Hukum acara, khususnya hukum pembuktian dan penemuan hukum, relatif belum lama mendapat perhatian dari para sarjana hukum. Selama ini hukum acara boleh dikatakan setengahnya diabaikan atau diremehkan oleh para sarjana hukum. Hal ini terbukti dari perhatian mereka antara lain pada pernbuktian dan penemuan hukum, kurang atau skeptis, serta dari kenyataan bahwa pada umumnya mereka yang menulis tentang hukum hanya tertarik pada masalah tentang hukum materiil saja: tentang hukum perdata materiil, hukum pidana materiil dan sebagainya. Buku-buku tentang pembuktian dan penemuan hukum boleh dikatakan masih jarang dibandingkan dengan buku-buku tentang hukum perdata materiil. Pandangan tersebut diatas, bahwa para sapna hukum lebih tertarik pada hukum materiil, dianut tidak lepas dari pengaruh sistem pendidikan hukum diwaktu yang lampau, karena setiap pendidikan hukum diwaktu yang lampau, terutama di Belanda yang berpengaruh di lndonesia, dipusatkan atau mengacu dan harus msngacu pada hukum materiil dan dengan sendirinya harus menitik beratkan pada problematik hukurn materiil, pada hukum sebagai sumber masalah. kearah itulah calon sarjana hukum diwaktu yang lampau dididik. Oleh karena itu perhatian para sarjana hukum lebih banyak ditujukan pada hukum materiil.
Di samping itu tidak asing lagi ungkapan terkenal diwaktu yang lampau bahwa hakim adalah "la bouche de la to” seagai pengaruh aliran legisme, yang berarti bahwa hakim hanya sekedar corong dariundang-undang saja' Pandangan pada waktu itu tidak mengakui fungsi
hakim dan tanggung jawabnya daram rnenentukan ataumenetapkan apa yang
terjadi. Tugas hakim hanyalah mekhanis, seikedar menerapkan bunyi
undang-undang dan tidak melakukan penemuan hukum. Dengan demikian hukum
acaranya, terutama hukum pembuktian dan penemuan hukum tidak beberapa
mendapat perhatian, sehingga perhatiannya dicurahkan pada hukum materiil
perdata.
Kemahiran
hukum, pemecahan masalah-masalah hukum(legal problem solving) penemuan
hukum dan sebagainya, belum lama ini mulai diajarkan namun orientasinya
sebagian besar para sarjana hukum masih diarahkan kepada hukum materiil.
Tulisan-tulisan masih banyak yang berhubungan dengan hukum perdata
materiil.
Berdasarkan
apa yang telah dikemukakan diatas maka dirasa perlu bagi para sarjana
hukum untuk murai memusatkan perhatiannya juga kepada masarah-masalah
hukum acara, penemuan hukum dan pembuktian. Hukum perdata materiil tidak
rnungkin dilepaskan sama sekali dari hukum acara perdata. Hukum perdata
materiil harus dilaksanakan dan ditegakkan. Makin maju manusia' makin
berkembang kepentingannya makin banyak pula terjadi sengketa' untuk itu
dibutuhkan hukum acara perdata.
Dalam
titeratur hukum acara perdata modern hukum acara beracara
(actienrecht),hukum perdata meliputi hukum pembuktian(bewijsrecht),
hukum penyitaan (beslagrecht), penemuan hukum(rechtsvinding) dan hukum
eksekusi (executiere) Bukan berarti bahwa masing-masing bagian itu
merupakan cabang ilmu yang berdiri sendiri-sendiri. Tidak dimaksudkan
dalam tulisan singkat ini untuk menguraikan tentang keseluruhan hukum
acara perdata.
Berikut
ini akan diuraikan tentang asas-asas umum hukum acara perdata terutama
untuk menggugah minat para sarjana hukum untuk mendalami hukum acara
khususnya hukum acara perdata. Kalau akhir-akhir ini banyak dibicarakan
tentang "general principle of good government'. Di dalam hukum acara
perdata dikenal pula asas-asas umum semacam itu, maka dibawah ini akan
diuraikan Tentang asas-asas umum peradilan perdata yang baik(general
principles of good judicature)
Terlebih
dahulu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan
peradilan(judicature) Yang dimaksudkan dengan peradilan adalah
pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang konkret, fungsi mana
dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh
negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara
memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah
eigenrichting. "Pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang
konkret" berarti bahwa tuntutan hak ini nyata-nyata ada dan diajukan ke
pengadilan, suatu badan yang diadakan oleh negara, yang bebas dari
pengaruh yudisiil maupun extra-yudisiil. pelaksanaan hukum itu terjadi
dengan suatu putusan, yang bersifat mengikat para pihak, definif dan
tuntas. Tuntutan hak yang dimaksudkan adalah tindakan untuk memperoleh
perlindungan hukum tanpa bertindak menghakimi sendiri (eigenrichting).
Beracara
perdata bersifat sukarela yang berarti bahwa apakah seseorang akan
mengajukan tuntutan hak atau tidak itu bersifat sukarela' Terserah pada €seorang
yang dirugikan oleh orang lain misalnya apakah ia akan mengajukan
tuntutan hak (menggugat) atau tidak' Pada dasarnya setiap orang dapat
mengajukan gugatan atau tuntutan hak apabila ia mempunyai kepentingan
hukum, yang diungkapkan dengan adagium point d’interet, point d’action
. Jadi sepenuhnya terserah kepada yang mempunyai kepentingan hukum
untuk menggugat atau tidak. Dengan demikian hakim bersikap menunggu atau
pasif sampai ada perkara diajukan atau dibagikan (oleh Ketua)
kepadanya. Tidak ada penggugat (gugatan) maka tidak ada hakim (wo kein
Klager ist, ist kein Richter). Jadi hakim tidak pergi ke pelosok-pelosok
menawarkan diri untuk memeriksa dan mengadili perkara kalau-kalau ada
perkara. Adagium lain, yang
Berhubungan dengan asas”hakimpasif”,tersebut ialah nemo judexsine actore
,yangberartitiadahakimmakatiadatuntutan,yang diartikan juga: tiada
tuntutan maka tiada hakim. Jadi hakim bersikap menunggu datangnya
tuntutan atau gugatan, tidak bertindok secara ex officio (iudex ne
procedat ex officio) tahun 1970 singkatnya berbunyi: tugas pokok badan-badan peradilanmenerima setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Terbuka
sidang umum menunjukkan bahwa pemeriksaan dimuka sidang berlangsung
transparan, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang dirahasiakan,
disembunyikan dari umum Asas ini tercantum dalam
pasal 17 ayat 1 UU no 14 tahun 1970 yang berbunyi: sidang pemeriksaan
pengadilan adatah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang
menentukan lain. Sering diartikan asas terbukanya sidang ini sebagai
social controle, kontrol masyarakat dalam jalannya sidang. Social controle
tidak berarti bahwa masyarakat boleh menegur atau mengadakan koreksi
terhadap hakim di persidangan. Kehadiran masyarakat (pengunjung) Di persidangan sudah berarti kontrol terhadap jalannya persidangan.
Sekalipun asasnya adalah terbukanya sidang untuk umum,akan tetapi sebagaimana asas itu memberi peluang akan pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan, maka disinipun dimungkinkan adanya sidang tertutup untuk umum. lni
bukan berarti bahwa pemeriksaannya berlangsung tidak transparan, akan
tetapi ini justru dilakukan untuk melindungi kepentingan para pihak.
Pemeriksaan pengadilan dengan pintu tertutup misalnya dalam perceraian
atau apabila menyangkut anak-anak.
Karena
pencari keadilan atau justiciabele mengajukan tuntutan ke pengadilan
itu bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum,maka hakim tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih apapun, bahkan
dengan dalih hukumnya tidak ada sekalipun. Hakim wajib memeriksa dan
mengadili perkara (pas. 14 ayat 1 UU 14 tahun 1970). Tujuan beracara di
pengadilan adalah sampai pada suatu putusan. Hakim wajib menggali
nilai-nilai hukum yang ada didalam masyarakat (pas.27 UU no.14 th 1970).
Disini hakim berkesempatan untuk melakukan penemuan hukum, walaupun
penemuan hukum itu tidak hanya dilakukan kalau hukumnya tidakada.
$ebagai salah satu asas ini ialah banyaknya undang-undang sekarang ini
yang memuat ketentuan bahwa peraksanaan beberapa pasar di dalamnya
dikeluarkannya peraturan pemerintah (peraturan organik), sehingga banyak
hakim yang tidak berani memutus perkara yang peraturan pemerintah
sebagai peraturan pelaksanaannya belum diterbitkan. Hakim menunggu
sampai dikeluarkan peraturan pemerintah yang bersangkutan, tetapi tidak
kunjung datang. Disini diperlukan Penguasaan sistem hukum dan
pengetahuan tentang penemuan hukum serta keberanian dari hakim untuk
mengadakan trobosan-trobosan hukum. Mengadakan trobosan hukurn tidak
berarti asal berani tanpa mengingat keseluruhan sistem hukum. Sistem
hokum harus didahulukan. Cara berfikir mendasar pada system huku
semata-mata disebut system oriented
thinking.kalau sistemnya tidak member jawaban yang memuaskan barulah ada
kebebasab bagi hakim untuk menyimpang dari system dengan memperhatikan
permasalahan. Ini yang disebut dengan problem oriented thinking.
Terobosan hokum jangan sampai mengarah pada contra legem( melanggar
undang-undang).
Hokum
itu sudah ada, hanya masih perlu digali kepermukaan. Bahwa menurut paul
scholten hukum itu tidak hanya terdapat dalam peraturan-peraturan atau
hukum tidak tertulis saja, tetapi terdapa tpada perilaku manusia.
Kalau
mengingat keadaan hukum kita dewasa ini kita wajib prihatin. Betapa
tidak. Kita semua tahu bahwa menurt UU no.14 tahun 1970 hakim itu ada
dibawah dua atap yaitu dibawah Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman
(yang berubah nama menjadi departemen kehakiman dan perundang-undangan
kemudian menjadi departemen kehakiman dan Ham). Dengan
dikeluarkannya
UU no.35 tahun 1999 hakim tidak lagi dibawah dua atap, tetapi dibawah
satu atap, yaitu Departemen Kehakiman dan Ham. ltu baru akan berlangsung
lima tahun sesudah diundangkannya UU no.35 tahun 1999. Kemudian
dikeluarkan UU no.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang antara
lain menentukan bahwa hakim Pengadilan Pajak secara oganisatoris,
administratif dan finansiil ada dibawah Departemen Keuangan. Apakah ini
tidak bertentangan dengan UU no.35 tahun 1999 (contra legem) yang
menempatkan hakim dari 4 lingkungan peradilan di bawah Mahkarnah Agung?
Belum lagi didalam UU no.14 tahun 2002 itu dengan menyebut pasal 24 UUD
dalam konsideransnya, menentukan bahwa Pengadilan Pajak itu ada langsung
dibawah Mahkamah Agung, yang berarti bahwa sekarang ini ada 5
lingkungan peradilan, sedangkan menurut pasal 24 ayat 2 UUD (Amandemen
ketiga) dibawah Mahkamah Agung hanya ada 4 lingkungan peradilan. lni
sudah merusak sistem hukum lndonesia.
Dalam
memeriksa perkara hakim harus bersikap tut wuri, mengikuti dari
belakang.Tutwuri tidak berarti bahwa hakim pasif memimpin sidang. Hakim
harus aktif memimpin sidang dengan membantu para pencari keadidlan dan
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.(pas.5 ayat 2) Tut wuri berarti bahwa hakim terikat pada
peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegata iudicare). Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari yang dituntut (pas. 178 ayat 3 HIR, ne ultra petita).
Hakim perdata tidak memberi keputusan kepada apa yang tidak dituntut
(ultra petita non cognoscitur). Dari pasal 178 ayat 3 HIR dapat
disimpulkan bahwa kepentingan para pihak merupakan salah satu surnber
hukum disamping undang-undang, kebias aan,yurisprudensi, doktrin dan
perjanjian internasional.
Berhubung
dengan pasal 178 ayat 3 HIR ini sering dipertanyakan apakah hakim masih
terikat pada pasal 178 ayat 3 HIR tersebut kalau ia menghadapi petitum
primair dan petitum subsidiair yang pada umumnya berbunyi "mohon putusan
seadil-adilnya" Disini hakim dituntut kearifannya.
Pada dasamya asas hukum dasar daram acara perdata adalah kesamaan: suum cuiqe tibuerc, yang berarti setiap orang mendapat haknya atau to each his own. Lebih populer lagi ungkapan equatity before the law.
Lebih ranjut ini berarti bahwa setiap orang harus diperlakukan sama. Di
dalam hukum acara perdata asas ini lebih dikenal dengan audie et
alteram partem (pas.125, 126 HIR). Kedua belah pihak dipersidangan harus
diperlakukan sama dalam arti didengar bersama. Misalnya kalau hanya
penggugat saja yang datang, sedangkan tergugat tidak hadir, maka hakim
tidak boreh mendengar penggugat tanpa hadirnya tergugat.
Dalam
hal pembuktian dikenal asas bahwa barangsiapa mengatakan mempunyai
suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau
untuk menyangkal hak orang lain maka dialah yang diharuskan membuktikan
adanya hak atau peristiwa itu (actori incumbit probatio): pasal 163 HlR,
1865 KUHPer. Asas ini berhubungan dengan asas lain yang berbunyi:
membuktikan suatu negatie itu tidak mungkin atau setidak-tidaknya sukar
(negativa nen sunt probanda).Permasalahan pokok dalam hal pembuktian
ialah pembagian beban pembuktian. Dalam hal ini tidak ada peraturan atau
pedomannya. Hanya ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengatakan
bahwa pihak yang paling sedikit dirugikanlah yang harus membuktikan.
Kecuali
sebagai pertanggungan jawab hakim kepada masyarakat dan para pihak
serta kepada pengadilan yang lebih tinggi, juga untuk menunjukkan
transparansi dan objektivitas pemeriksaan maka putusan harus disertai
alasan-alasan atau pertimbangan- pertimbangan (konsiderans) mengapa
hakim sampai pada putusannya itu (pas.184 ayat 1, 319 HIR). Jadi
putusannya itu tidak bersifat langsung, sehingga dapat diketahui
pertimbangan- pertimbangan apa yang menyebabkan hakim sampai pada
putusannya itu. Kalau suatu putusan tidak disertai alasan-alasan, rnaka
hal itu merupakan alasan untuk dibatalkan ditingkat kasasi (MA 22 Juli
1970). Hal lini bukan berarti bahwa hakim merupakan "la bouche de la
societe".
Telah
dikemukakan bahwa tujuan berperkara pada dasarnya adalah sampai pgda
putusan. Tidak akan suatu proses pemeriksaan perkara itu berhenti
di jalan, tidak dilanjutkan sampai pada putusan, apapun bunyi putusan
itu: ditolak, dikabulkan atau tidak diterima. Kalau tidak terbuktipun
putusannya akan dijatuhkan juga. Suatu putuan itu harus objektif,
definitif dan tuntas. Objektif disini berarti tidak memihak kepada salah
satu pihak. Bahwasanya salah satu pihak diputus menang bukan berarti
memihak, tetapi memang itulah yang terbukti. .Definitif berarti bahwa
putusan itu sudah pasti. lsinya tidak menimbulkan pertanyaan atau
keraguan. Timbul pertanyaan dengan adanya putusan dari Pengadidlan Niaga
yang memungkinkan adanya putusan yang memuat "dissenting opinion",
yaitu pendapat hakim yang berbeda dengan hakim anggota yang lain yang
dimuat pula dalam putusan. Perlu difahami bahwa lembaga dissenting
opinion berasal dari sistem hukum Anglosaks, sehingga perlu
dipertanyakan apakah sudah sesuai dengan sistem hukum kita bahwa putusan
itu harus definitif. Ruftusan harus tuntas, selesai, sehingga tidak
menimbulkan persoalan atau perkara baru atau tidak dapat dieksekusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar