Di dunia ini manusialah
yang berkuasa. Manusia merupakan pusat kegiatan dan perhatian. Oleh
karena itu manusia menjadi subjek hukum, pelaku, dan bukan objek hukum.
Manusia pada umumnya bukan sekedar ingin berkuasa, tetapi ingin tetap
berkuasa, ingin benarnya sendiri, tidak mau disalahkan, ingin diakui
egonya. Tidak mengherankan kalau ada perbedaan pendapat. Perbedaan
pendapat itu wajar, bahkan diperlukan dalam kehidupan demokrasi. Akan
tetapi perbedaan pendapat tidak jarang menjurus pada pertentangan atau
konflik kepentingan manusia (conflict of human interest).
Dengan
terjadinya conflict of human interest manusia hidupnya tidak lagi
tenteram, damai, aman. Pada hal manusia ingin hidup tenteram, tidak
ingin diganggu kepentingannya oleh sesamanya (pencurian, perselingkuhan)
maupun lingkungannya (banjir, gempa bumi), sedangkan manusia sejak dulu
sampai sekarang bahkan dalam waktu yang akan datang, dimana-mana selalu
diganggu kepentingannya. Oleh karena itu manusia membutuhkan
perlindungan kepentingan-kepentingannya. Maka terciptalah perlindungan
kepentingan manusia dalam bentuk kaedah sosial antara lain kaedah hukum.
Hukum
atau produk hukum, dari segi mikro, adalah ungkapan pikiran manusia
yang berisi ungkapan nila-nilai yang bersifat abstrak, yang diungkapkan
menjadi kenyataan yang konkret atau dikristalisasi dalam bentuk bahasa
agar supaya dapat dimengerti oleh sesamanya.
Oleh karena itu hukum
memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi, baik tertulis maupun lisan.
Tidak mungkin hukum itu tanpa bahasa. Hukum terikat pada bahasa:
perjanjian, peraturan, putusan). Akan tetapi perlu diingat bahwa bahasa
bagi hukum adalah sekedar alat dan bukan tujuan
Hukum sebagai
realisasi ungkapan pikiran manusia mula-mula berupa nilai-nilai yang
abstrak sifatnya dan berakar dalam kenyataan masyarakat serta pada
nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman hidup oleh kehidupan bersama.
Nilai-nillai ini berhubungan dengan apa yang benar dan apa yang salah,
kebajikan dan kejahatan, kebaikan dan keburukan, yang dikehendaki dan
yag ditolak.
Nilai ini kemudian dikristalisasi menjadi asas hukum,
tetapi asas hukum ini tidak “larut” dalam konkretisasi tetapi mempunyai
nilai “lebih”, karena tetap mempertahankan sifatnya yang umum atau
abstrak. Asas hukum ini kemudian lebih dikonkretkan lagi, yang sifatnya
masih abstrak umum karena tersirat menjadi norm atau kaedah hukum.
Kemudian norm atau kaedah hukum tadi lebih dikonkretkan lagi yang
tersurat dalam ujud peraturan hukum konkret. Peraturan hukum konkret ini
direalisasi atau dilaksanakan dalam bentuk putusan atau yurisprudensi.
Dari
apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya
hukum itu berlangsung melalui pikiran yang bersifat abstrak, umum dan
mendasar yang merupakan nilai, menjadi asas hukum dan yang kemudian
dikonkretisasi menjadi peraturan hukum konkret dan dilaksanakan menjadi
putusan atau yurisprudensi.
Dengan demikian maka asas hukum adalah
pikiran dasar yang bersifat abstrak umum serta terdapat di dalam, di
belakang atau tersirat dalam peraturan hukum konkret, walaupun tidak
tertutup kemungkinan ada asas hukum yang tersurat atau konkret sifatnya.
Asas
hukum sifatnya umum yang berarti bahwa asas hukum itu dapat berlaku
dalam pelbagai situasi, tidak hanya berlaku atau ditujukan untuk
peristiwa tertentu saja.
Asas hukum dibagi menjadi asas hukum yang
luas yang berhubungan dengan seluruh bidahg hukum (lex posteriori
derogat legi priori) dan asas hukum yang sempit yang berhubungan dengan
bidang hukum tertentu saja (kebebasan berkontrak).
Karena asas hukum
itu sifatnya umum, maka membuka peluang akan adanya
penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian-pengecualian. Contohnya:
Pasal 28A UUD berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kedhidupannya” tetapi implementasinya
dimungkinkan hukuman mati. Pasal 28 I (1) UUD berbunyi: “ Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun”, tetapi pasal 43 (1) Undang-undang tentang
Pengadilan tentang Hak Asasi Manusia berbunyi “Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi sebelum diunangkannya undang-undang ini,
diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc”.
Karena membuka peluang akan adanya pengecualian-pengecualian, maka asas hukum membuat sistem hukumnya fleksibel, luwes.
Asas
hukum merupakan sebagian cita-cita manusia. Oleh karena itu asas hukum
merupakan suatu presumption, suatu persangkaan, sesuatu yang tidak
nyata: putusan hakim dianggap benar, setiap orang diangap tahu akan
undang-undang.
Asas hukum tidak mengenal hierarkhi, yang berarti
bahwa asas hukum tidak mengenal tingkatan-tingkatan, dengan demikian
tidak mungkin terjadi konflik antara asas hukum yang satu dengan asas
hukum yang lain (antara asas “kebebasan berkontrak” dengan asas
“mengikatnya perjanjian bagi para pihak”).
Pengetahuan tentang
sistem hukum dalam menegakkan hukum tidak kurang pentingnya dengan
pengetahuan tentang asas hukum. Kehidupan merupakan sesuatu yang tampak
tidak teratur, tidak terbatas dan bersifat kompleks. Manusia ingin
memahaminya dan menguasai kehidupan nyata yang kompleks itu, maka
kompleksitas kehidupan nyata itu perlu disederhanakan. Dengan
menciptakan sistem atau dengan sistematisasi maka kompleksitas itu
disederhanakan dan dengan demikian lebih mudah dapat dikuasai
Sebagaimana
kita ketahui hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum
merupakan suatu kesatuan unsur-unsur atau bagian-bagian yang
terstruktur, otonom dan bebas. Dengan kemandiriannya atau kebebasannya
sistem hukum bersifat terbuka dalam arti bahwa unsur-unsur di dalam
sistem hukum mempengaruhi unsur-unsur di luar sistem hukum dan
sebaliknya (contoh masalah lingkungan, korupsi). Di dalam sistem hukum
terbuka terdapat sistem hukum terbuka dan tertutup.
Konflik antara
bagian-bagian atau unsur-unsur di dalam sistem hukum tidak dikehendaki.
Oleh karena itu sistem hukum menyediakan asas hukum untuk mengatasi
konflik yang terjadi.
Bagian-bagian dari sistem hukum harus ada di
dalam sistem hukum. Bagian-bagain itu tidak berdiri sendiri-sendiri,
tetapi merupakan satu sistem.
Sistem hukum itu bersifat lengkap yang melengkapi peraturan hukum, karena peraturan hukumnya yang tidak lengkap.
Di
dalam praktek sering orang mencoba-coba melakukan penemuan hukum,
mengadakan penerobosan tanpa menguasai atau tidak memperhatikan metode
penemuan hukum, karena didorong oleh kepentingan sesaat atau kepentingan
pribadi atau kepentingan sekelompok orang saja. Dalam menemukan
hukumnya harus dikuasai pula sumber hukumnya.
Kalau suatu pristiwa
konkret tidak diatur dalam undang-undang maka hukumnya masih mungkin
dicari dengan jalan penalran atau argumentasi, yaitu dengan argumentasi
per analogian atau argumentsi a contraro. Tetapi kalau peristiwa
konkretnya itu sama sekali tidak diatur, maka jawabannya tidak semdah
“dibolehkan” atau “dilarang”, akan teapi harus dipertanyakan apakah
peristiwa konkret yang tidak diatur itu bertentangan dengan ketrtiban
umum, kesusilaan atau tidak. Kalau tidak bertengangan mengapa harus
dilarang.
Maka oleh karena itu dalam kita melaksanakan hukum maka
marilah kita mentaati asas hukum, system hukum dan metode penemuan hukum
agar hukum kita tidak lebih terpuruk lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar