Apakah
yang diharapkan dari Sarjana Hukum dengan pengetahuannya yang
diperolehnya dari Fakultas Hukum dan bekerja dalam profesi hukum?
Setelah menguasai pengetahuan itu apa yang dituntut dari seorang Sarjana
Hukum? Hafal semua peraturan dan teori-teori yang telah diajarkan di
Fakultas? Kalau sudah hafal lalu mau diapakan? Bagaimanakah
mengoperasionalkan pengetahuan yang diperolehnya itu? Itulah beberapa
pertanyaan yang jarang terpikirkan.
Di Fakultas Hukum diajarkan
bidang-bidang hukum, seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum
perdata dan masih banyak bidang-bidang hukum lainnya. Dari sekian banyak
mata kuliah dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya apa yang diberikan
di Fakultas Hukum atau apa sasaran studi hukum dan yang harus dikuasai
oleh Sarjana Hukum adalah pengetahuan tentang kaedah hukum, sistem hukum
dan penemuan hukum.
Kalau sudah menguasai segala pengetahuan yang
diberikan di Fakultas Hukum apa yang kemudian harus dilakukan oleh
Sarjana Hukum dengan pengetahuan yang telah diperolehnya itu?
Bagaimanakah seorang Sarjana Hukum mengoperasionalkan atau mempraktekkan
pengetahuan yang telah diperolehnya itu?
Seorang Sarjana Hukum
selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik konkrit (masalah hukum),
yang harus dipecahkannya. la harus menguasai peristiwa atau konflik itu
dalam arti memahami dan mengerti duduk perkaranya dan kemudian
menerapkan hukumnya. Maka oleh karena itu dengan pengetahuan yang telah
diperolehnya itu Sarjana Hukum harus menguasai kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal problems).
Pada hakekatnya tujuan setiap ilmu adalah pemecahan masalah (problem
solving). Kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hulum ini meliputi
kemampuan untuk a). memutuskan masalah-masalah hukum (legal problem
identification), b). memecahkan masalah-masalah hukum (legal problem
solving) dan), c. rnengambil keputusan (decision making). Disamping
harus rnenguasai kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum Sarjana
Hukurn harus mampu pula mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap
perkembangan hukum di dalam masyarakat. lni menunjukkan kepedulian akan
perkembangan masyarakat atau perkembangan hukum.
Memecahkan
masalah-masalah hukum bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan
mudah. Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial termasuk
masalah hukum. Masalah hukm itu harus diseleksi dari masalah-masalah
sosial lainnya dan kemudian diidentifikasi atau dirumuskan.
Kadang-kadang masalah hukum itu tumpang tindih dengan masalah-masalah
sosial lainnya dan batasnya sering tidak dapat ditarik secara tajam
(masalah agama dan masalah hukum). Kalaupun masalah hukumnya berhasil
diseleksi dan dirumuskan, masih perlu diketahui dan ditetapkan lagi
termasuk bidang hukum apa (penggelapan – pencurian, ingkar janji -
perbuatan melawan hukum). Setelah masalah hukumnya dirumuskan -lebih
tepatnya peristiwa konkretnya dikonstatasi- maka (peristiwa) hukumnya
harus diketemukan dan ditetapkan serta kemudian hukumnya diterapkan
terhadap peristiwa hukumnya dan kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum
Mengapa
harus dilakukan penemuan hukum? Mengapa hukumnya harus diketemukan?
Oleh karena hukumnya, terutama hukum tertulisnya, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka hukumnya perlu dicari perlu diketemukan. Oleh karena itu
diperlukan penemuan hukum. Telah luas diketahui bahwa (peraturan) hukum
itu tidak jelas dan tidak lengkap. Tidak mungkin ada peraturan hukum
yang lengkap selengkap-Iengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Hal ini
memang wajar oleh karena kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah
maupun jenisnya, sehingga tidak mungkin ada satu peraturan hukum yang
dapat mengatur kepentingan manusia itu secara tuntas, lengkap dan jelas.
Telah
diketengahkan di muka bahwa Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada
peristiwa atau konflik (masalah hukum) konkret yang harus dipecahkannya
dan dicarikan hukumnya. Dalam menghadapi dan memecahkan konflik atau
masalah hukum, penemuan hukum itu selalu diperlukan oleh karena itu
penemuan hukum selalu berhubungan dengan peristiwa konkret.
Secara
sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan atau
usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap.
Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum
oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum. Lebih lanjut dapat dikatakan
bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
konkret tertentu. Adapun penemuan hukum itu meliputi proses perumusan
masalah hukum, pemecahan masalah hukum dan pengambilan keputusan.
Konkretisasi
atau individualisasi hukum itu berhubung dengan adanya peristiwa
konkrit atau konflik. Kepada sarjana hukum yang bekerja dalam profesinya
selalu dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik yang harus
dipecahkannya atau diselesaikannya. Peristiwa konkret atau konflik itu
harus dipecahkan dan untuk memecahkannya harus dicarikan (kaedah)
hukumnya. Hukum atau das Sollen itu abstrak. Hukum yang abstrak itu
tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwanya yang konkret.
Oleh karena itu hukumnya harus dikonkretkan lebih dulu dengan
menghubungkan dan menyesuaikan dengan peristiwa konkretnya untuk
kemudian dicari peristiwa hukumnya dan kemudian diterapkan hukumnya.
Dalam
menemukan hukum ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikuasai.
Yaitu: a. adanya tata urutan dalam sumber (penemuan) hukum (hierarkhi),
b. sistem hukum, dan c. metode penemuan hukum.
Perlu diketahui bahwa
sumber (penemuan) hukum itu mengenal tata-urutan atau kewerdaan
(hierarkhi). Seperti yang telah diketahui sumber (penemuan) hukum itu
ialah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi,
perjanjian internasional dan doktrin. Di samping itu perlu mendapatkan
perhatian juga bahwa perilaku merupakan sumber hukum juga, oleh karena
di dalam perilaku manusia itu terdapat hukumnya. Oleh karena kepentingan
manusia itu yang mendorong perilakunya maka kepentingan merupakan
sumber hukum juga. Undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari
sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti sebuah istilah
hukum misalnya maka haruslah dicari lebih dahulu di dalam undang-undang.
Kalau ternyata di dalam undang-undang tidak ada maka barulah dicari
dalam hukum kebiasaan, kemudian di dalam yurisprudensi. Kalau di dalam
yurisprudensipun tidak ada maka baru dicari di dalam doktrin dan begitu
selanjutnya. Kalau kita bicara tentang sumber hukum, maka hal itu tidak
akan lepas dari kaedah hukum serta asas-asas hukum. Oleh karena itu
dalam menemukan hukum harus pula dikuasai mengenai sifat dan ciri-ciri
kaedah dan asas-asas hukum.
Hukum merupakan suatu sistem, yaitu suatu
kesatuan yang tidak menghendaki adanya konflik di dalamnya. Kalau
sampai terjadi konflik maka konfllik itu tidak akan dibiarkan
berlangsung berlarut-Iarut. Oleh karena itu maka dalam menemukan hukum
ciri-ciri sistem hukum itu harns diketahui. Sistem hukum mengenal
klasifikasi. Di samping itu sistem hukum bersifat konsisten. Konsisten
dalam arti secara ajeg mengatasi konflik yang terjadi. Sering terjadi
konflik antara undang-undang dengan undang-undang, antara undang-undang
dengan putusan pengadilan, antara undang-undang dengan hukum kebiasaan.
Untuk mengatasi konflik-konflik itu tersedialah asas-asas yang secara
konsisten digunakan. Kalau peraturan perundang-undangannya tidak
bersifat lengkap, maka sistem hukumnyalah yang sifatnya lengkap.
Ketidak-Iengkapan atau ketidak-jelasan itu dilengkapi dengan penemuan
hukum. Setiap sistem hukum mempunyai konsep-konsep fundamental.
Ciri-ciri sistem hukum seperti yang telah dikemukakan di atas harus
diperhatikan dalam menemukan hukum.
Untuk menemukan hukum ada cara
atau metodenya. Metode penemuan hukum ini telah banyak diketahui, akan
tetapi sering tidak disadari. Metode penemuan hukum itu adalah metode
penafsiran (interpretasi), metode argumentasi dan metode eksposisi atau
konstruksi hukum. Kiranya bukan tempatnya untuk menguraikan
metode-metode tersebut di sini.
Bagaimanakah prosedur penemuan hukum
itu? Untuk mudahnya diambil contoh penemuan hukum oleh hakim perdata,
karena penemuan hukum itu merupakan kegiatan hakim setiap harinya yang
dilakukan secara profesional. Mengapa hakim perdata, karena peluang
penemuan hukumnya lebih banyak dibandingkan dengan hakim pidana yang
dibatasi oleh pasal l ayat 1 KUHP.
Prosedur penemuan hukum itu
meliputi jawab menjawab yang tujuannya agar hakim mengetahui peristiwa
konkret apa yang sekiranya menjadi sengketa antara kedua belah pihak.
Kalau sekiranya oleh hakim sudah diketahui peristiwa konkretnya, maka
peristiwa atau sengketa itu dibuktikan agar hakim dapat mengkonstatasi
kebenaran peristiwa konkret atau sengketa tersebut. Hakim tidak akan
mengkonstatasi suatu sengketa tanpa mengadakan pembuktian lebih dulu.
Setelah peristiwa konkretnya dirumuskan atau dikonstatasi maka peristiwa
konkret itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum agar (peraturan)
hukumnya dapat diterapkan, sebab (peraturan) hukumnya tidak dapat
diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkretnya. Jadi peristiwa
konkret yang telah dikonstatasi itu kemudian harus dikonversi atau
diterjemahkan menjadi peristiwa hukum. Setelah peristiwa konkretnya
dikonversi menjadi peristiwa hukum barulah hukumnya dapat diterapkan.
Kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum merupakan rangkaian
kegiatan, sehingga pada hakekatnya penemuan hukum itu dimulai sejak
jawab menjawab. Akan tetapi momentum dimulainya penemuan hukum adalah
pada saat membuktikan dan kualifikasi peristiwa konkretnya. Di sini
dicarilah peristiwa konkret yang relevan; untuk itu harus pula diketahui
hukumnya. Langkah kedua adalah mengkualifikasi peristiwa konkret:
peristiwa konkret haus diterjemahkan dalam bahasa hukum. Yang
dikualifikasi adalah peristiwa konkret, untuk dijadikan peristiwa hukum
agar hukumnya dapat diterapkan. Langkah ketiga adalah mencari atau
menseleksi (peraturan) hukum dari sumber-sumber hukum: undang-undang,
hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin serta perilaku manusia.
Langkah keempat adalah menganalisis atau menginterpretasi (peraturan)
hukum tersebut. Langkah kelima adalah menerapkan peraturan hukumnya
terhadap peristiwa hukumnya dengan menggunakan silogisme. Langkah keenam
adalah mengevaluasi dan mempertimbangkan argumentasinya. Di sini harus
diperhatikan Idee des Rechts, yaitu unsur-unsur yang harus diperhatikan
dalam menjatuhkan putusan, yaitu putusan harus mengandung keadilan
(Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan kepastian hukum
(Rechtssicherheit).Tiga unsur itu ideaalnya harus diupayakan ada dalam
setiap putusan secara proporsional. Dalam prakteknya tidak mudah
mengupayakan hadirnya ketiga unsur itu secara proporsional, tetapi kalau
salah satu unsur ditinggalkan maka unsur lain dikorbankan: kalau yang
diperhatikan itu hanyalah keadilan saja maka kepastian hukumnya
dikorbankan dan begitu selanjutnya. Jadi paling tidak ketiga unsur itu
harus ada sekalipun tidak secara proporsional.
Lain dari pada itu apa
yang oleh Suto misalnya dianggap adil belum tentu diarasakan adil oleh
Noyo. Tidaklah mudah untuk memberi definisi tentang isi keadilan. Yang
lebih mudah ialah untuk memberi batasan tentang hakekat keadilan.
Permasalahan tentang keadilan baru muncul apabila terjadi konflik antara
dua orang yang mempermasalahkan tentang hak masing-masing.
Pada
hakekatnya keadilan adalah pernilaian terhadap tindakan atau perlakuan
seseorang pada orang lain, yang pada umumnya dilihat dari pihak yang
terkena tindakan tersebut. Pada umumnya apa yang dinamakan adil itu
mengandung unsur pengorbanan.
Prosedur penemuan hukum bukanlah
merupakan kegiatan yang terdiri dari langkah-Iangkah yang berurutan dari
langkah pertama, diikuti oleh langkah kedua, ketiga dan selanjutnya
sampai langkah terakhir. Kadang-kadang sampai pada langkah ketiga harus
kembali ke langkah pertama dan begitu selanjutnya.
Etika profesi
Etika
adalah salah satu bagian dari filsafat yang mengadakan studi tentang
kehendak manusia. Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika
adalah filsafat tingkah laku manusia, yang mencari pedoman tentang
bagaimana seharusnya manusia bertindak atau berbuat
Sasaran etika
semata-mata adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang dilakukan
dengan sengaja. Baik tidaknya, tercela tidaknya suatu perbuatan itu
dinilai dengan ada tidaknya kesengajaan. Orang harus bertanggung jawab
terhadap perbuatannya yang dilakukan dengan sengaja. Perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja harus sesuai dengan kesadaran etisnya.
Kesadaran etis bukan hanya berarti sadar akan adanya perbuatan yang baik
dan buruk saja, tetapi sadar pula bahwa orang wajib berbuat baik dan
wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Etika yang berasal dari
kesadaran manusia merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik
dan mana yang buruk dan sekaligus juga merupakan pemilaian atau
kualifikasi terhadap perbuatan seseorang. Dalam etika kita tidak hanya
berbicara tentang kehendak atau perilaku manusia melainkan juga tentang
kaedah dan motivasi perilaku manusia. Etika pada hakekatnya merupakan
pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana seyogyanya seseorang itu
bertindak.
Bagi etika, baik buruknya, tercela tidaknya perbuatan itu diukur dengan tujuan hukum, yaitu ketertiban masyarakat.
Bagi
hukum problematiknya adalah ditaati atau dilanggar tidaknya kaedah
hukum. Hukum menuntut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah
pelaksanaan atau pentaatan kaedah hukum semata-mata. Sebaliknya etika
lebih mengandalkan iktikad baik dan kesadaran moral pada pelakunya. Oleh
karena itu etika menuntut moralitas, yang berarti bahwa yang dituntut
adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib dan tanggung jawab.
Itulah sebabnya timbul kesulitan untuk menilai pelanggaran etika selama
pelanggaran itu tidak merupakan pelanggaran hukum. Etika seperti halnya
juga dengan hukum mengancam pelanggaran dengan sanksi. Hanya saja
pelanggaran pada etik sanksinya tidak dapat dipaksakan dengan sarana
ekstrem.
Kata profesi dalam bahasa Indonesia yang tepat dan baku
tidak atau belum ada. Pada umumnya profesi dapat dilukiskan sebagai
pekerjaan yang menyediakan atau memberikan pelayanan yang "highly
specialized intellectual". Menurut Roscoe Pound kata profesi itu "refers
to a group of men persuing a learned art as a common calling in the
spirit of a public service, no less a public service because it may
incidentally be a means of livelihood".
Jadi profesi adalah pekerjaan
pelayanan yang dilandasi dengan persiapan atau pendidikan khusus yang
formil dan landasan kerja yang ideel serta didukung oleh cita-cita etis
masyarakat. Adapun ciri-ciri profesi ialah: merupakan pekerjaan
pelayanan, didahului dengan persiapan atau pendidikan khusus formil,
keanggotaannya tetap dan mempunyai cita-cita etis masyarakat. Profesi
berbeda dengan pekerjaan lain yang tujuannya adalah untuk memperoleh
keuntungan semata-mata, sedangkan profesi memusatkan perhatiannya pada
kegiatan yang bermotif pelayanan. Profesi tidak selalu dibedakan dengan
tajam dari pekerjaan-pekerjaan lain (vocation, occupation). Peraturan
mengenai profesi pada umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan
mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam
melaksanakan profesinya yang dituangkan dalam kode etik.
Di dalam
praktek pelaksanaan profesi (hukum) cenderung berkembang kearah mencari
keuntungan (dokter, pengacara, notaris), sehingga kesadaran hukum dan
kepedulian sosial menurun
Profesi hukum harus berlandaskan etik. Demi
hukum itu sendiri profesi hukum harus berlandaskan etik. Dapatlah
kiranya profesi hukum itu dirumuskan sebagai suatu kegiatan pelayanan
dalam bidang hukum melalui pendidikan tinggi hukum berdasarkan etik.
Kode etik profesi hukum yang bersifat umum tidak ada, karena profesi
hukum sangat bervariasi. Hal ini tampak dari adanya beberapa kelompok
profesi hukum, yaitu antara lain hakim, jaksa, pengacara, notaris, dosen
hukum dan sebagainya. Mengingat bahwa secara teknis fungsional dan
operasional tugas masing-masing kelompok dalam profesi hukum itu
berbeda, maka masing-masing mempunyai kode etiknya sendiri sendiri.
Hakim misalnya yang tergabung dalam lKAHI mempunyai kode etiknya sendiri
sebagai hasil Keputusan Musyawarah Nasional ke IX Ikatan Hakim
Indonesia tahun 1988 yang dikenal dengan Panca Brata, pengacara yang
tergabung dalam IKADIN mempunyai kode etiknya sendiri, notaris yang
tergabung dalam INI mempunyai kode etiknya yang ditetapkan oleh Kongres
Ikatan Notaris Indonesia ke IX tahun 1974. Universitas Gadjah Mada sejak
tahun 1997 mempunyai Kode Etik Dosen. Mereka semua itu bergerak di
bidang hukum, tetapi ada perbedaan tugas. Pada hakekatnya kegiatan
mereka bersifat ilmiah yang membutuhkan dasar pendidikan tinggi hukum.
Mereka harus mampu merumuskan masalah-masalah hukum, memecahkannya,
menerapkannya dan memberi putusan. Yang diperlukan adalah kemampuan
untuk "solving legal problems". Baik hakim, jaksa dan sebagainya harus
menguasai "the power of solving legal problems". Meskipun secara teknis
operasional kegiatan mereka berbeda namun di lapangan mereka selalu
dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus dipecahkannya, oleh
karena itu harus menguasai dan mampu mengoperasionalkan bekal yang
diperolehnya dari pendidikan tinggi hukum.
Profesi hukum tidak dapat
disamakan dengan profesi-profesi lainnya seperti profesi dokter
misalnya. Profesi dokter merupakan profesi dengan kegiatan tunggal yang
tidak bervariasi dibandingkan dengan profesi hukum, sehingga ikatan
antara para anggotanya erat dan pelaksanaan kode etiknya lebih mudah dan
mantap.
Tujuan dirumuskannya kode etik adalah untuk mencegah
terjadinya perilaku yang tidak etis dari anggotanya dan memberikan arah
serta menjamin mutu moral anggotanya. Pemegang profesi dituntut
mengutamakan profesinya secara bertanggung jawab. Sekalipun kode etik
itu dimaksudkan untuk mencegah adanya campur tangan dari pihak luar
profesi, namun berfungsi juga sebagai kontrol sosial. Pelanggaran kode
etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya, sehingga terhadap
kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan teguran.
Kode etik
memerlukan adanya Dewan Kehormatan untuk mengawasi pelaksanaan profesi
dan pelaksanaan kode etik (Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1997
telah memiliki Dewan Kehormatan Kode Etik Dosen).
Penemuan hukum dan etika profesi
Apakah hubungannya penemuan hukum dengan etika profesi?
Dari
apa yang telah diuraikan di atas maka penemuan hukum merupakan kegiatan
pokok dan penting dalam profesi hukum pada umumnya Dikatakan pada
umumnya karena profesi hukum itu bervariasi dan meliputi beberapa
kelompok, yaitu seperti yang dikemukakan di atas antara lain hakim,
pengacara, notaris, dosen dan sebagainya. Sekalipun secara teknis
fungsional dan operasional tugas mereka itu berbeda dan masing-masing
kelompok mempunyi kode etiknya masing-masing, namun mereka itu pada
hakekatnya dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus
diselesaikan atau dipecahkannya. Untuk itu mereka tanpa kecuali harus
melakukan penemuan hukum. Adapun sifat atau sikap yang diharapkan dari
setiap penemu hukum adalah seperti berikut.
Pertama, harus mendapat
perhatian bahwa dalam kita melakukan penemuan hukum harus disadari bahwa
problematik hukum itu berpusat pada tiga hal, yaitu: a. terlindungi
tidaknya kepentingan subyek hukum bersangkutan, b. terjamin tidaknya
kepastian hukum dan c. tercipta tidaknya keseimbangan tatanan dalam
masyarakat.
Kemudian kita harus bersikap terbuka, mau mendengarkan
pendapat orang lain atau kritik. Dengan demikian kita akan memperoleh
masukan. Kita tidak boleh menutup mata dan telinga untuk
pandangan-pandangan baru dan hanya bersikukuh pada pandangan atau
pendapatnya sendiri yang sudah kuno atau ketinggalan zaman tanpa mau
mengikuti perkembangan ilmu hukum atau masyarakat.
Selanjutnya dalam
penemuan hukum kita tidak boleh bersikap รก priori, tidak boleh mempunyai
praduga terhadap kebenaran suatu peristiwa. Tidak boleh ada prasangka
mengenai suatu peristiwa konkret sebelum peristiwa konkretnya itu
dibuktikan. Tidak jarang terjadi ada hakim yang sudah mempunyai rumusan
putusan mengenai suatu perkara, sedangkan peristiwanya belum dibuktikan
karena hanya mendasarkan pada dugaan pada waktu proses pembuktian sedang
berlangsung.
Bersikap sabar, tekun dan tidak emosional diperlukan
dalam menemukan hukum. Orang yang emosional sudah tidak jemih lagi
pikirannya.
Walaupun putusan hakim itu bukan produk ilmu, akan tetapi
proses penemuan hukum itu bersifat ilmiah. Oleh karena itu sikap
objektif dan tidak memihak harus ada dalam kita menemukan hukum.
Demikian pula sikap jujur, terutama jujur dalam mencari kebenaran dan
jujur mengakui kesalahan sendiri merupakan sikap ilmiah yang perlu
dimiliki dalam kita menemukan hukum.
Penemu hukum harus mempunyai
kepedulian akan perkembangan dan masyarakat dan jeli menangkapnya. Oleh
karena itu harus mampu mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap
perkembangan hukum dan masyarakat. Tidak sekedar hanya membenarkan,
tetapi membenarkan dengan memberi landasan yuridis. Jadi kegiatan
penemuan hukum tidak lepas dari etika profesi.
Untuk menutup uraian ini saya kutipkan kata-kata mutiara dari Sidney Smith:
"Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending".
DAFTAR ACUAN
Solomon, Robert C.-,1987, Etika, suatu pengantar, Penerbit Erlangga
Sumaryono, E.-, 1996, Etika Profesi Hukum, Penerbit Kanisius
Bos, MLDL., AM.-, tanpa tahun, Methods for the formation of legal concepts and for legal research, AE.E.Kluwer, Deventer
Kraan, K.J.-, 1981, Sylabus Rechtssysteem, Universiteit van Amsterdam
Sudikno
Mertokusumo, 1986, Profesi dan pendididkan hukum, makalah disajikan
pada Temu Ilmiah Mahasiswa Notariat Indonesia di Kaliurang
Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo, 1993, Bab-bab tentang penemuan hukum, PT Citra Aditya Bakti
van Eikema Hommes,.H.J.-, roneografi, tanpa tahun, Logica en rechtsvinding, Vrije Universiteit Amsterdam
Veronica Komalawati, 1989, Etika Praktek Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan
Wiarda, Mr.G.J.-, 1988, 3 Typen van rechtsvinding, W.E.J.Tjeenk Willink,Zwolle
Tidak ada komentar:
Posting Komentar