Pada suatu
rencana akad nikah dalam rangka perkawinan seorang bangsawan, salah seorang
anggota “dewan adat” mencari “dodorok”, dan ternyata kue itu tak ada dalam
bawaan (“erang-erang”) pengantin laki-laki. Anggota adat ini menunjukkan
kekecewaan dan kemarahannya dan memberikan ancaman dengan menyatakan secara
tegas bahwa kalau kue “dodorok” itu tak berhasil diadakan maka acara pernikahan
ditunda, bahkan dapat dibatalkan. Tentu saja para pembawa “erang-erang” menjadi
panik. Pada hal antara calon pengantin masih dalam keluarga yang sangat dekat,
sepupu dua kali.
Pembuka tulisan
ini merupakan suatu refleksi betapa “dodorok” sebagai kue bawaan
(“erang-erang”) dalam acara pernikahan Makassar sangat besar artinya.
“Dodorok”adalah kue “picuru”.Picuru menurut pendapat saya adalah “keteladanan”,
sehingga kehadirannya dalam acara akad nikah sangat besar artinya.
Apakah
sesungguhnya “dodorok” itu sehingga oleh kalangan orang Makassar dipandang
sebagai penentu atau syarat sahnya suatu bawaan perkawinan? Bukankah, “dodorok”
itu hanyalah sejenis kue orang kampung yang hampir dikenal oleh suku bangsa
lain di Indonesia ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan “dodol”? Bukankah,
dia hanya kue tradisional dengan rasa manis-gurih-renyah, warna hitam
kemerah-merahan, yang bahan-bahannya terdiri atas tepung beras ketan, gula
aren, santan kelapa yang diproses di atas wajan besar oleh beberapa orang
laki-laki yang bergantian berduaan “akkaleo”? Lalu, apanya yang istimewa
sebagai kue pengantin?
Prof Supriadi
Hamdat, seorang budayawan yang teramat menguasai seluk beluk kue tradisional
dapat menarik kesimpulan bahwa “dodorok” sebagai kue “picuru” adalah syarat
mutlak sebagai bawaan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan, selain
kue picuru lainnya.
Dalam suatu
acara perkawinan, penulis menyaksikan sendiri seorang anggota dewan adat
kerajaan setempat menjelaskan makna “dodorok” sebagai symbol bawaan. Dengan
bersemangat beliau menyatakan bahwa siapapun yang makan kue ini pasti akan
merasa senang karena rasanya memang enak. Proses pembuatannya juga unik, karena
dilakukan secara bergotong-royong, bukan hanya keluarga yang membuatnya akan
tetapi dibantu oleh tetangga lainnya. Itu maknanya yang pertama.
Yang kedua
ialah bahwa “dodorok” merupakan perpaduan dari beras (padi) sebagai symbol
kehidupan bagi orang Makassar. Bagi orang Makassar, modal utama untuk bisa
hidup mandiri adalah beras sehingga tingkat sosialnya dapat diukur dengan
seberapa luas tanah persawahan yang dimilikinya. Beras ketan ini dipadu dengan
gula (aren). Gula adalah lambang kebahagiaan bagi orang Makassar, dan kalau
gula itu dipadu dengan kelapa (santan), maka sempurnalah kesenangan dan
kebahagiaan itu. Hal ini sering diungkap dengan kata-kata:”Rampea golla
nakurempoko kaluku”, yang artinya kalau kamu memberikan kesenangan kepada saya
maka akan kubalas dengan kebahagia-an.
Oleh Prof
Supriadi Hamdat (dalam bukunya: Budaya Pangan Gaya Hidup Keluarga Makassar,
ASPublishing 2010) dikatakan bahwa antara beras, gula dan santan ini dimasak,
diaduk sampai bersatu padu secara gotong royong di atas perapian (“nikaleo”)
dengan suasana gembira-ria. Penulis sewaktu kecil menyaksikan prosesi ini,
sempat kaget mendengar “kegaduhan” karena begitu gembira orang-orang yang
mengerjakan itu sambil bersorak-gembira, tiada beban. Tanda-tanda bahwa
“dodorok” itu telah matang apabila telah dapat berpisah secara sempurna dengan
wajan tempat memasaknya. kemampuan berpisah dari wajan besar sebagai pertanda
kematangan dari “dodorok”, adalah symbol bahwa calon pengantin laki-laki itu
adalah benar-benar telah siap mandiri, berpisah dari “rumah” tempat dia
ditempah selama ini. Simbol kemandirian tetap mereka harus pegang, walau orang
tua khususnya orang tua laki-laki tetap mengawal biduk keluarga baru ini agar
tidak oleng.
Oleh Syamsul
Salewangang yang juga seorang budayawan dan pemerhati kearifan lokal dinyatakan
bahwa: jika saja ‘kabar ini’ tersebar luas di masyarakat kita, maka smakin
cerahlah kehidupan ini. Ada sedikit makna yg tersembunyi yg dapat sy tangkap
dari uraianta al : 1. proses pengadukan adonan dodorok supaya
matang….sesungguhnya proses mendidk anak supaya mereka menjadi mandiri/matang
haruslah dilakukan secara bersama-sama oleh keluarga dan masyarakat setempat….bukan
oleh orang tua sendiri….2. perpaduan/percampuran beras, gula aren, santan dan
air menjadi dodorok yg berwarna hitam bermakna bhw sifat-sifat istimewa yang
dibawah masing-masing keluarga yg akan berkawin, haruslah larut dalam satu
pembauran yg sempurna, menunggalkan keegoisan/keakuan masing-masing pihak…..dan
bahkan rela menjadi HITAM…….hhhhmmm……begitu mulia pesan2 yg disimbolkan oleh
leluhur kita…
Setelah matang,
maka “dodorok” ini diangkat dan dipindahkan ke wadah yang lain untuk dibentuk
dengan ukuran tertentu, kurang lebih seperti piring-ikan perbuah, dengan alas
daun pisang kering. Daun pisang kering ini rupanya mempunyai makna tersendiri.
Kalau pada tulisan tentang “Akmata-mata Korontigi” (Memaknai Kehidupan
& Kearifan Lokal) yang menjadi simbol adalah pucuk daun pisang sebagai
penerus generasi, maka yang dipakai sebagai pengalas “dodorok” justeru daun
pisang kering sebagai simbol bahwa walau sudah uzur, orang tua akan tetap
mengawal pengantin laki-lakinya dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.
Orang Makassar memang terkesan tetap ikut bertanggung jawab bersama dengan anak
laki-lakinya dalam membina rumah tangga.
“Dodorok”
sebagai simbol dalam acara perkawinan, walau banyak bahan bakunya terdiri atas
beras, gula, dan santan, tetapi telah meninggalkan warna aslinya. Dia tidak
lagi membawa warna putih untuk beras, warna merah untuk gula dan warna putih
untuk santan. Dia telah membawa warna tersendiri sebagai identitasnya yaitu
warna hitam bercahaya, walau tetap dengan rasa manis, gurih dan kenyal.
Tampaknya menghilangnya warna semula adalah harapan besar bagi pengantin dalam
pergaulannya nanti dalam keluarga barunya agar tampil dengan warna sendiri.
Dia, sebagai keluarga baru tidak boleh lagi membeda-bedakan bahwa keluarga
isterinya adalah warna merah, dan keluarga suaminya adalah warna putih. Mereka
sudah larut dalam keluarga yang lebih luas dengan warna yang khas. Keluarga
isterinya, juga adalah keluarga suaminya. Mereka tiada beda antara satu dengan
lainnya, walau pada hakikatnya mereka berasal dari keluarga berbeda.
“Dodorok”
sering juga dimaknai sebagai kue kesempurnaan = empat dimensi (“sulapa appak”).
Sebelum dilakukan pemasakan maka dibuat tunggku dengan menggali tanah,
kemudian dimasak dengan api. Untuk keseimbangan nyala api maka dibuat
“timburung” dari bambu yang berfungsi meniupkan angin pada api. Untuk
menjaga kekentalan adonan digunakan air. Jadi, unsur tanah, api, angin
dan air terdapat di dalamnya.
Pada saat acara
prosesi selesai, “dodorok” ini dibagi kepada hadirin, yang diterima dengan
sangat senang hati. “Dodorok” ini dibawa pulang sebagai ole-ole terutama bagi
mereka yang masih mempunyai anak laki-laki, atau anak perempuan yang masih
belum kawin, diberikan untuk dimakan oleh mereka dengan harapan kiranya anak
yang belum kawin ini mengikuti jejak dari pemilik “dodorok” ini agar juga
segera menikah.
Rupanya,
kehadiran “dodorok” sebagai bawaan pengantin laki-laki adalah “alat peraga”
dari dewan adat kepada para hadirin dalam acara akad nikah tersebut sehingga
ketidak hadirannya sebagai alat peraga sangat mempengaruhi “presentasinya”
dalam menjelaskan seluk beluk dan makna per-kawinan. Akan tetapi yang
terpenting ialah bahwa “dodorok” sebagai “picuru” tetap sangat essensiil dalam
acara ini.
Seorang teman
pernah menyarankan agar “dodorok” ini dapat dijadikan “kue picuru” dalam pesta
demokrasi pada kabupaten yang mayoritas bersuku Makassar. Apa relevansinya?
Teman ini menyatakan komentarnya bahwa sebaiknya “warna” kuning, merah, biru
dan warna lainnya kalau telah menyatu dalam “perkawinan politik” sebagai
anggota dewan perwakilan rakyat seyogyanya berubah menjadi warna tersendiri,
yaitu warna “khas rakyat yang diwakilinya”.
Selain
“dodorok”, juga ada “bannang-bannang” . Oleh seorang budayawan yang
berpengetahuan luas dan dalam: Bate Manriwa Gau’ menyebutnya sebagai kue
bangsawan: Antara lain beliau menulis: “Angtu Bannang-bannangnga Nak,
Kanrejawa Karaeng..Kasaba’ tani asseng pokokna, tani asseng
cappakna, rellai tani asseng manna mamo tekne naerang..). Maknanya:
seorang manusia status Karaeng, tak terlalu
mempermasalahkan..apakah org tahu atau tidak siapa dia, dan dia ikhlas akan hal itu, dia
tak terlalu mempermasalahkan walau jelas-jelas manis yg dibawa dalam
masyarakat…
kue ini bagai benang kusut…boleh jadi setiap manusia kebanyakan akan mempertanyakan asal usulnya, namun kepada dirinya dia tahu bahwa Sang Maha menciptakkannya tahu siapa dia sebenanrnya..
kue ini bagai benang kusut…boleh jadi setiap manusia kebanyakan akan mempertanyakan asal usulnya, namun kepada dirinya dia tahu bahwa Sang Maha menciptakkannya tahu siapa dia sebenanrnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar