Rabu, 05 Desember 2012

Keterbatasan Hukum dan Konsepi Hukum Sebagai Social Engineering


Keterbatasan Hukum dan Konsepi Hukum Sebagai Social Engineering 

Betapun idealnya konsepsi hukum sebagai social engineering, ia tidaklah bebas kritik . Bila manurut konsepsi hukum abad modern ini, betapa jauh lebih pentingnya kekuatan-kekuatan sosial yang membentuk hukum dari pada ungkapan-ungkapan hukum secara teknis, tetapi perundang-undangan modern dan problema sosial bertambah kompleks menimbulkan beberapa problema fundamental, seperti kedudukan penafsir hukum dalam perkembangan politik dan sosial.

Dilain pihak ada kritik yang bertolak dari penelusuran terhadap prilaku hukum dan prilaku lainnya yang berada dalam ruang lingkup kompetisi antar prilaku. Satjipto Rahardjo lebih jauh mengemukakan, bahwa pengetahuan kita mengenai tempat  dan peran hukum dalam masyarakat akan lebih memperkaya dan diperdalam manakala kita menyadari, bahwa di dalam masyarakat ada bermacam-macam prilaku yang bisa dijalankan untuk mencapai tujuan-tujuan dan memecahkan persoalan-persoalan. Dengan demikian , dalam rangka pembicaraan mengenai hukum negara dan prilaku hukum itu hanya salah satu dari sekian banyak prilaku yang dapat dijalankan dalam masyarakat.

Dikatakan pula, kalau kita mau mengamati kehidupan di sekeliling kita, dengan jujur, akan terlihat, banyak yang dicapai orang tanpa memikirkan hukum, sekalipun peraturan yang disediakan untuk itu memang ada. Tetapi segera diperingatkan disini, bahwa tanpa memikirkan hukum ini adalah tidak sama dengan melakukan pelanggaran hukum. Ambil misalnya contoh mengenai masalah perkawinan. Cukup banyak suami-istri dan keluarganya yang berhasil mewujudkan keluarga sejahtera dan bahagia tanpa sedikit pun terpikirkan kepada hukum yang mengatur perkawinan.

Penggambaran di atas setidaknya telah menghadapkan kita pada pemahaman sementara, bahwa tidak semua bisa dicapai dengan jalan hukum dan keterbatasan hukum untuk mengjakau tujuan-tujuan sosial tertentu. Ada jalan hukum ada jalan non hukum. Ini setidaknya sebagai suatu keraguan terhadap konsepsi hukum sebagai social engineering, dimana hukum tidak samata-mata berfungsi sebagai  pemeliharaan ketertiban, tetapi bisa lebih jauh dari itu sebagai alat pembaharuan masyarakat atau sebagaimana istilah Recoe Pound sebagai alat perekayasaan masyarakat.

Memahami keterbatasan kemampuan hukum sebagai salah satu dari prilaku yang dapat dijalankan dalam masyarakat, ia memang bisa dibenarkan. Tetapi kita akan menjumpai kejelasan lain bila perbenturan yang ada itu dikaitkan dengan kesepakatan kita pada tujuan hukum.

Hukum mestilah dilihat sebagaimana layaknya hal yang lain dalam dunia empiris. Dalam pandangan sosiogis, hukum terdiri dari perbuatan-perbuatan yang bisa diamati, bukannya terdiri dari peraturan-peraturan sebagaimana konsep peraturan atau norma-norma yang digunakan baik dalam literature jurisprudence maupun dalam bahasa hukum sehari-hari.

Jadi, keterbatasan hukum atau ketidak-terbatasan hukum ditentukan oleh tujuan hukum itu sendiri dan bentuk bangunan hukum yang dipakai. Tujuan-tujuan hukum amat dipengaruhi oleh aliran/mazhab yang dianut dan keadaan dasar hukum dalam masyarakat.

Pada keadaan dasar hukum represif atau hukum otonom memang sulit bagi konsepsi hukum sebagai alat perekayasaan masyarakat. Sebab hukum represif yang menjadi tujuannya adalah ketertiban dan dasar keabsahannya adalah pengamanan masyarakarat. Aturan-aturannya bersifat terperinci namun kurang mengikat pembuat aturan, seringkali terjadi diskresi. Yang dikembangkan adalah “moralitas kekangan”. Hukum tunduk pada politik kekuasaan serta harapan-harapan atas ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak-taatan dianggap perimpangan. Kritisme dipandang sebagai ketidak-setiaan. Sedangkan dalam keadaan hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada kejujuran procedural. Aturan-aturan mengingat, baik penguasa maupun yang dikuasai dan diskresi dibatasi oleh hukum. Paksaan dikendalikan oleh kekangan hukum, dan moralitas instusional. Hukum “merdeka” dari politik. Harapan-harapan tidak terlampau ketat dan dibenarkan oleh hukum misalnya dalam kerangka pengujian aturan hukum. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh prosedur-prosedur yang mapan.

Dalam keadaan dasar hukum represif dan otonom, dapat dimengerti bagaimana keterbatasan hukum di dalam mencapai tujuan-tujuan sosial tertentu, apalagi sebagai social engineering. Jika berhenti pada hukum sebagai tujuan dan aturan yang kaku, maka hukum sebenarnya telah “terpenjara” oleh tujuannya sendiri dan menyulitkan dirinya untuk berkembang dan bersifat tertutup. Tidak demikian halnya dengan jika pengertian kita mengenai hukum yang menempatkan hukum bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai jembatan yang akan membawa kita kepada apa yang dicita-citakan. Dalam keadaan serupa ini, hukum bukanlah semata-mata aturan-aturan atau aspek hukum penekanannya bukanlah pada procedural. Dan dengan pengertian hukum adalah jembatan bagi prilaku-prilaku sosial lainnya. Tujuan ini bisa dicapai dengan menempatkan peranan hukum sebagai social engineering dan bangunan dasar hukum haruslah responsive-progresif.

Menurut pandangan studi hukum yang lebih bersifat suatu teori modern mengenai hukum, dan dilain pihak studi sosial, hukum tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaedah, akan tetapi sebagai “tool of social engineering”. Fungsi hukum menurut pandangan ini adalah untuk mengintergrasikan hubungan-hubungan di antara sesame anggota masyarakat sehingga diperoleh suatu tingkat kemampuan tertentu dalam masyarakat yang disebut “ketertiban”. Oleh karena fungsinya yang demikian, maka setiap kali sector-sektor kehidupan dalam masyarakat berhasil untuk melakukan usahanya, apakah itu politik, ekonomi dan sebagainya, pada gilirannya dibutuhkan hukum untuk mengintegrasikan hubungan-hubungan diantara orang-orang yang melakukan kegiatan di sector-sektor tersebut.

Beberapa indicator positif dari hukum sebagai alat perubahan sosial, maka dalam keadaan dasar hukum responsive peranan dan fangsi hukum sebagai social engineering tidaklah diragukan. Kemungkinan itu diberikan oleh hukum responsive, karena hukum responsif bertujuan agar hukum lebih tanggab terhadap  kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam menangani problem-problem sosial. Keabsahan hukum didasarkan pada keadilan subtantif dan aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Juga, diskresi dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih Nampak dalam bentuk altenatif positif seperti insentif atau sistem-sistem kewajiban mandiri. Moralitas yang nampak adalah “moralitas kerja sama”, sementara aspirasi-aspirasi hukum dab politik berada dalam keadaan terpadu. Ketidak-taatan dinilai dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi. Kesempatan untuk berpartisipasi lebih diperluas melalui integrasi bantuan hukum dab bantuan sosial.

Dari uraian-uraian di atas dengan pendek yang hendak dikemukakan adalah bahwa adanya keterbatasan kemampuan hukum adalah relative dan tergantung dari pandangan dan perngertian terhadap hukum. Dalam pandangan hukum modern  dan pada hukum responsive, hukum bukanlah sekedar sarana ketertiban, keamanan dan kesejahteraan manusia, tetapi ia bergerak ke seluruh tata kehidupan manusia dalam masyarakat jauh berbeda dengan apa yang disebut dengan mitologi. Cita hukum dalam kenyataannya, telah menjadi nyata benar konsisten, apakah dalam pikiran popular maupun dalam disiplin akademik. Hukum sebagai produk masyarakat dipahami seluruhnya. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar