Selasa, 25 Desember 2012

Siri Na Pacce sebagai falsafah hidup suku bugis makassar yang terlupakan


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini menjadi sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarakat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Dalam masyarakat, apapun yang menjadi falsafah hidupnya, maka itu akan menjadi pengangan yang diikuti dan sangat dijunjung tinggi olehnya. Lebih khusus lagi kesadaran hukum masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku hidup masyarakat tersebut, dan dengan memegang teguh falsafah hidupnya, mereka akan taat terhadap aturan yang dibuat dan berlaku didalamnya. Ada hal yang menarik dalam masyarakat Bugis dengan nilai siri’ na pacce’nya, yang dalam masyarakat luar kadang kala diartikan berbeda dengan makna yang sebenarnya. Ini pun terjadi dalam masyarakat Bugis itu sendiri kadang dimaknai seperti apa yang dipahami oleh masyarakat lainnya. Yang lebih cenderung memahami siri’ na pacce’ ini pada konotasi yang negatif penuh kebencian dan kekerasan.
Dalam beberapa tahun terakhir dalam dasawarsa ini, terlihat jelas                       bagaimana perubahan pola pikir masyarakat kita yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya di kalangan pemuda yang secara otomatis mempengaruhi pola pikir mereka dalam mengaktualisasikan diri dalam kehidupan kesehariaanya. Hal tersebut terlihat pada semakin maraknya fenomena bentrokan massal di antara para mahasiswa kita yang notabene mewakili kaum muda yang memiliki intelektualitas yang juga sebagai generasi pelanjut bangsa.
Ada satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Fenomena bentrokan massal tersebut seringkali didasari atas sebuah perkara yang sangat simpel dan bersifat personal. Namun hal tersebut kemudian menjadi sesuatu yang dahsyat ketika perkara tersebut kemudian dilarikan ke ranah yang seharusnya tidak tepat, yakni menyangkut persolan siri’ na pacce yang kemudian disalahmengerti oleh kaum intelektual muda kita.
Padahal jika merujuk pada makna asli dari kedua kata tersebut,         siri’ itu sendiri sejatinya merupakan rasa malu yang terurai                      dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia atau dengan kata                lain sebagi harga diri manusia itu sendiri. Sedangkan pacce                         sendiri merupakan sebuah pemaknaan atas kolektifitas (solidaritas)                       moral bagi masyarakat Sulawesi Selatan secara umum.
Namun, dalam konteks kekinian, pemaknaan tersebut kemudian bergeser            ke arah yang cenderung negatif. Makna siri’ kemudian dimaknai hanya sebatas rasa malu dari egoisitas diri para pemuda kita yang kemudian menjadikan pacce dimaknai sebagai sebuah dampak dari siri’ tersebut atau hanya sebatas sebagai sebuah simbol keegoisitasan mereka semata. Pemaknaan seperti ini sejatinya mendistorsi hakikat dari makna siri’ na pacce itu sendiri, dimana dalam Leonard Y. Andaya (2004) yang mengutip dari lontara’ bahwa sejatinya siri’ itu adalah konsep atas nilai kehormatan yang berasal dari sebuah kebajikan dan pacce (pesse dalam bahasa bugis) adalah perasaan simpati dan empati terhadap moralitas dalam konteks kolektivitas.
Ketika berbicara hukum, maka tidak terlepas dari konteks hukum dimana keberadaan suatu masyarakat itu berada, jadi ketika berbicara masalah nilai siri’ na pacce’ tidak terlepas dari konsep penegakan hukum di Indonesia, dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa penegakan hukum nasional kita sangat kuat didominasi oleh The civil law system yaitu                   selalu dimulai dari penciptaan perundang-undangan, yaitu notabene               bersifat abstrak. Sebagaimana diketahui sistem tersebut berbeda dari The common law system, yang pada dasarnya tidak mendasarkan pada perundang-undangan abstrak, melainkan pada penciptaan kaidah-kaidah konkret. Oleh karena itu, sistem ini lebih mendasarkan pada keputusan pengadilan atau sistem stare decisis.
Memahami bentuk kebijakan negara dalam penegakan hukum yang sangat formalistis legalis (menganggap undang-undanglah yang menjadi acuan dalam penegakan hukum), maka nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan rasa keadilan masyarakat seringkali terabaikan demi kepentingan kelompok tertentu yang mempunyai kekuasaan. Hal ini dikarenakan penguasa kadangkala menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan untuk menindas atau pun membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bagaimana pentingnya keadilan dalam msyarakat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, sebagaimana yang cita-cita konstitusi bangsa Indonesia, dan betapa pentingnya memahami nilai-nilai siri’ na pacce’ dalam upaya penegakan hukum di negeri tercinta ini.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah nilai siri’ na pacce’ dapat diimplementasikan sebagai panglima dalam penegakan hukum                        di Indonesia?


BAB  II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Siri’ na pacce’
1. Pengertian siri’
Dalam pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri’ ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya sendiri. Siri’ ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.
Siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa                 banyak intelektual Bugis cenderung memuji siri’ sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan siri’ yang salah sasaran. Menurut mereka,              siri’ seharusnya  dan biasanya, memang seiring sejalan dengan pacce’(Makassar)/pesse(Bugis).
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse’ (Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup) .
Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:
Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”.
Yang kedua adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri’, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara.
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu atau malu hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
2. Pengertian pacce
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “motor “ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Melalui latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional,                 di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama, bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat). Jelaslah kiranya bagaimana pandangan ini dapat              dijadikan acuan dalam melihat nilai keadilan dalam masyarakat, yang seharusnya menjadi nilai yang akan dicapai dalam penegakan hukum di Indonesia.

B. Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada peristiwa pelangggaran atau kemungkinan pelanggaran dan perbuatan melawan atau kemungkinan melawan hukum, hendaknya tidak hanya dimaksudkan sebagai mempertahankan hukum dalam arti tindakan represif semata, tetapi mencakup juga tindakan preventif. Penegakan hukum secara preventif dapat dilakukan dengan sistem kontrol, supervisi, memberikan kemudahan dan perhargaan (reward) bagi mereka yang menjalankan atau mentaati hukum. Penegakan hukum dari kemungkinan terjadi pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Karena hal-hal yang disebut terakhir ini (reward) termasuk penegakan hukum, maka berbagai bahan bacaan ada yang mengategorikannya sebagai suatu bentuk sanksi.
Dengan demikian, sanksi tidak semata-mata dalam arti memberikan penderitaan (badan, harta benda, nyawa), tetapi termasuk juga penghargaan. Sanksi dalam arti luas ini sering disebut dengan ungkapan strik and carrot atau punishment and reward.
Penegakan hukum dilaksanakan juga oleh kekuasaan pembuat undang-undang, dan kekuasaan eksekutif atau administrasi negara.               Di bebarapa negara, kekuasaan membuat undang-undang berwenang menjatuhkan sanksi pada anggota yang memlanggar hukum. Kekuasaan eksekutif dan atau administrasi negara juga menegakkan hukum seperti wewenang mencabut izin, keimigrasian, bea cukai, pemasyarakatan dan berbagai tindakan administatif lainnya. Seperti halnya membuat dan menjalankan hukum, masyarakat pun berperan menegakkan hukum. Pranata perdamaian (di desa dan di kota), mediasi di luar pengadilan, konsiliasi, arbitrase merupakan contoh-contoh keikutsertaan masyarakat dalam penegakan hukum diantara mereka sendiri. Demikian pula sanksi sosial dan adat, dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk penegakan hukum oleh masyarakat sendiri. Namun perlu dicatat, tidak termasuk penegakan hukum oleh masyarakat, tindakan-tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting) seperti yang akhir-akhir ini acapkali terjadi.

C. Implementasi Nilai Filosofis Siri’ na Pacce’ dalam Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia

Penegakan hukum menjadi suatu prioritas yang harus dilaksanakan bilamana suatu bangsa ingin menjadi lebih baik dan lebih berkeadilan pada masyarakatnya. Melihat dari permasalahan hukum yang terjadi dalam setiap pemerintahan suatu negara, di mana kekuasaan menjadi nomor satu dan menafikan penegakan hukum, maka akan terjadi ketimpangan dimana-mana dan akan terjadi pemerintahan otoriter dan bertangan besi. Akan tetapi bila yang menjadi acuan adalah penegakan hukum maka akan terjadi keadilan dalam masyarakat.
Di mana posisi siri’ dan pacce’ dalam penegakan hukum ini mempunyai peranan sangat penting. Sebab, dengan memegang teguh falsafah ini, maka siapapun akan menjadi lebih menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas akan lebih baik. Ini dikarenakan nilai dari siri’ dan pacce’ ini bila dijalankan dengan sebenarnya akan menjadi senjata yang ampuh dalam penegakan hukum.
Siri’ na Pacce’ bilamana dijadikan sebagai panglima dalam penegakan hukum kita, maka didapati setiap permasalahan hukum yang ada, akan terselesaikan dengan lebih baik dan dapat memberikan rasa keadilan yang lebih baik pula pada masyarakat. Ini dikarenakan dari memahami makna dari falsafah ini, maka sebagaimana yang dikemukakan Andi Zainal, bahwa siri’ identik dengan manusia, yang berarti harkat dan martabat manusia. Kalau harkat dan martabat itu dinodai maka timbullah perasaan aib pada orang yang dihina itu. Bila hal ini dipegang teguh oleh penegak hukum kita, maka mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akan menjadi aib bagi mereka.

Jadi mereka akan melakukan atau memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan dengan seadil-adilnya, dikarenakan, pertama; mereka tidak ingin mendapat siri’ (malu) dari sebuah keputusan yang menurut rasa kemanusiaan hal itu adalah sebuah kesalahan, kedua; mereka merasa mencederai rasa keadilan dalam masyarakat, dikarenakan mereka telah memberikan keputusan yang salah baik di mata hukum maupun dalam masyarakat.
Sejalan dengan pandangan di atas menarik jika apa yang dipesankan Karaeng Matoaya kepada putranya Kareang Pattingalloang, yang dikutip dan dimasukkan Dr. H. F. Matthes dalam buku Makassaarsche Chrestonanthic halaman 240 sebagai berikut:
Ala apa lakupiturungiangko, iamo anne kanaya, limpanrupaya, punna nualleanja. Antu pokokna guak mabijaka, limai rupanna. Sekremi rupanna punna niak nuguakang, ciniki appakna gauka. Makaruana, teako larroi nipakaingak. Makatalunna, mamallakko ri tumalam-busuk. Makaappakna, teako mammpilanggeri kareba, ia pilanngeri kammatojenna. Makalimanna, iapa nusisala makukuppako.

(Tidak ada yang akan aku berikan kepadamu, selian daripada kata-kata yang lima macam ini, sekiranya engkau mau memperhatikannya. Adapun pokok perbuatan yang baik itu ada lima jenisnya. Pertama, kalau engaku hendak melakukan sesuatu, pandanglah akan ujung/akhir perbuatan itu. Kedua, janganlah engkau marah kalau dinasehati. Ketiga, takutlah kepada orang yang jujur. Keempat, janganlah hendaknya mendengarkan sas-sus (kabar angin), dengarkan yang benar saja. Kelima, engaku baru berselisih, sekiranya engkau dalam kemarahan).


Satu di antara kelima jenis amanat ini yang paling menarik perhatian dikemukakan di sini ialah amanat ketiga. Mamallakko ri tumalambusuk! (Takutlah engkau kepada orang jujur!). suatu amanat yang perlu mendapat perhatian dan perlu direnungkan dalam hati setiap penegak hukum. Karena biasanya, seseorang itu takut kepada seseorang orang lain karena kekayaannya, berhubung karena orang kaya itu banyak uangnya. Bukankah dalam bahasa Makassar kita bertemu dengan sebuah ungkapan yang berbunyi Tena takulle doeka (tidak ada yang tidak dapat dikerjakan uang itu). Oleh karena itu, dalam bahasa Makassar yang itu biasa disebut Daeng Makulle (si Sanggup). Ada pula seseorang yang takut kepada seseorang orang lain itu karena pangkatnya. Sebab, orang berpangkat itu memiliki kekuasaan. Tetapi, berbeda dengan apa yang dijelaskan itu, Karaeng Matoaya justru berpesan kepada putranya supaya takut kepada orang yang jujur.
Sebagai penegak hukum dengan tanggungjawab yang sangat tinggi dan menyangkut hidup mati seseorang, maka melaksanakan tugas dengan penuh kejujuran merupakan sebuah keharusan. Jujur pada diri sendiri, jujur kepada sesama manusia, jujur kepada cita-cita, dan jujur kepada Tuhan Semesta Alam. Inilah nilai dari pesan Karaeng Matoaya kepada putranya. Dan hal ini sangat sesuai dengan nilai siri’ pada posisi yang sebenarnya.
Menegakkan hukum terutama memberantas kejahatan tidak boleh ditunda-tunda, karena kejahatan itu sendiri akan menguasai kita dan menghancurkan apa yang ada. Apa yang terjadi di Indonesia dengan usaha penegakan hukumnya menghadapi kendala, karena rakyat hampir-hampir tak mempercayai lagi lembaga penegakan hukum kita. Ada hal menarik dari negara-negara tetangga kita, seperti Mengapa Pemerintah Korea Selatan berani konsekuen menegakkan hukum? Jawabnya, karena mereka tahu kunci menyelamatkan negara dari ancaman kritis kewibawaan dan mengatasi krisis ekonomi, ialah kepada rakyat harus diperlihatkan bahwa hukum berlaku tegas tanpa diskriminasi. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh para penegak hukum dan pemerintah kita.
Semua kegiatan di bidang hukum ini perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. Misalnya, untuk menegakkan keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan putusan yang adil, tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan penyidikan yang sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian berkekuatan hukum tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukuman yang tertib sesuai dengan bunyi vonis.
Bisa dibayangkan, apabila hasil penyidikan kurang akurat                 kemudian hakim menerimanya dan dijadikannya dasar pemeriksaan di muka pengadilan, maka hasil proses peradilan tersebut akan dapat mengecawakan. Contoh, kasus Lingah bin Sentana dan kawan-kawannya               di Ketapang (Kalimantan Barat). Mereka ini dengan dakwaan melakukan pembunuhan telah divonis. Bahkan, mereka sudah menjalani pidananya, yang ternyata bukan mereka pelakunya.
Dalam praktik penegakan hukum, khususnya pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana di muka pengadilan, sering terjadi hal-hal yang mengejutkan. Sering pula ada perkara yang sesungguhnya sederhana, dalam arti tidak sulit pembuktiannya, tetapi di pengadilan dinyatakan bebas oleh hakim.
Menghadapi peristiwa seperti ini biasanya dengan mudah saja orang terus menuduh hakimnya tak adil dalam memutus perkara tersebut. Memang buktinya kesalahan tertuduh. Artinya kalau jaksa penuntut umum bersungguh-sungguh membuktikan, biasanya dapat dibuktikan kalau memang peristiwa pidana itu terjadi.
Untuk mencapai hasil kerja yang posistif, jaksa tersebut perlu lebih dulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Dalam dunia modern dewasa ini pengaruh negatif cenderung semakin lebih kuat, sehingga kalau mental kita kurang tangguh, mudah kita tergiring mengikuti hawa nafsu yang merusak keadilan tersebut.

Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara yang memenuhi rasa keadilan tentulah setiap unit yang turut serta dalam penyelesaian perkara                      itu berada dalam kondisi yang dapat diharapkan untuk berbuat jujur.               Tentu bukan saja hakim yang wajib memutus dengan adil, dan bukan hanya jaksa penuntut umum yang perlu cermat dan profesional dalam mengemban tugasnya, tetapi sejak dimulainya awal penyidikan oleh aparat penyidik (khususnya Kepolisian) perlu terjaga kondisi agar aparat penyidik tersebvut dapat dapat menyelesaikan tugasnya dengan cermat dan sempurna.
Untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang menjadi penegak hukum, maka mereka harus mempunyai siri’ dan pacce’ dan menjiwai prinsip ini. Dengan begitu apa yang diharapkan dari penegak hukum kita dapat dicapai yaitu rasa keadilan dalam penegakan hukum, adanya kepastian hukum dan good government. Kepastian hukum menurut  Soedikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Menurut Mertokusumo, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.


Dalam penegakan hukum pun, maka seharusnya kita berusaha untuk melaksanakan nilai pacce’ dalam pengertian menerima kembali orang yang telah menjalani masa pidananya dan tidak menapihkan mereka dalam pergaulan setelah lepas dari menjalani hukuman.


















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    sebenarnya, bagi seseorang yang konsekuen dalam pendirian dan dalam mempertegak siri’ dan pacce’, baik seorang petani, pedagang, buruh, pegawai atau pun sebagai pejabat, kemungkinan terjadinya suatu penyelewengan atau penyalagunaan pada bidangnya masing-masing tidak akan terjadi.
2.    Dengan membudayakan siri’ dan pacce’ dalam kehidupan sehari-hari dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari falsafah hidup                         Bugis-Makassar ini akan menolong orang untuk selalu bersikap adil terhadap diri sendiri, orang di sekitarnya, dan bahkan kepada lingkungannya.

B.Saran
Inilah yang menjadi pesan dari falsafah hidup siri’ na pacce’, diharapkan bagi setiap Penegak Hukum dan seluruh masyarakat untuk senantiasa menjunjung tingginya demi tegaknya keadilan dan kebenaran dalam proses hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Cet. Pertama, Hasanuddin University Press, Makassar.

Hamid, Abdullah, 1985. Manusia Bugis Makassar: suatu tinjauan historis terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis Makassar, Inti Idayu Press

Lopa, Baharuddin. 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum,              Cet.Kedua,PenerbitKompas,Jakarta.

Mangemba, H. D., 2002, Takutlah pada Orang Jujur (Mozaik Pemikiran), Penerbit Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Marzuki, M laica, 1995. Siri': bagian kesadaran hukum rakyat Bugis-Makassar : sebuah telaah filsafat hukum, Hasanuddin University Press: makassaar.

Mustafa, M. Yahya , 2003. Siri dan Pesse’ Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Pustaka Refleksi, Makassar

Moein Mappa Gessa (Andi), 1990.Menggali nilai-nilai budaya bugis makassar dan siri’ na pace. Letira, Makassar

Soeroto, Myrtha, 2003.  Bugis Makassar, pustaka budaya & arsitektur, Balai Pustaka





2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. dan yang paling penting adalah bagaiman membangun kesadaran para pemuda bugis-makassar akan makna Siri' na Pacce' yang tidak aplikasikan pada hal yg tidak sesuai.

    BalasHapus