Salah satu bahasa daerah yang cukup beruntung adalah bahasa Makassar
(Bugis). Dikatakan cukup beruntung karena bahasa daerah ini memiliki
aksara yang dapat merekam atau mencatat nilai-nilai luhur (indigeneous
knowledge) yang disebut pasang 'pesan-pesan'; panngadakkang (Makassar)
atau panngaderreng (Bugis) "adat istiadat".
Hasil catatan atau manuskrip tersebut disebut lontarak. Aksara Makassar
(Bugis) digunakan mencatat manuskrip-manuskrip dikenal dengan sebutan
aksara lontarak. Selain itu, dijumpai pula manuskrip yang ditulis dalam
aksara yang dikenal dengan aksara serang.
Aksara lontarak merupakan lambang identitas daerah dan alat transformasi
nilai-niiai luhur yang sangat berharga (indigenous knowledge). Aksara
lontarak adalah salah satu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai objek wisata budaya daerah. Selain itu, dapat
menjadi aset dan sumber pengembangan budaya nasional.
Selanjutnya, sebagai aset kekayaan budaya, tentu saja, perlu diketahui
mengapa dinamai aksara lontarak; dari mana asal usulnya; dan niiai
budaya yang terkandung di dalam lontarak tersebut. Untuk itu, makalah
ini berusaha mengungkapkan hal tersebut seperti dalam uraian berikut.
Pembahasan
1. Mengapa Dinamai Aksara Lontarak?
Dari hasil kajian pustaka diperoleh informasi bahwa naskah kuno Makassar
(Bugis) ada yang ditulis dengan aksara lontarak dan ada yang ditulis
dengan aksara serang. Dinamai aksara lontarak karena memang dulu
peristiwa-peristiwa ditulis pada daun lontar. Frasa daun lontar sepadan
dengan raung = daun dan talak = lontar menjadi rauttalak atau rontalak
dalam bahasa Makassar (dari bahasa Jawa atau bahasa Melayu). Kata
rontalak mengalami proses metatesis menjadi lontarak (Basang, 1972: 10;
Abidin, 1983: 109; Pelras, 2006: 232), Dalam bahasa Makassar sehari-hari
dikenal dengan sebutan lekok talak.
Selanjutnya, disebut pula sebagai aksara serang (huruf Arab) karena
kesusasteraan Makassar (Bugis) ditulis dalam aksara Arab sebagai
pengaruh dari agama Islam dan kesusasteraan Islam yang datang ke
Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17 (Mattulada, 1991b: 69).
Beliau menduga kata serang itu berasal dan kata Seram (Palau Seram).
Dahulu orang Makassar (Bugis) selalu berhubungan dengan orang Seram yang
Iebih dulu rnenerima agama Islam.
2. Arti Lontarak
Dalam perkembangan selanjutnya, kata lontarak dapat mengandung arti
bermacam-macam sesuai dengan konteks kalimatnya. Manyambeang (1996: 32)
merincinya sebagai berikut.
a. Lontarak dapat berarti aksara, seperti dalam kalimat:
Appilajaraki lontarak.
belajar dia lontarak
(dia belajar huruf lontarak)
b. Lontarak dapat berarti naskah, seperti dalam kalimat;
Ciniki ri lontaraka.
'Lihat isi di lontarak' (lihatlah di lontarak)
c. Lontarak dapat berarti buku bacaan, seperti dalam kalimat,
laminne lontarakna I Kukang.
'inilah buku bacaan i Kukang'
(inilah buku bacaan (yang berjudul) i Kukang).
d. Lontarak dapat berarti catatan, seperti dalam kalimat:
Boyai ri lontarak bilanga.
`carilah pada lontarak bilang' (Carilah pada catatan harian)
3. Asal Usul Aksara Lontarak Makassar
Dari hasil penelusuran pustaka yang tersedia dijumpai beberapa pendapat
tentang perkembangan aksara Makassar (Bugis). Pendapat-pendapat tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pendapat H. Kern.
H. Kern (1882) berpendapat bahwa aksara Makassar (Bugis) bersumber dan
huruf Sanskrit yang disebut Dewanagari. Aksara Dewanagari dapat dilihat
sebagai berikut .
b. Dalam
Kamus Linguistik susunan Kridalaksana (1982: xx) ditunjukkan silsilah aksara yang penting, seperti berikut.
Menggambarkan Aksara Palawa sebagai berikut :
c.
Pendapat Matthes dan Raffles.
Holle (1882) mengutip bentuk aksara yang dikemukakan oleh Matthes dan' Raffles, sebagai berikut :
1. Bentuk yang dikemukakan Matthes :
2. Bentuk yang dikemukakan Raffles :
Bentuk aksara yang dikemukakan, baik Matthes maupun Raffles biasa juga
disebut lontarak kuno atau het oude Makassaarche letterschrift (Mangemba
dan Tenribali (Ed.), 1966: 49). Bentuk lontarak kuno dan lontarak baru
dapat dikatakan jauh berbeda sehingga perlu dipertanyakan apakah
lontarak kuno yang mengalami proses perubahan menjadi lontarak yang
digunakan sekarang.
d.
Pendapat Ahli Kebudayaan Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan.
Mattulada (dalam Manyambeang, 1996: 29) merasa yakin bahwa aksara Bugis
Makassar berasal dan aksara Dewanagari yang diperbaharui oleh Daeng
Pamatte (syahbandar kerajaan Gowa). Sejalan dengan pendapat itu, Basang
(1972: 11) mengemukakan beberapa persamaan aksara Dewanegari dengan
aksara Makassar, yaitu keduanya huruf silabis; keduanya menggunakan alat
bantu untuk menyatakan bunyi /i, e, o, dan u/; keduanya ditulis dari
kiri ke kanan. Adapun Yatim (1983: 5) memperhatikan susunan abjadnya.
Dia mengakui bahwa pengaturan abjad lontarak telah sampai kepada
kesadaran linguistik yang amat maju dan amat mirip dengan pengaturan
abjad Sanskerta, yang membedakan hanya bentuknya.
Selanjutnya, Mattulada (1991a: 68-9) menjelaskan bahwa terdapat anggapan
di kalangan orang Makassar (Bugis) berkaitan dengan penciptaan
tanda-tanda bunyi yang kemudian disebut aksara lontarak dilatarbelakangi
oleh suatu kepercayaan yang berpangkal pada mitologis orang Makassar
(Bugis) yang memandang alam semesta ini sebagai bolasuji (Bugis) atau
"sulapak appak" (Makassar) yang berarti `segi empat belah ketupat'.
Sarwa alam ini merupakan satu kesatuan yang dinyatakan dalam simbol S =
sa yang berarti seua (tunggal atau esa). Demikian pula segala tanda
bunyi dalam aksara lontarak bersumber dari s = sa (Museum Nasional,
10/MP/NAS/76: 21; Mattulada, 1991: 4-85).
Simbol “s” ini menyimbolkan mikrokosmos sulapa eppana taue "segi empat
tubuh manusia'. Bagian puncak terletak kepala, tangan kiri, tangan
kanan; dan bagian ujung bawah adalah kaki. Simbol S itu merupakan
pengejawantahan pada bagian kepala yang disebut sawwang (SW) berarti
mulut. Dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan yang disebut sadda (sd)
berarti bunyi. Bunyi-bunyi itu disusun sehingga bermakna yang disebut
ada (ad) berarti kata, sabda atau titah.
Segala sesuatu yang meliputi keseluruhan tertib kosmos/sarwa alam diatur
melalui ada (ad). Dengan penambahan artikel definit E menjadi ada'e
(adea) yang menjadi pangkal kata adek (adEE). Adek adalah sabda
(penertib) yang meliputi sarwa alam (5) sehingga disebut dalam kata-kata
hikmat pasang sebagai berikut.
sd mpbti adE adE mpbti gau gau mpbti tau
sadda mappabbatik ada ada mappabbatik gauk
gauk mappabbatik tau
Artinya:
Bunyi mewujudkan kata
Kata mewujudkan perbuatan
Pperbuatan mewujudkan manusia
Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang biasa disebut urupu sulapak appak seperti berikut.
Pendapat lain yang bersumber dari Lontarak Patturioloanga ri Tugowaya,
seperti yang disinyalir (Manyambaeng, 1996; Basang, 1972) yang berbunyi
sebagai berikut.
aiyp aen krea auru aperki rp bicr timu timu ri buduk.
sbnrn mien kreaG nikn dea pmet. aiy sbnr, ay tumaill, aiytomi dea pmet aperki Iotr mksr.
...iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka.
sabannarakna minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannarak, la
Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontarak Mangkasarak.
(.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang.
Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia
juga Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat lontarak
Makassar)
.
Dalam lontarak di atas terdapat kata ampareki yang dapat berarti
`membuat atau menciptakan', `menjadikan atau menyederhanakan'. Jadi,
apabila kata ampareki diartikan menciptakan/membuat, dapatlah diartikan
membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat
diasumsikan bahwa aksara Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte
yang diilhami oleh pandangan hidup orang Makassar (Bugis) sendiri,
yaitu sulapak appak.
Sebaliknya, jika kata ampareki diartikan `menyederhanakan atau
memodifikasi', dapat diasumsikan bahwa Daeng Pamatte menyederhanakan
atau memodifikasi dari bentuk aksara yang sudah ada sebelumnya (aksara
Sanskrit/Dewanagari, huruf Pallawa, dan bentuk aksara yang dikemukakan
Matthes atau Raffles) menjadi aksara lontarak baru yang ada sekarang.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern (dalam
Manyambeang 1996: 3) beranggapan bahwa lontarak di Sulawesi Selatan ada
persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti aksara Lampung,
Rejang, Batak, dan Pasemah. Berdasarkan informasi ini dapat diasumsikan
bahwa ada kemungkinan aksara Makassar baru merupakan hasil
penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh
Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, aksara Batak, aksara
Makassar, dan aksara rencong hampir serupa. Bahkan kadang-kadang agak
sulit dibedakan ketiga bentuk aksara tersebut.
Di dalam buku Sejarah Melayu disebutkan tentang peperangan raja
Mangkasara yang bernama Samarluki (Saman Rukka) ke Malaka dan daerah
jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada
masa pemerintahan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia
dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, ia berhasil membawa harta
rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang (Brown dalam Reid,
2004: 147; Museum nasional, 10/MP/NAS/76: 24).
Tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat
orang-orang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dari
merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya,
mereka meniru atau menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud
tulisan Makassar sekarang.
e.
Nilai Budaya dalam Lontarak: Perspektif Antropolinguistik
Sistem nilai atau nilai-nilai dalam masyarakat merupakan suatu konsep
abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang balk. Pepper (dalam
Djajasudarma 1997: 12) menjelaskan bahwa batasan nilai mengacu pada
minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan,
hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi seleksinya.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut
sebagai nilai. Nilai budaya ini diasosiasikan secara turun-temurun dari
generasi yang satu ke generasi yang lain. la dianggap sebagai pedoman
manusia dalam bertingkah laku dalam sistem sosialnya. Jadi, sistem nilai
dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat.
Djajasudarma. dkk. (1997: 13) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu
kuat, meresap, dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit
diganti atau diubah dalam waktu singkat. Berkaitan dengan hal tersebut,
Sumardjo (dalam Oktavianus 2006: 117) menyatakan sebagai berikut:
Filsafat orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di batik
pepatah-petitih, di batik rumah-rumah adat, di batik upacara-upacara
adat, di batik mitos-mitos tua, di balik ragam hias pakaian yang mereka
kenakan, di batik tarian mereka, di balik musik yang mereka mainkan, di
balik persenjataan, dan balik sistem pengaturan sosialnya.
Dari pernyataan di atas, bahasa melalui pepatah-petitih merupakan medium
untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai
(value). Peribahasa merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya
(Dundes dan Arewa dalam Oktavianus, 2006: 117). Sepadan dengan pendapat
itu, Duranti (1997: 25; Foley, 1997: 16) menjelaskan bahwa bahasa
mengategorisasi realitas budaya.
Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk
menelusuri praktek-praktek budaya dalam suatu masyarakat. Model-model
budaya yang dimaksud di sini mencakup mentalitas kerja, sikap, perilaku,
etika, dan moral. Berikut ini diberikan beberapa contoh pepatah atau
kelong yang mengandung model budaya yang dimaksud.
•
Motivasi Berusaha dan Bekerja
Untuk memenuhi kebutuhannya manusia diisyaratkan rajin berusaha. Kelong
berikut mengandung makna yang mencerminkan motivasi berusaha sebagai
salah satu praktek budaya dan paling tidak merupakan cerminan realitas
sebagaimana dijelaskan Duranti di atas.
puun kutuai tauw punna kuttui taua
neta sulu soGon natea suluk songokna
tean todo taena todong
titi soGo Inty titti songok la natayang.
Terjemahan: Kalau orang malas
Tidak mau keluar keringatnya Tidak ada juga
Tetes keringat yang ditunggu.
Kelong di atas mencerminkan bahwa kalau orang malas bekerja, tentu saja,
tidak ada hasil yang akan diperoleh. Kelong ini sepadan dengan ungkapan
dalam bahasa Indonesia "Siapa yang menanam, dia akan menuai".
•
Rasa Solidaritas
Solidaritas merupakan integrasi sosial yang didasarkan kepada
interdependensi okupansional, persamaan-persamaan, dan bahkan juga pada
perbedaan-perbedaan komplementer (Soekanto dalam Oktavinus, 2006: 119).
Integrasi sosial dapat diartikan sebagai kesetiakawanan, kebersamaan,
dan kekompakan dalam menghadapi suka duka.
meaki kismturu maekik kissamaturuk
kiemet bulo sibt kirnmenteng bulo sibatang
nmtumtu nakmatu.-matu
bett aGod del baieta anngondang dallek
Terjemahan: Mari kita bersama-sama Berdiri sebatang bamboo
Supaya berguna
Cara kita mencari rezki.
Kelong tersebut mencerminkan bahwa dalam mengerjakan suatu pekerjaan,
sebaiknya kita mengadakan kerja sama dengan orang lain agar pekerjaan
itu cepat selesai dan berhasil.
•
Etika, Moral, dan Sopan Santun
Etika falsafah atau hukum membedakan hal yang baik dan yang buruk dalam
kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran baik buruknya tingkah
laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri, dan kedisiplinan
tindakan (Dreyer dalam Oktavianus, 2006: 124). Adapun kesopanan yang
terkandung dalam bahasa mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa
atau tingginya martabat seseorang (Poedjosoedarmo, 2001: 186). Hal
tersebut dapat dilihat dalam ungkapan berikut.
nikny sulp apn tauw aiymitu niy sirin niy pecn niy pGlin n niy
pGdkn nikanaya sulapak appakna tau, iamintu niak sirikna,
niak paccena.
niak panngalikna, na niak panngadakkanna.
Terjemahan: Yang disebut kesegiempatan manusia ialah manusia yang
memiliki harga diri, memiliki rasa kesetiakawanan, menghargai orang
lain, dan memiliki sifat sopan santun.
Dalam ungkapan di atas tercermin konsep sipakatau `sating menghargai',
konsep sirik 'harga diri', konsep pacce 'kesetiakawanan', konsep
panngalik 'perasaan hormat', dan konsep panngadakkang
'adat-istiadat/sopan santun'. Konsep sipakatau `sating rnenghargai'
menjadi inti atau pangkal dalam interaksi sosial sesuai dengan
nilai-nilai positif yang ada dalam budaya Makassar.
Konsep sink `harga diri adalah suasana hati dalam masyarakat, bukan
semata-mata sebagai "pertahanan martabat diri" yang ditimbulkan secara
emosional dari simultan nilai-nilai khusus. Konsep pacce `solidaritas'
adalah iba hati melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau
tekanan batin atas perbuatan orang lain atau sejenisnya.
Kedua konsep ini merupakan sikap moral yang menjaga stabilitas dan
berdimensi harmonis agar tatanan sosial atau adat istiadat berjalan
secara dinamis (Hamid, 2003: xii). Konsep panngalik 'perasaan hormat
adalan rasa hormat kepada seseorang atau sesuatu yang dianggap bersih
dalam arti luas.
Konsep panngadakkang 'adat-istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial
dalam masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat (Wahid,
1992: 89). Jika seseorang berhasrat akan melakukan sesuatu, segala
rencana terpuiang pada adat.
Adatlah yang merupakan penentu patut tidaknya sesuatu yang akan
dilakukan. Keputusan yang diputuskan sesuai dengan proses adat, maka
semua pihak dapat menerimanya, sebagaimana terungkap dalam ungkapan
"punna panngadakkang taena erokku, taena kulleku" `jika sudah menyakut
ketentuan yang sudah diadatkan, tidak berlaku kemampuanku'.
Penutup
Lontarak merupakan lambang identitas daerah, mengandung nilai-nilai
luhur yang sangat berharga. Lontarak merupakan salah satu aset kekayaan
budaya daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata
budaya.
Berkaitan dengan asal usul lontarak Makassar terdapat beberapa pendapat
yang berbeda. Oleh krena itu, disarankan perlu kajian yang lebih akurat
sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
• Abidin. Zainal. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum. Negata dan Dunia luar. Bandung: Penerbit Alumni.
• Basang, Djirong. 1972. Fonemik Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Lembaga Bahasa Nasional Cabang 111
• Djajasudarma T. Fatimah, dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan
Peribahasa Sunda. Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.
• Duranti, Aessaridro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
• Foley, Wilham A. 1997. Anthropology Linguistics: An Introduction. New York: Blackwell.
• Hamid, Abu. 2003. "Sid' Butuh Revitalisasi'. Dalam Mustafa.
dkk.,.(Eu.) Sini dan Passe: Harga Did Orang Bugis. Makassar, Mandar dan
Toraja. Makassar: Pustaka Refleks.
• Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamaus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
• Maknun, Tadjuddin, 1991. "Beberapa Catatan tentang Perkembangan Aksara
Makassar". Makalah Disajikan pada Seminar Sehari dalam Rangka Dies
Natalis ke-32 Fak. Sastra Unhas, 9-11-1991.
• 2007. "Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk Memudahkan Pemahaman
Kandungan Lontarak". Makalah Disajikan pada Kongres Internasional
Bahasa-bahasa Daerah se-Sulawesi Selatan pada 22-25 Juli 2007 di Hotel
Clarion Makassar.
• Manyambeang, Kadir. 1996. "Lontaraq Riwayaqna tuanta salamaka ri Gowa:
Suatu Analisis Linguistik Filologis". Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
• Mattulada. 1991a. "Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di
Sulawesi. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia No. 43 Th. XV
Januari-April 1991.
• 1991b. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
• Museum Nasional. 1976. "Mengenal Aneka Ragam Tulisan Daerah di
Indonesia". Jakarta: Direktorat Museum, Ditjen Kebudayaan Depdikbud No.
10/MP/NAS/76.
• Oktavianus. 2006. "Nilai Budaya dalam ungkapan Minangkabau: Sebuah
Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik". Jurnal Linguistik
Indonesia Tahun ke-24, Nomor 1. Jakarta: MLI bekerja sama dengan Obor
Indonesia.
• Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
• Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
• Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
• Wahid, Sugira. 1992. "Metafora Bahasa Makassar". Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
• Yatim, Nurdin. 1983. "Subsistem Honorofik Bahasa Makassar: Sebuah
Analisis Sosiolinguistik". Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,. Direktorat Pembinaan Penelitian,
dan Pengembangan dalam Masyarakat.
Lebih lengkapnya dapat anda simak di :
http://www.scribd.com/doc/33628335/Aksara-Lontara-Kebudayaan-Asli-Sulawesi-Selatan ..
Dibawakan oleh Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. (sumber http://www.wacananusantara.org/content/view/category/99/id/527)