa untuk mendukung itu semua, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen             tersebut telah ditetapkan berbagai perbuatan dari pelaku usaha,  baik  bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan produksi, kegiatan perdagangan, maupun ketika mereka melakukan                        kegiatan-kegiatan menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan produknya.  (Pasal 9 s/d 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).  Selain daripada itu ditetapkan pula hal-hal yang berkaitan dengan pencantuman klausula baku (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Di  samping upaya-upaya yang berkaitan dengan pengaturan tentang perilakunya,  sebagai bagian integral dari upaya melindungi konsumen, undang-undang tersebut, disamping mengakui keberadaan LSM (yang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, lihat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), juga menciptakan dan menyempurnakan berbagai macam lembaga, baik yang difungsikan untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen (yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional, lihat Pasal 31 s/d 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), maupun lembaga-lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha, baik yang bersifat non-litigasi (yang didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) maupun yang bersifat litigasi (Pasal 45 s/d 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Selain daripada itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini juga memberikan hak dan tanggung jawab kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan konsumen (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) serta memberikan kewenangan kepada pemerintah, masyarakat, serta lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Agar berbagai norma tersebut dapat dipatuhi, maka untuk selanjtnya di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, ditetapkan berbagai macam sanksi yang dapat ditetapkan kepada konsumen dan pelaku usaha yang melanggar norma-norma yang telah ditetapakn, baik sanksi-sanksi keperdataan (Pasal 19 s/d 21,                  23 s/d 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) , sanksi-sanksi administratif (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), maupun sanksi-sanksi pidana ( Pasal 22, 61 s/d 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
Demikianlah penetapan tujuan, strategi dan penetapan norma serta sanksi yang oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat merestrukturisasi lembaga-lembaga dan  pranata-pranata hukum dan ekonomi yang telah ada maupun merekonstruksi  pola-pola hubungan  yang  terjadi baik antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk/jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh produsen. Dalam hal ini tentu tidak cukup, bila konsumen tampil satu kali saja pada saat bisnis dimulai. supaya bisnis berkesinambungan, perlulah konsumen yang secara teratur memakai serta membeli produk/jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan.
the customer is king” sebenarnya tidak merupakan slogan saja yang dimaksud sebanyak mungkin pembeli. ungkapan ini menunjukkan tugas pokok bagi perodusen/penyedia jasa: mengupayakan kepuasan konsumen. Pelanggan adalah raja dalam arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan produsen. Tidak mengherankan, kalau peranan sentral pelanggan atau konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisa didefinisikan secara tepat sebagai “too creat a customer”
Bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak saja merupakan tuntutan etis, melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis. Sebagaimana halnya dengan banyak topik etika bisnis lainnya, disini pun berlaku bahwa etika dalam praktek bisnis sejalan dengan kesuksesan bisnis. Perhatian untuk etika dalam hubungan dengan konsumen, harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi etis dari relasi Pelaku usaha dan konsumen itu mendesak, karena posisi konsumen sering kali agak lemah. Walaupun konsumen digelari raja, pada kenyataannya “kuasanya” sangat terbatas karena berbagai alasan. Dalam konteks modern si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen. Karena bisnis itu mempunyai kewakjiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari kerugian baginya.
Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal ini terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.[1]
Berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis akan menguraikan keterkaitan hubungan antara Persaingan Usaha, Kontrak dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di dalam Perlindungan Konsumen.

B.    PEMBAHASAN
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau intelectual property right telah cukup kental di pikiran kita. HAKI memang bukan barang baru di Indonesia ini, terlebih dengan semakin berkembangnya dunia teknologi informasi dan industri kreatif diIndonesia. HAKI yang pada umumnya terkait dengan hak paten, hak cipta, dan merek dagang ini memberikan hak tertentu kepada pemegangnya untuk waktu tertentu mengecualikan pihak lain dalam memperoleh manfaat dari produk atau jasa tersebut. Perlindungan atas HAKI memang diakui penting dalam meningkatkan inovasi dan pada akhirnya menunjang pertumbuhan ekonomi. Dapat dibayangkan, apa jadinya negara           ini kalau insentif untuk melakukan inovasi tidak diperhatikan. Bisa-bisa semua produk atau jasa yang ada di tanah air kita ini berasal dari negara lain.
HAKI dari sisi persaingan usaha dapat memberikan kekuatan pasar kepada pemegang hak untuk menentukan kepada siapa dia dapat menjual produk atau jasa kreatifnya. Kekuatan pasar tersebut dapat disalahgunakan apabila tidak terdapat teknologi atau produk serupa yang dapat menjadi subtitusi. Akibatnya, dapat terjadi inefisiensi dimana pemilik hak akan membatasi penjualan untuk mengurangi tingkat persaingan di pasar dan memaksimalisasi keuntungan mereka. Dari sisi persaingan usaha juga dapat ditemukan fenomena bahwa perilaku monopolistik tersebut dapat diperkenankan apabila hanya dilakukan pada jangwa pendek dan tetap dapat dibuktikan memberikan manfaat jangka panjang yang optimal bagi kesejahteraan rakyat. Dualisme pemikiran inilah yang membuat isu mengenai HAKI menjadi menarik untuk ditelaah.
Dua sisi pedang yang dimiliki HAKI ini sebenarnya telah mendapat perhatian dunia, khususnya dalam mempertimbangan sejauh mana perlindungan atas HAKI dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perhatian tersebut diterjemahkan dalam perjanjian aspek-aspek dagang dari HAKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights atau TRIPS) yang dinegosiasikan dalam Putaran Uruguay (Uruguay Round). Perjanjian tersebut memperkenalkan adanya standar minimal atas perlindungan dan penegakan hukum bagi HAKI dalam sistem perdagangan internasional (cross boarder) dan bersifat mengikat kepada seluruh negara anggota. Peranan kebijakan persaingan atas HAKI dalam TRIPS juga dinyatakan spesifik. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa negara anggota diperkenankan mengadopsi berbagai cara pencegahan atau pengendalian praktek persaingan usaha tidak sehat dalam HAKI berdasarkan hukum di negara bersangkutan.
Penyalahgunaan HAKI secara umum dapat dibedakan pada sifat perjanjiannya, yaitu horizontal dan vertikal. Secara horizontal, penyalahgunaan terjadi dalam bentuk adanya koordinasi antar pesaing yang berdampak pada persaingan dan kesejahteraan rakyat. Bentuk perilaku tersebut dapat berupa kondisi dimana pemegang HAKI melakukan perjanjian dengan pemegang HAKI lainnya dengan tujuan menetapkan harga yang disepakati bersama atas produk atau jasa yang terkait dengan teknologi barang yang mereka miliki. Kerjasama tersebut bisa dilakukan secara sendiri ataupun melalui pembentukan suatu usaha patungan (joint venture). Sedangkan secara vertikal, perjanjian terjadi dalam hal pemegang HAKI bekerjasama dengan perusahaan pengguna produk HAKI tersebut (sebagai barang input). Penyalahgunaan tersebut umumnya dilakukan dengan cara penetapan harga bersama dengan tujuan mengurangi biaya transaksi di antara mereka.
Secara khusus, berbagai perilaku penyalahgunaan HAKI tersebut dapat berupa pembagian wilayah, perjanjian eksklusif, penjualan bersyarat (tying), dan penolakan pemberian lisensi (refusal to license). Pembagian wilayah dilakukan apabila pembagian pasar menjadi beberapa wilayah dan membatasi perdagangan dimungkinkan, maka pemegang HAKI cenderung akan memilih untuk menunjuk satu pemegang izin tertentu untuk pada wilayah-wilayah tertentu. Perjanjian ekslusif sering digunakan untuk mencegah pemegang HAKI untuk memproduksi produk yang menggunakan teknologi yang dimiliki pesaingnya. Dalam perjanjian ini, umumnya retalier tidak diperkenankan menjual produk pesaing. Hal ini ditujukan untuk mencegah adanya free rider memanfaatkan persaingan tersebut dan untuk mengembangkan hubungan teknologi antara pemegang dan pemberi HAKI. Penjualan bersyarat juga kerap digunakan dalam mewajibkan konsumen untuk menggunakan penyedia barang terkait dengan berlindung pada alasan mempertahankan kualitas produk yang dimilikinya.
Namun demikian, berbagai perilaku yang dilakukan pemegang HAKI seringkali juga bermanfaat bagi pemegang hak sekaligus meningkatkan kompetisi di pasar jika perilaku tersebut dilakukan secara benar. Misalnya, pembatasan wilayah pemasaran dan perjanjian ekslusif yang dapat mengamankan keuntungan dengan membatasi dan mendorong persaingan dalam merek yang sama (intrabrand competition) serta memberikan harga yang berbeda antar wilayah geografis berdasarkan karakter konsumen terkait. Bahan penjualan bersyarat dapat digunakan untuk meningkatkan output dengan menetapkan harga berdasarkan karakter konsumen yang berbeda (misalnya harga yang lebih rendah bagi konsumen baru). Penggunaan royalti juga dapat mendorong efisiensi dengan cara menetapkan besaran royalti berdasarkan output total yang dihasilkan. Memperhatikan dua sisi perilaku positif dan negatif dari HAKI inilah yang seringkali membuat hubungan antara penggunaan HAKI dengan penerapan hukum persaingan menjadi sangat rumit dan membutuhkan pertimbangan ekonomis yang lebih matang.
HAKI memiliki peranan yang vital dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan konsumen dan adalah hal yang penting untuk melindungi insentif untuk menciptakan dan meningkatkan HAKI. Hubungan antara HAKI dan hukum persaingan memiliki hubungan yang kompleks karena pemegang HAKI dapat melakukan perilaku yang anti kompetisi dalam memperoleh kekuatan pasar yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatan pasar yang secara otomatis mereka miliki               begitu mereka memperoleh hak khusus tersebut. Penggunaan hukum persaingan yang tepat dapat mengatasi permasalahan tersebut tanpa menginjak legitimasi atas perlindungan HAKI. Kepentingan pemegang HAKI, produsen, dan konsumen akan diuntungkan melalui suatu pasar yang kompetitif dan diwarnai dengan kemudahan akses, transparansi, proses negosiasi jual beli lisensi tepat, praktek HAKI yang efisien, dan penegakan hukum yang tepat. Kombinasi yang tepat diantara keduanya akan menciptakan suatu standar yang optimal dalam melindungi kepentingan pemegang HAKI dan melindungi kesejahteraan rakyat.
Terhadap perlindungan konsumen  dari pelaku usaha dalam hal  penyusunan Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku diistilahkan secara beragam dalam bahasa Inggeris dengan standardized contract, standard contract atau contract of adhesion. Pada awal dimulainya sistem perjanjian, kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat penting. Namun berhubung              aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, para pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak              menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau perjanjian baku.
Dengan cara yang praktis ini, pihak pemberi kontrak                      standar sering kali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya              dan bahkan mengambil kesempatan di kala lawan perjanjian   tidak berkesempatan membaca isinya secara detil atau                      tidak terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha dan konsumen,                    maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen                atau pelaku usaha. Perdagangan modern ditandai                  dengan kontrak standar yang berlaku secara massal,                 perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan                   yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak                          yang dibuat oleh produsen.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan sebagai berikut :
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan              syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan                     terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a.   menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan palaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)  Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan
Ayat (1)
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”.
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau pernjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a), seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang pemproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.  Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menurut kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.
          Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari larangan klasula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.
                   Larangan dalam huruf d dari Pasal 18 ayat (1)             Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah tepat. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
                   Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1)                Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.
         Khusus menyangkut larangan dalam Pasal 18 ayat (1)             huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dimengerti bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan.
         Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang.
Dalam hal melakukan produksi pelaku usaha harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, Pelaku usaha maupun konsumen masing–masing mempunyai tanggung jawab.
Untuk mendasarkan tanggung jawab pelaku usaha, telah dikemukakan 3 teori yang mendukung nuansa yang berbeda: teori kontrak, teori perhatian semestinya dan teori biaya sosial.
1.   Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi               kuno yang berbunyi caveat emptor “hendaknya si pembeli berhati–hati”. Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, Konsumen harus membaca dengan teliti seluruh teksnya termasuk huruf–huruf terkecil sekalipun, serta konsumen dengan hati–hati harus mempelajari keadaan produk serta ciri–cirinya. Sebelum dengan membayar ia menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual memperoleh dasarnya dari situ.
Tetapi tidak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen dan konsumen, selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak. Karena itu pandangan kontrak dari beberapa segi tidak memuaskan juga terutama ada 3 (tiga) keberatan berikut terhadap pandangan ini.
  1. Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara pelaku usaha dan konsumen.
  2. Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen. Padahal konsumen pada kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan pelaku usaha.
  3. Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik. Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlanjur menyetujui kontrak jual beli. Padahal disitu tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat aman dan sebagainya. Bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual beli hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen terlaksana.
2.   Teori perhatian semestinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsumen danpelaku usaha, melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu tekanannya bukan dari segi hukum saja, melainkan dalam etika dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.
3.   Teori biaya sosial
Teori biaya sosial merupakan versi yang paling ekstrim dari semboyan caveat venditor. walaupun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen, rupanya sulit juga mempertahankan. Kritik yang dikemukakan dalam teori ini, bisa disingkatkan sebagai berikut: teori biaya sosial tampaknya kurang adil, karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal–hal yang tidak diketahui atau tidak dihindarkan. Menurut keadaan kompensatoris orang yang bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya.
Dalam menjamin keamanan produk, Pelaku usaha mempunyai kewajiban terhadap konsumen. Disini Penulis membahas tiga kewajiban moral lain yang masing–masing berkaitan dengan kualitas produk, harganya, dan pemberian label serta pengemasan.
  1. Kualitas produk
Dengan kualitas produk, disini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan pelaku usaha dan apa yang secara wajar boleh diharapkan konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang berkualitas, misalnya produk yang tidak kadaluwarsa (bila ada batas waktu seperti obat obatan atau makanan).
  1. Harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor–faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas , sepintas lalu rupanya harga yang adil                adalah hasil akhir dari perkembangan daya pasar. Kesan spontan adalah bahwa harga yang adil dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana dilakukan dipasar tradisional, dimana si pembeli sampai pada maksimum harga yang              mau ia bayar dan si penjual sampai pada minimum harga yang mau dipasang . transaksi itu terjadi bila maksimum dan minimum itu bertemu.
  1. Pengemasan dan pemberiaan label
Pengemasan dan label dapat menimbulkan masalah etis. Dalam konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar. Informasi yang kurang benar atau tidak pasti bukan saja merugikan konsumen tetapi pihak lain juga. Disini contoh yang jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu di amerika serikat tentang kemungkinan kelapa sawit bisa meningkatkan kadar kolestrol dalam darah. Kalau hal itu disampaikan sebagai informasi yang benar, sedangkan pada kenyataannya belum terbukti, negara kelapa sawit sangat dirugikan dan penyiaran informasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair.
C.    PENUTUP
1.   Kesimpulan
a.    HAKI dari sisi persaingan usaha dapat memberikan kekuatan pasar kepada pemegang hak untuk menentukan kepada siapa dia dapat menjual produk atau jasa kreatifnya sekaligus meningkatkan kompetisi di pasar jika perilaku tersebut dilakukan secara benar
b.   Dalam hal melakukan produksi pelaku usaha harus menjamin bahwa produknya pada saat pembelian dalam keadaan prima sehingga biasa dipakai dengan aman. Jadi, terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai, Pelaku usaha maupun konsumen masing–masing mempunyai tanggung jawab
c.    Terhadap perlindungan konsumen  dari pelaku usaha dalam hal  penyusunan Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku yang mana kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat penting.
2.   Saran
Masalah etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam hal ini konsumen sendiri tidak berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen sendiri juga mempunyai tranggung jawab. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap kritis dalam menilai produk yang akan dibeli dan dikonsumsi itulah kebenaran yang terkandung dalam pepatah kuno caveat emptor (hendaknya si pembeli berhati – hati).










[1] Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta, 2008, hal.29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar