Apakah jaksa boleh
mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK)? Ahir-akhir ini tidak
sedikit kasus dimana jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung. Marilah kita lihat bagaimanakah menurut sistem hukumnya
yang berlaku?
Pasal 263 (1) KUHAP berbunyi bahwa “terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung”. Bunyi pasal tersebut bagi awam sangat sumir: “terhukum atau ahli
warisnya”. Memang merekalah yang berkepentingan, jaksa sama sekali
tidak disebut di dalam pasal tersebut. Dikecualikan ialah putusan bebas
dan putusan lepas dari segala tuntutan, yang berarti bahwa putusan bebas
dan putusan lepas dari segala tuntutan, tidak dapat dimohonkan
peninjauan kembali. Apakah karena tidak disebut dalam pasal tersebut
jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali?
Apakah kalau
suatu peristiwa itu tidak diatur atau tidak disebutkan dalam
undang-undang berarti peristiwa itu dibolehkan? Karena jaksa tidak
disebut dalam pasal tersebut apakah itu berarti bahwa jaksa dibolehkan
mengajukan permohonan peninjauan kembali? Apakah justru sebaliknya,
karena tidak diatur atau disebutkan maka berarti dilarang?
Kalau
suatu peristiwa tidak diatur atau tidak disebut dalam undang-undang kita
cenderung menafsirkan “tidak ada larangan” jadi “dibolehkan”. Tetapi
sebaliknya kita dapat berpendapat karena tidak disebut maka “dilarang”.
tidak sesederhana itulah menafsirkannya. Tidak sesederhana itulah
jawabannya. Kita harus melihat undang-undang sebagai suatu sistem,
sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pasal-pasal.
Dalam
membaca atau menafsirkan suatu pasal dalam undang-undang maka pasal
tersebut harus diletakkan dalam proporsinya. Pasal yang bersangkutan
harus ditempatkan dalam sistem, jangan dikeluarkan dari sistem atau
undang-undang yang bersangkutan dan diteropong tersendiri lepas dari
pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Sebab suatu
pasal dalam satu undang-undang merupakan kesatuan dengan pasal-pasal
lain dalam undang-undang tersebut. Sebuah undang-undang merupakan suatu
sistem, merupakan suatu kesatuan, sehingga merupakan kesatuan dengan
pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian
setiap pasal dalam suatu undang-undang mempunyai kaitan atau hubungan
dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut dan tidak
terpisahkan satu sama lain.
Pasal 263 (1) KUHAP tersebut memang bagi
awam kurang tegas, tetapi tidak boleh/dapat disalahtafsirkan, karena di
samping Pasal 263 (1) KUHAP tersebut masih ada pasal lain dalam KUHAP
yaitu Pasal 266 (3) yang berbunyi bahwa “Bahwa yang dijatuhkan dalam
putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah
dijatuhkan dalam putusan semula.” Putusan peninjauan kembali tidak boleh
lebih berat dari pada putusan kasasinya. Ini berarti bahwa jaksa dalam
tingkat peninjauan kembali nanti tidak boleh menuntut lebih berat dari
putusan kasasinya.
Pertanyaannya ialah apakah jaksa dalam permohonan
peninjauan kembali nanti akan mengajukan tuntutan yang sama atau bahkan
kurang dari putusan kasasinya? Kalau jaksa akan menuntut sama dengan
putusan kasasinya apakah itu tidak berarti membuang-buang waktu, tenaga
atau mencari kerjaan?. Kalau jaksa akan menuntut kurang dari putusan
kasasinya apa itu tidak berarti bertentangan dengan tuntutan dalam
kasasinya?
Jadi kalau suatu peristiwa konkret tidak ada peraturan
yang mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya peristiwa konkret itu
dibolehkan atau dilarang, tetapi harus diteliti lebih lanjut apakah
peristiwa konkret itu bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum
atau tidak. Kalau tidak, untuk apa dilarang, sedangkan kalau
bertentangan sudah selayaknya dilarang.
Ini merupakan penemuan hukum
(menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap),
tetapi penemuan hukum itu ada metodenya, ada aturannya, tidak sekedar
atau asal mengadakan penerobosan: nrobos sana nrobos sini mencari
enaknya, mencari untungnya. Lebih-lebih dalam hukum pidana penemuan
hukum tidak sebebas dalam hukum perdata. Kepentingan para pihak atau
terdakwa harus diperhatikan, sebab hukum adalah untuk melindungi
kepentingan manusia. Baik ia terdakwa atau bukan.
Sebaiknya jaksa tidak bersikap terlalu agresif dan proaktif untuk menuntut kesalahan dan hukuman
Walaupun
tugas jaksa adalah sebagai penuntut, tetapi kalau terdakwa terbukti di
persidangan tidak bersalah ia harus jujur dan berani menuntut bebas.
Tidak perlu malu atau "loosing face", sebab jaksapun harus mencari kebenaran dan keadilan.
Hukum
memang harus ditegakkan, tetapi bukan seperti yang lazim kita dengar:
“FIAT JUSTITIA ET PEREAT MUNDUS” yang berarti hukum harus ditegakkan
meskipun dunia akan hancur, melainkan: ‘FIAT JUSTITIA NE PEREAT MUNDUS’
yang berarti bahwa hukum harus ditegakkan agar dunia tidak hancur.
MENURUT
JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM, KEJAKSAAN MENANGANI PERKARA
PEMBUNUHAN NASRUDIN "DENGAN HATI-HATI" PASALNYA PERKARANYA INI MENARIK
PERHATIAN(berita dalam KOMPAS). Pertanyaan yang menggelitik: Kalau
perkara itu tidak menarik perhatian apakah jaksa tidak akan serius
menanganinya? Kasihan para pencari keadilan yang perkaranya kecil dan
tidak menarik perhatian. Quo Vadis Reformasi Hukum?
Yogya 18 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar