Dalam perjalanan ke Bali beberapa hari yang lalu,
seorang teman berceritera tentang seorang teman lainnya. Teman yang menjadi
objek cerita (gossip?) ini adalah seorang janda cerai. Pada saat masih rukun
dengan suaminya mereka tinggal serumah dengan beberapa orang anak tirinya.
Begitu bercerai, suaminya meninggalkan rumahnya, akan tetapi anak-anak tirinya
masih tetap tinggal dengannya. Rupanya anak tiri ini diperlakukan sangat baik
olehnya sehingga “memihak” kepadanya. Pada setiap perjalanan, sang ibu tiri ini
selalu membawakan ole-ole terbaik untuk para anak tirinya. Kami peserta gosib
berkesimpulan bahwa sang ibu tiri ini berhati mulia kepada para anak tirinya.
Di kalangan masyarakat yang tinggal di Tana Towa
Kajang oleh Pemuka Adat yang diberi gelar Amma Towa dikenal prinsip “Tallasak
kamase-masea” yang artinya hidup sederhana. Pasang itu kurang lebih dapat
diterjemahkan sebagai berikut: Seandainya Tana Towa ini ditakdirkan kaya raya
maka yang terkahir kaya adalah Amma Towa. Namun, seandainya Tana Towa
ditakdirkan jatuh miskin maka yang paling pertama miskin adalah Amma Towa.
Prinsip yang ada dalam “Pasang” ini betul-betul
diimplemenastikan oleh Amma Towa sebagai pemimpin. Kalau sebagian rumah
masyarakat biasa terbuat dari kayu maka rumah Amma Towa terbuat dari bambu,
kualitas yang lebih rendah daripada rumah kayu. Sikap Amma Towa sebagi pemimpin
betul-betul berhati mulia sehingga masyarakatnya mematuhi segala titah yang
turun temurun dalam bentuk “pasang”.
Saya masih ingat betapa seorang yang masih terhitung
“dato’” saya begitu berhati mulia membagikan sebagian besar hasil panennya
kepada para tetangganya yang dianggapnya sangat kekurangan. Pada hal beliau
sendiri tidak jauh lebih kaya dari mereka itu. Beliau adalah Karaeng Muang
Daengta Batu-Batu. Saya bertanya, apa yang akan dato’ makan nanti, karena
persediaan padi yang ada tidak mungkin menutupi kebutuhan untuk sampai pada
panen berikutnya? Beliau dengan enteng menjawab: rezeki di tangan Allah, cucu!
Beliau memang tepat untuk menyandang gelar “Karaeng” yang berhati Mulia”.
Almarhum I Larigau Daeng Manginruru Karaeng Ajjia
Karaeng Galesong, sengaja mengumpulkan anak-anak yatim dan orang tidak mampu
untuk tinggal bersama dalam istana “Ballak Lompoa ri Galesong”, dan menyantuni
mereka, mendidik dan menyekolahkannya. Perilaku almarhum yang makan bersama
dengan anak-anak binaannya yang dengan sukarela membagi sajian makanan kesukaan
yang ada dihadapannya kepada anak-anak binaan beliau. Perilaku almarhum sangat
berkesan dihati para anak binaannya, dan anak binaan yang telah menjadi “orang”
itu menceritrakan kembali kenangan itu kepada anak cucu mereka. Sungguh,
tepatlah kalau almarhum itu adalah Karaeng Galesong, “Karaeng Yang Berhati
Mulia”.
Mungkin ada banyak contoh yang dapat dikemukakan dalam
hubungan dengan orang yang berhati mulia, justeru pada saat situasi kenegaraan
kita dilanda dengan berita tawuran yang menyebabkan kematian, tontonan
konspirasi pencegahan pemberantasan korupsi , dan keadaan mengerikan lainnya
yang justeru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya berhati “mulia”.
Sungguh agak susah masuk dalam pikiran sehat kita,
betapa dalam satu bulan terakhir sudah tiga orang “maha”siswa meninggal dunia
karena tawuran antar sesama “maha”siswa. Bukankah “maha” itu adalah predikat
yang amat tinggi yang seyogyanya disakralkan? Bukankah predikat “maha” itu biasa
digandengkan dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kuasa,
dan seterusnya? Bukankah mereka ini telah dipimpin oleh Rektor dan Dekan dengan
predikat “Maha”guru, dan dididik oleh para “Maha”guru pula? Lalu, mengapa semua
ini terjadi? Pertanyaan lainnya, kemana lagi calon pemimpin ini akan dididik
kalau perguruan tinggi sudah tidak bisa memberikan jaminan keselamatan anak
didiknya? Dan, apakah ilmu tawuran yang diperoleh di perguruan tingginya
tersebut akan ditularkan kepada anggota masyarakat yang dipimpinnya? Atau
kepada anak didiknya seandainya yang bersangkutan menjadi pendidik?
Kita juga semakin muak dengan ulah para “Yang Mulia”
dalam mempertontonkan kelihaiannya membela sesamanya seraya menyalahkan orang
lain seakan-akan orang lain telah bersalah menggiring persoalan agar dilemahkan
institusi pemberantas korupsi. Sungguh, semakin “Yang Mulia” ini berkelit
membela diri seraya menyalahkan pihak lain semakin kentara adanya konspirasi
diantara mereka, dan semakin geram para penonton dengan ulahnya itu. Adakah
mereka kelihatan berdosa? Sama sekali tidak. Mereka tetap membela diri seakan
sangat suci, tentu saja demi pencitraan! Lalu, kemana tanggung jawab yang
disandang itu sebagai “Yang Mulia”. Untunglah, karena masyarakat kebanyakan
masih lebih banyak yang memiliki hati mulia, mendesak kepada mereka untuk
berubah pikiran yang pada akhirnya membatalkan konspirasinya itu, bahkan
menyetujui pembangunan gedung dan fasilitas pemberantasan korupsi. Untunglah,
bahwa ulah mereka yang seharusnya diteladani, tetapi tidak diteladani oleh
masyarakat.
Hari-hari terakhir ini media massa dihiasi dengan
begitu banyak berita tentang dugaan penyalahgunaan narkoba oleh para oknum
“Yang Mulia”, hakim pengadilan negeri. Yang bersangkutan kedapatan oleh Badan
Narkotika Nasional sedang berpesta narkoba, dan telah mengeluarkan uang sekitar
sepuluh juta rupiah untuk itu, pada hal gajinya sebulan tidak mencapai jumlah
itu. Ada dua hal yang membuat kita jadi dongkol dari perbuatan itu yaitu
kelakuannya sebagi “Yang Mulia” seyogyanya diteladani, jauh panggang dari api..
Yang kedua ialah patut ada dugaan bahwa yang bersangkutan mendapat uang
sampingan dari perbuatan tercela dari orang yang diadilinya, atau mendapatkan
keuntungan dari perdagangan narkoba. Yang terakhir ini sungguh-sungguh sangat
potensial mendatangkan bencana bagi bangsa yang meracuni generasi kita
berikutnya. Nauzubillah.
Sungguh mereka semua ini mungkin tak sadar apa makna
yang terkandung dalam predikat itu betapa besar tanggung jawab dalam menyandang
predikat “Yang Mulia” itu,
Mungkin ada baiknya kita semua merenungkan apa
sesungguhnya makna kata “Yang Mulia” itu, dan hubungannya dengan ketata
negaraan kita pada masa lampau di Sulawesi.
Pada masa lampau, pada sebagian komunitas Makassar
memberikan predikat “Karaeng” kepada para pemimpinnya. Contohnya misalnya:
Karaeng Bangkala, Karaeng Binamu, Karaeng Galesong, Karaeng Pattingaloang dan
sebagainya.
Perbincangan sesama anggota group “Sulapa” pernah
mempertanyakan dan mengangkat diskusi tentang “Makna Karaeng”. Berdasarkan
penjelasan dari seorang ustadz saya nyelutuk bahwa “Karaeng” berasal dari
bahasa Arab Al Kariem yang berarti Mulia, sebagai sifat dari Allah SWT. Sebagai
“Karaeng” maka beliau ini sangat amanah akan predikat yang disandangnya
sehingga menjaga jangan sampai menyimpang dari sifat itu.
Sebagai penyandang sifat “Yang Mulia” dari Allah SWT,
maka Karaeng-2 dahulu sangat takut untuk berbuat menyimpang dari sifat
itu, karena yakin dan takut dilaknat oleh pemilik nama “Yang Mulia” yaitu Allah
SWT. Keyakinan ini merupakan suatu “Kearifan Lokal” yang seyogyanya
dilestarikan sebagai bagian dari sila pertama Pancasila: Keyakinan akan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sungguh sangat bertolak belakang dengan predikat “Yang
Mulia” yang disandang oleh segelintir orang yang mewakili kita yang begitu tega
menyunat dana yang seharusnya dipakai untuk kepentingan orang banyak yang
miskin, demi memuaskan nafsu politiknya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan
feodalisme dengan mengangkat lembaga “Karaeng” sebagai pemimpin pemerintahan
karena hal itu tidak dimungkinkan oleh sistem ketatanegaraan kita. Justeru
karena sistem ketata negaraan maka “Karaeng” ini tidak seharusnya lagi
disandang hanya karena alasan keturunan. Artinya, seseorang yang memang
keturunan Karaeng dapat menyandangnya kalau sifat-sifat “Yang Mulia” itu tetap
dimilikinya, bahkan yang bukan turunanpun mestinya dapat menyandangnya jika
memiliki sifat itu. Sebaliknya, dengan sistem ketata negaraan itu juga yang
telah memberikan gelar “Yang Mulia”, mestinya ditinjau kembali apabila
penyandangnya jauh, atau menjauhi sifat-sifat yang mulia tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar