BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap
aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini menjadi sesuatu yang menjadi
landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat
dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarakat Bugis mempunyai falsafah hidup
yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat
dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini
juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum),
dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat
mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Dalam masyarakat, apapun yang menjadi falsafah hidupnya,
maka itu akan menjadi pengangan yang diikuti dan sangat dijunjung tinggi
olehnya. Lebih khusus lagi kesadaran hukum masyarakat sangat ditentukan oleh
perilaku hidup masyarakat tersebut, dan dengan memegang teguh falsafah
hidupnya, mereka akan taat terhadap aturan yang dibuat dan berlaku didalamnya.
Ada hal yang menarik dalam masyarakat Bugis dengan nilai siri’ na pacce’nya,
yang dalam masyarakat luar kadang kala diartikan berbeda dengan makna yang
sebenarnya. Ini pun terjadi dalam masyarakat Bugis itu sendiri kadang dimaknai
seperti apa yang dipahami oleh masyarakat lainnya. Yang lebih cenderung
memahami siri’ na pacce’ ini pada konotasi yang negatif penuh kebencian
dan kekerasan.
Dalam beberapa tahun terakhir dalam dasawarsa ini, terlihat jelas bagaimana perubahan pola
pikir masyarakat kita yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya di kalangan pemuda
yang secara otomatis mempengaruhi pola pikir mereka dalam mengaktualisasikan
diri dalam kehidupan kesehariaanya. Hal tersebut terlihat pada semakin maraknya
fenomena bentrokan massal di antara para mahasiswa kita yang notabene mewakili
kaum muda yang memiliki intelektualitas yang juga sebagai generasi pelanjut
bangsa.
Ada satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Fenomena bentrokan massal tersebut seringkali didasari atas sebuah perkara yang sangat simpel dan bersifat personal. Namun hal tersebut kemudian menjadi sesuatu yang dahsyat ketika perkara tersebut kemudian dilarikan ke ranah yang seharusnya tidak tepat, yakni menyangkut persolan siri’ na pacce yang kemudian disalahmengerti oleh kaum intelektual muda kita.
Ada satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Fenomena bentrokan massal tersebut seringkali didasari atas sebuah perkara yang sangat simpel dan bersifat personal. Namun hal tersebut kemudian menjadi sesuatu yang dahsyat ketika perkara tersebut kemudian dilarikan ke ranah yang seharusnya tidak tepat, yakni menyangkut persolan siri’ na pacce yang kemudian disalahmengerti oleh kaum intelektual muda kita.
Padahal jika merujuk pada makna
asli dari kedua kata tersebut, siri’
itu sendiri sejatinya merupakan rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi
harkat dan martabat manusia atau dengan kata lain sebagi harga diri manusia
itu sendiri. Sedangkan pacce sendiri merupakan
sebuah pemaknaan atas kolektifitas (solidaritas) moral bagi masyarakat
Sulawesi Selatan secara umum.
Namun, dalam konteks kekinian, pemaknaan tersebut kemudian bergeser ke arah yang cenderung negatif. Makna siri’ kemudian dimaknai hanya sebatas rasa malu dari egoisitas diri para pemuda kita yang kemudian menjadikan pacce dimaknai sebagai sebuah dampak dari siri’ tersebut atau hanya sebatas sebagai sebuah simbol keegoisitasan mereka semata. Pemaknaan seperti ini sejatinya mendistorsi hakikat dari makna siri’ na pacce itu sendiri, dimana dalam Leonard Y. Andaya (2004) yang mengutip dari lontara’ bahwa sejatinya siri’ itu adalah konsep atas nilai kehormatan yang berasal dari sebuah kebajikan dan pacce (pesse dalam bahasa bugis) adalah perasaan simpati dan empati terhadap moralitas dalam konteks kolektivitas.
Namun, dalam konteks kekinian, pemaknaan tersebut kemudian bergeser ke arah yang cenderung negatif. Makna siri’ kemudian dimaknai hanya sebatas rasa malu dari egoisitas diri para pemuda kita yang kemudian menjadikan pacce dimaknai sebagai sebuah dampak dari siri’ tersebut atau hanya sebatas sebagai sebuah simbol keegoisitasan mereka semata. Pemaknaan seperti ini sejatinya mendistorsi hakikat dari makna siri’ na pacce itu sendiri, dimana dalam Leonard Y. Andaya (2004) yang mengutip dari lontara’ bahwa sejatinya siri’ itu adalah konsep atas nilai kehormatan yang berasal dari sebuah kebajikan dan pacce (pesse dalam bahasa bugis) adalah perasaan simpati dan empati terhadap moralitas dalam konteks kolektivitas.
Ketika berbicara hukum, maka tidak terlepas dari konteks
hukum dimana keberadaan suatu masyarakat itu berada, jadi ketika berbicara
masalah nilai siri’ na pacce’ tidak terlepas dari konsep penegakan hukum
di Indonesia, dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa penegakan hukum nasional
kita sangat kuat didominasi oleh The civil law system yaitu selalu dimulai dari penciptaan
perundang-undangan, yaitu notabene bersifat abstrak. Sebagaimana
diketahui sistem tersebut berbeda dari The common law system, yang pada
dasarnya tidak mendasarkan pada perundang-undangan abstrak, melainkan pada
penciptaan kaidah-kaidah konkret. Oleh karena itu, sistem ini lebih
mendasarkan pada keputusan pengadilan atau sistem stare decisis.
Memahami bentuk kebijakan negara dalam penegakan hukum yang
sangat formalistis legalis (menganggap undang-undanglah yang menjadi acuan
dalam penegakan hukum), maka nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan rasa
keadilan masyarakat seringkali terabaikan demi kepentingan kelompok tertentu
yang mempunyai kekuasaan. Hal ini dikarenakan penguasa kadangkala menggunakan
hukum sebagai alat kekuasaan untuk menindas atau pun membuat kebijakan yang
tidak berpihak kepada rakyat.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bagaimana pentingnya
keadilan dalam msyarakat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, sebagaimana
yang cita-cita konstitusi bangsa Indonesia, dan betapa pentingnya memahami
nilai-nilai siri’ na pacce’ dalam upaya penegakan hukum di negeri
tercinta ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi
rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah nilai siri’ na pacce’ dapat diimplementasikan sebagai
panglima dalam penegakan hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Siri’ na pacce’
1.
Pengertian siri’
Dalam
pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata
siri’ ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity),
kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila
dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya
dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian
kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia
menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya sendiri. Siri’
ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan,
dan harga diri sebagai seorang manusia.
Siri’ lebih sebagai sesuatu yang
dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif
penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi
sosial masyarakat Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji siri’
sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai
bentuk penerapan siri’ yang salah sasaran. Menurut mereka, siri’ seharusnya dan biasanya, memang seiring sejalan dengan pacce’(Makassar)/pesse(Bugis).
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan
falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’
na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse’ (Bahasa Bugis ) adalah dua kata
yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi
kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang
kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia
menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat
kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata :
Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup) .
Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua
jenis:
Pertama
adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau
diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia
sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang
telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat
dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau
alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka
tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan
perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka
terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa
dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal
karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula
dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang
berguna.
Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang
lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu
pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya
dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan
perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat
menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak
bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci.
Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang
suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua
kurang Siri’nya”.
Yang kedua
adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk
mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan
sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’
keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji
ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak
buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul
Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang
putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal
dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri’,
perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara.
Siri’ jenis ini berhubungan
dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.”
Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih
memiliki rasa malu (Siri’).
Begitu pula sebaliknya, “Narekko
engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya
malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar
harkat dan martabat keluarga terangkat.
Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu
atau malu hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta
hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang
keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan dimotori dan
dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’
gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu
mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana
kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan
(pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang
pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga
dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum,
nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang
dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis
dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’
siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong”
atau “Pada idi pada elo’
sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau
kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu.
Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf
maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
2. Pengertian pacce’
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti
“ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih,
perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal.
Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari
dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos
(sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’
diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam
dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku
masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “motor “ penggerak dalam
memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Melalui
latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola
tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas
dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama
manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin
dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang
satu dari lainnya.
Dengan
memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat
diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa
dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil pada diri sendiri dan
terhadap sesama,
bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan
konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato
(428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the
stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat). Jelaslah kiranya bagaimana pandangan ini dapat dijadikan acuan dalam melihat nilai
keadilan dalam masyarakat, yang seharusnya menjadi nilai yang akan dicapai
dalam penegakan hukum di Indonesia.
B.
Penegakan Hukum
Penegakan
hukum pada peristiwa pelangggaran atau kemungkinan pelanggaran dan perbuatan
melawan atau kemungkinan melawan hukum, hendaknya tidak hanya dimaksudkan
sebagai mempertahankan hukum dalam arti tindakan represif semata, tetapi
mencakup juga tindakan preventif. Penegakan hukum secara preventif dapat
dilakukan dengan
sistem kontrol, supervisi, memberikan kemudahan dan perhargaan (reward)
bagi mereka yang menjalankan atau mentaati hukum. Penegakan hukum dari
kemungkinan terjadi pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Karena
hal-hal yang disebut terakhir ini (reward) termasuk penegakan hukum,
maka berbagai bahan bacaan ada yang mengategorikannya sebagai suatu bentuk
sanksi.
Dengan
demikian, sanksi tidak semata-mata dalam arti memberikan penderitaan (badan,
harta benda, nyawa), tetapi termasuk juga penghargaan. Sanksi dalam arti luas
ini sering disebut dengan ungkapan strik and carrot atau punishment
and reward.
Penegakan
hukum dilaksanakan juga oleh kekuasaan pembuat undang-undang, dan kekuasaan
eksekutif atau administrasi negara. Di bebarapa negara, kekuasaan
membuat undang-undang berwenang menjatuhkan sanksi pada anggota yang memlanggar
hukum. Kekuasaan eksekutif dan atau administrasi negara juga menegakkan hukum
seperti wewenang mencabut izin, keimigrasian, bea cukai, pemasyarakatan dan
berbagai tindakan administatif lainnya. Seperti halnya membuat dan menjalankan
hukum, masyarakat pun berperan menegakkan hukum. Pranata perdamaian (di desa
dan di kota), mediasi di luar pengadilan, konsiliasi, arbitrase merupakan
contoh-contoh keikutsertaan masyarakat dalam penegakan hukum diantara mereka
sendiri. Demikian pula sanksi sosial dan adat, dapat dipandang sebagai
bentuk-bentuk penegakan hukum oleh masyarakat sendiri. Namun perlu dicatat,
tidak termasuk penegakan hukum oleh masyarakat, tindakan-tindakan menghakimi
sendiri (eigenrichting) seperti yang akhir-akhir ini acapkali terjadi.
C. Implementasi Nilai Filosofis Siri’ na Pacce’ dalam
Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia
Penegakan
hukum menjadi suatu prioritas yang harus dilaksanakan bilamana suatu bangsa
ingin menjadi lebih baik dan lebih berkeadilan pada masyarakatnya. Melihat dari
permasalahan hukum yang terjadi dalam setiap pemerintahan suatu negara, di mana
kekuasaan menjadi nomor satu dan menafikan penegakan hukum, maka akan terjadi
ketimpangan dimana-mana dan akan terjadi pemerintahan otoriter dan bertangan
besi. Akan tetapi bila yang menjadi acuan adalah penegakan hukum maka akan
terjadi keadilan dalam masyarakat.
Di
mana posisi siri’ dan pacce’ dalam penegakan hukum ini mempunyai
peranan sangat penting. Sebab, dengan memegang teguh falsafah ini, maka
siapapun akan menjadi lebih menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan moralitas akan lebih baik. Ini dikarenakan nilai dari siri’
dan pacce’ ini bila dijalankan dengan sebenarnya akan menjadi senjata
yang ampuh dalam penegakan hukum.
Siri’
na Pacce’
bilamana dijadikan sebagai panglima dalam penegakan hukum kita, maka didapati
setiap permasalahan hukum yang ada, akan terselesaikan dengan lebih baik dan
dapat memberikan rasa keadilan yang lebih baik pula pada masyarakat. Ini
dikarenakan dari memahami makna dari falsafah ini, maka sebagaimana yang dikemukakan Andi Zainal, bahwa siri’ identik
dengan manusia, yang berarti harkat dan martabat manusia. Kalau harkat dan
martabat itu dinodai maka timbullah perasaan aib pada orang yang dihina itu. Bila hal ini dipegang teguh oleh penegak hukum kita, maka
mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akan menjadi aib bagi mereka.
Jadi
mereka akan melakukan atau memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan
dengan seadil-adilnya, dikarenakan, pertama; mereka tidak ingin mendapat siri’
(malu) dari sebuah keputusan yang menurut rasa kemanusiaan hal itu adalah
sebuah kesalahan, kedua; mereka merasa mencederai rasa keadilan dalam
masyarakat, dikarenakan mereka telah memberikan keputusan yang salah baik di
mata hukum maupun dalam masyarakat.
Sejalan
dengan pandangan di atas menarik jika apa yang dipesankan Karaeng Matoaya
kepada putranya Kareang Pattingalloang, yang dikutip dan dimasukkan Dr. H. F.
Matthes dalam buku Makassaarsche Chrestonanthic halaman 240 sebagai
berikut:
“Ala apa lakupiturungiangko, iamo anne kanaya, limpanrupaya,
punna nualleanja. Antu pokokna guak mabijaka, limai rupanna. Sekremi rupanna
punna niak nuguakang, ciniki appakna gauka. Makaruana, teako larroi
nipakaingak. Makatalunna, mamallakko ri tumalam-busuk. Makaappakna, teako
mammpilanggeri kareba, ia pilanngeri kammatojenna. Makalimanna, iapa nusisala
makukuppako.”
(Tidak ada yang akan aku berikan
kepadamu, selian daripada kata-kata yang lima macam ini, sekiranya engkau mau
memperhatikannya. Adapun pokok perbuatan yang baik itu ada lima jenisnya. Pertama,
kalau engaku hendak melakukan sesuatu, pandanglah akan ujung/akhir
perbuatan itu. Kedua, janganlah engkau marah kalau dinasehati. Ketiga,
takutlah kepada orang yang jujur. Keempat, janganlah hendaknya
mendengarkan sas-sus (kabar angin), dengarkan yang benar saja. Kelima, engaku
baru berselisih, sekiranya engkau dalam kemarahan).
Satu
di antara kelima jenis amanat ini yang paling menarik perhatian dikemukakan di
sini ialah amanat ketiga. Mamallakko ri tumalambusuk! (Takutlah engkau
kepada orang jujur!). suatu amanat yang perlu mendapat perhatian dan perlu
direnungkan dalam hati setiap penegak hukum. Karena biasanya, seseorang itu
takut kepada seseorang orang lain karena kekayaannya, berhubung karena orang
kaya itu banyak uangnya. Bukankah dalam bahasa Makassar kita bertemu dengan
sebuah ungkapan yang berbunyi Tena takulle doeka (tidak ada yang tidak
dapat dikerjakan uang itu). Oleh karena itu, dalam bahasa Makassar yang itu
biasa disebut Daeng Makulle (si Sanggup). Ada pula seseorang yang takut kepada
seseorang orang lain itu karena pangkatnya. Sebab, orang berpangkat itu
memiliki kekuasaan. Tetapi, berbeda dengan apa yang dijelaskan itu, Karaeng
Matoaya justru berpesan kepada putranya supaya takut kepada orang yang jujur.
Sebagai
penegak hukum dengan tanggungjawab yang sangat tinggi dan menyangkut hidup mati
seseorang, maka melaksanakan tugas dengan penuh kejujuran merupakan sebuah
keharusan. Jujur pada diri sendiri, jujur kepada sesama manusia, jujur kepada
cita-cita, dan jujur kepada Tuhan Semesta Alam. Inilah nilai dari pesan Karaeng
Matoaya kepada putranya. Dan hal ini sangat sesuai dengan nilai siri’ pada
posisi yang sebenarnya.
Menegakkan
hukum terutama memberantas kejahatan tidak boleh ditunda-tunda, karena
kejahatan itu sendiri akan menguasai kita dan menghancurkan apa yang ada. Apa
yang terjadi di Indonesia dengan usaha penegakan hukumnya menghadapi kendala,
karena rakyat hampir-hampir tak mempercayai lagi lembaga penegakan hukum kita.
Ada hal menarik dari negara-negara tetangga kita, seperti Mengapa Pemerintah
Korea Selatan berani konsekuen menegakkan hukum? Jawabnya, karena mereka tahu
kunci menyelamatkan negara dari ancaman kritis kewibawaan dan mengatasi krisis
ekonomi, ialah kepada rakyat harus diperlihatkan bahwa hukum berlaku tegas
tanpa diskriminasi. Inilah yang seharusnya dilakukan
oleh para penegak hukum dan pemerintah kita.
Semua
kegiatan di bidang hukum ini perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya.
Misalnya, untuk menegakkan keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan
putusan yang adil, tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan penyidikan
yang sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian berkekuatan hukum
tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukuman yang tertib sesuai dengan bunyi
vonis.
Bisa
dibayangkan, apabila hasil penyidikan kurang akurat kemudian hakim menerimanya dan
dijadikannya dasar pemeriksaan di muka pengadilan, maka hasil proses peradilan
tersebut akan dapat mengecawakan. Contoh, kasus Lingah bin Sentana dan
kawan-kawannya di Ketapang (Kalimantan Barat).
Mereka ini dengan dakwaan melakukan pembunuhan telah divonis. Bahkan, mereka
sudah menjalani pidananya, yang ternyata bukan mereka pelakunya.
Dalam
praktik penegakan hukum, khususnya pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana di
muka pengadilan, sering terjadi
hal-hal yang mengejutkan. Sering pula ada perkara yang sesungguhnya sederhana,
dalam arti tidak sulit pembuktiannya, tetapi di pengadilan dinyatakan bebas
oleh hakim.
Menghadapi
peristiwa seperti ini biasanya dengan mudah saja orang terus menuduh hakimnya
tak adil dalam memutus perkara tersebut.
Memang buktinya kesalahan tertuduh. Artinya kalau jaksa penuntut umum
bersungguh-sungguh membuktikan, biasanya dapat dibuktikan kalau memang
peristiwa pidana itu terjadi.
Untuk
mencapai hasil kerja yang posistif, jaksa tersebut perlu lebih dulu memiliki
kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang
dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Dalam dunia modern dewasa
ini pengaruh negatif cenderung semakin lebih kuat, sehingga kalau mental kita
kurang tangguh, mudah kita tergiring mengikuti hawa nafsu yang merusak keadilan
tersebut.
Untuk
dapat menyelesaikan suatu perkara yang memenuhi rasa keadilan tentulah setiap
unit yang turut serta dalam penyelesaian perkara itu berada dalam kondisi yang dapat
diharapkan untuk berbuat jujur. Tentu bukan saja hakim yang wajib
memutus dengan adil, dan bukan hanya jaksa penuntut umum yang perlu cermat dan
profesional dalam mengemban tugasnya, tetapi sejak dimulainya awal penyidikan
oleh aparat penyidik (khususnya Kepolisian) perlu terjaga kondisi agar aparat
penyidik tersebvut dapat dapat menyelesaikan tugasnya dengan cermat dan
sempurna.
Untuk
melaksanakan tugas dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang menjadi
penegak hukum, maka mereka harus mempunyai siri’ dan pacce’ dan
menjiwai prinsip ini. Dengan begitu apa yang diharapkan dari penegak hukum kita
dapat dicapai yaitu rasa keadilan dalam penegakan hukum, adanya kepastian hukum
dan good government. Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Menurut Mertokusumo,
kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Dalam
penegakan hukum pun, maka seharusnya kita berusaha untuk melaksanakan nilai pacce’
dalam pengertian menerima kembali orang yang telah menjalani masa pidananya dan
tidak menapihkan mereka dalam pergaulan setelah lepas dari menjalani hukuman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. sebenarnya, bagi seseorang yang
konsekuen dalam pendirian dan dalam mempertegak siri’ dan pacce’,
baik seorang petani, pedagang, buruh, pegawai atau pun sebagai pejabat,
kemungkinan terjadinya suatu penyelewengan atau penyalagunaan pada bidangnya
masing-masing tidak akan terjadi.
2. Dengan membudayakan siri’ dan pacce’
dalam kehidupan sehari-hari dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari
falsafah hidup Bugis-Makassar ini akan menolong
orang untuk selalu bersikap adil terhadap diri sendiri, orang di sekitarnya,
dan bahkan kepada lingkungannya.
B.Saran
Inilah yang menjadi pesan dari
falsafah hidup siri’ na pacce’, diharapkan bagi setiap Penegak Hukum dan
seluruh masyarakat untuk senantiasa menjunjung tingginya demi tegaknya keadilan
dan kebenaran dalam proses hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet.
Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar.
Hamid,
Abdullah, 1985. Manusia Bugis
Makassar: suatu tinjauan historis terhadap pola tingkah laku dan pandangan
hidup manusia Bugis Makassar, Inti Idayu Press
Lopa,
Baharuddin. 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet.Kedua,PenerbitKompas,Jakarta.
Mangemba,
H. D., 2002, Takutlah pada Orang Jujur (Mozaik Pemikiran), Penerbit Universitas
Hasanuddin bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Marzuki, M laica, 1995. Siri': bagian kesadaran hukum rakyat Bugis-Makassar
: sebuah telaah filsafat hukum, Hasanuddin University Press: makassaar.
Mustafa, M. Yahya , 2003. Siri dan Pesse’ Harga
Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Pustaka
Refleksi, Makassar
Moein Mappa Gessa (Andi), 1990.Menggali nilai-nilai
budaya bugis makassar dan siri’ na pace. Letira, Makassar
Soeroto, Myrtha, 2003. Bugis
Makassar, pustaka budaya & arsitektur, Balai Pustaka
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusdan yang paling penting adalah bagaiman membangun kesadaran para pemuda bugis-makassar akan makna Siri' na Pacce' yang tidak aplikasikan pada hal yg tidak sesuai.
BalasHapus