Keterbatasan Hukum dan Konsepi
Hukum Sebagai Social Engineering
Betapun idealnya konsepsi hukum sebagai social engineering,
ia tidaklah bebas kritik . Bila manurut konsepsi hukum abad modern ini, betapa
jauh lebih pentingnya kekuatan-kekuatan sosial yang membentuk hukum dari pada
ungkapan-ungkapan hukum secara teknis, tetapi perundang-undangan modern dan problema
sosial bertambah kompleks menimbulkan beberapa problema fundamental, seperti
kedudukan penafsir hukum dalam perkembangan politik dan sosial.
Dilain pihak ada kritik yang bertolak dari penelusuran
terhadap prilaku hukum dan prilaku lainnya yang berada dalam ruang lingkup
kompetisi antar prilaku. Satjipto Rahardjo lebih jauh mengemukakan, bahwa
pengetahuan kita mengenai tempat dan peran hukum dalam masyarakat akan
lebih memperkaya dan diperdalam manakala kita menyadari, bahwa di dalam
masyarakat ada bermacam-macam prilaku yang bisa dijalankan untuk mencapai
tujuan-tujuan dan memecahkan persoalan-persoalan. Dengan demikian , dalam
rangka pembicaraan mengenai hukum negara dan prilaku hukum itu hanya salah satu
dari sekian banyak prilaku yang dapat dijalankan dalam masyarakat.
Dikatakan pula, kalau kita mau mengamati kehidupan di
sekeliling kita, dengan jujur, akan terlihat, banyak yang dicapai orang tanpa
memikirkan hukum, sekalipun peraturan yang disediakan untuk itu memang ada.
Tetapi segera diperingatkan disini, bahwa tanpa memikirkan hukum ini adalah
tidak sama dengan melakukan pelanggaran hukum. Ambil misalnya contoh mengenai
masalah perkawinan. Cukup banyak suami-istri dan keluarganya yang berhasil
mewujudkan keluarga sejahtera dan bahagia tanpa sedikit pun terpikirkan kepada
hukum yang mengatur perkawinan.
Penggambaran di atas setidaknya telah menghadapkan
kita pada pemahaman sementara, bahwa tidak semua bisa dicapai dengan jalan
hukum dan keterbatasan hukum untuk
mengjakau tujuan-tujuan sosial tertentu. Ada jalan hukum ada jalan non hukum.
Ini setidaknya sebagai suatu keraguan terhadap konsepsi hukum sebagai social
engineering, dimana hukum tidak samata-mata berfungsi sebagai
pemeliharaan ketertiban, tetapi bisa lebih jauh dari itu sebagai alat pembaharuan
masyarakat atau sebagaimana istilah Recoe Pound sebagai alat perekayasaan
masyarakat.
Memahami keterbatasan kemampuan hukum sebagai salah
satu dari prilaku yang dapat dijalankan dalam masyarakat, ia memang bisa
dibenarkan. Tetapi kita akan menjumpai kejelasan lain bila perbenturan yang ada
itu dikaitkan dengan kesepakatan kita pada tujuan hukum.
Hukum mestilah dilihat sebagaimana layaknya hal yang
lain dalam dunia empiris. Dalam pandangan sosiogis, hukum terdiri dari
perbuatan-perbuatan yang bisa diamati, bukannya terdiri dari
peraturan-peraturan sebagaimana konsep peraturan atau norma-norma yang
digunakan baik dalam literature jurisprudence maupun dalam bahasa hukum
sehari-hari.
Jadi, keterbatasan hukum atau ketidak-terbatasan hukum
ditentukan oleh tujuan hukum itu sendiri dan bentuk bangunan hukum yang
dipakai. Tujuan-tujuan hukum amat dipengaruhi oleh aliran/mazhab yang dianut
dan keadaan dasar hukum dalam masyarakat.
Pada keadaan dasar hukum represif atau hukum otonom
memang sulit bagi konsepsi hukum sebagai alat perekayasaan masyarakat. Sebab
hukum represif yang menjadi tujuannya adalah ketertiban dan dasar keabsahannya
adalah pengamanan masyarakarat. Aturan-aturannya bersifat terperinci namun
kurang mengikat pembuat aturan, seringkali terjadi diskresi. Yang dikembangkan
adalah “moralitas kekangan”. Hukum tunduk pada politik kekuasaan serta
harapan-harapan atas ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak-taatan dianggap
perimpangan. Kritisme dipandang sebagai ketidak-setiaan. Sedangkan dalam keadaan
hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada kejujuran
procedural. Aturan-aturan mengingat, baik penguasa maupun yang dikuasai dan
diskresi dibatasi oleh hukum. Paksaan dikendalikan oleh kekangan hukum, dan
moralitas instusional. Hukum “merdeka” dari politik. Harapan-harapan tidak
terlampau ketat dan dibenarkan oleh hukum misalnya dalam kerangka pengujian
aturan hukum. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh prosedur-prosedur yang
mapan.
Dalam keadaan dasar hukum represif dan otonom, dapat
dimengerti bagaimana keterbatasan hukum di dalam mencapai tujuan-tujuan sosial
tertentu, apalagi sebagai social engineering. Jika berhenti pada hukum sebagai
tujuan dan aturan yang kaku, maka hukum sebenarnya telah “terpenjara” oleh
tujuannya sendiri dan menyulitkan dirinya untuk berkembang dan bersifat
tertutup. Tidak demikian halnya dengan jika pengertian kita mengenai hukum yang
menempatkan hukum bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai jembatan yang akan
membawa kita kepada apa yang dicita-citakan. Dalam keadaan serupa ini, hukum
bukanlah semata-mata aturan-aturan atau aspek hukum penekanannya bukanlah pada
procedural. Dan dengan pengertian hukum adalah jembatan bagi prilaku-prilaku
sosial lainnya. Tujuan ini bisa dicapai dengan menempatkan peranan hukum
sebagai social engineering dan bangunan dasar hukum haruslah
responsive-progresif.
Menurut pandangan studi hukum yang lebih bersifat
suatu teori modern mengenai hukum, dan dilain pihak studi sosial, hukum tidak
hanya dipandang sebagai seperangkat kaedah, akan tetapi sebagai “tool of social
engineering”. Fungsi hukum menurut pandangan ini adalah untuk mengintergrasikan
hubungan-hubungan di antara sesame anggota masyarakat sehingga diperoleh suatu
tingkat kemampuan tertentu dalam masyarakat yang disebut “ketertiban”. Oleh
karena fungsinya yang demikian, maka setiap kali sector-sektor kehidupan dalam
masyarakat berhasil untuk melakukan usahanya, apakah itu politik, ekonomi dan
sebagainya, pada gilirannya dibutuhkan hukum untuk mengintegrasikan hubungan-hubungan
diantara orang-orang yang melakukan kegiatan di sector-sektor tersebut.
Beberapa indicator positif dari hukum sebagai alat
perubahan sosial, maka dalam keadaan dasar hukum responsive peranan dan fangsi
hukum sebagai social engineering tidaklah diragukan. Kemungkinan itu diberikan
oleh hukum responsive, karena hukum responsif bertujuan agar hukum lebih
tanggab terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam
menangani problem-problem sosial. Keabsahan hukum didasarkan pada keadilan
subtantif dan aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Juga,
diskresi dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih Nampak dalam
bentuk altenatif positif seperti insentif atau sistem-sistem kewajiban mandiri.
Moralitas yang nampak adalah “moralitas kerja sama”, sementara
aspirasi-aspirasi hukum dab politik berada dalam keadaan terpadu.
Ketidak-taatan dinilai dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi.
Kesempatan untuk berpartisipasi lebih diperluas melalui integrasi bantuan hukum
dab bantuan sosial.
Dari uraian-uraian di atas dengan pendek yang hendak
dikemukakan adalah bahwa adanya keterbatasan kemampuan hukum adalah relative
dan tergantung dari pandangan dan perngertian terhadap hukum. Dalam pandangan
hukum modern dan pada hukum responsive, hukum bukanlah sekedar sarana
ketertiban, keamanan dan kesejahteraan manusia, tetapi ia bergerak ke seluruh
tata kehidupan manusia dalam masyarakat jauh berbeda dengan apa yang disebut
dengan mitologi. Cita hukum dalam kenyataannya, telah menjadi nyata benar
konsisten, apakah dalam pikiran popular maupun dalam disiplin akademik. Hukum
sebagai produk masyarakat dipahami seluruhnya. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar