Senin, 31 Desember 2012

KUE DODORO DAN BANNANG-BANNANG, KUE TELADAN



Pada suatu rencana akad nikah dalam rangka perkawinan seorang bangsawan, salah seorang anggota “dewan adat” mencari “dodorok”, dan ternyata kue itu tak ada dalam bawaan (“erang-erang”) pengantin laki-laki. Anggota adat ini menunjukkan kekecewaan dan kemarahannya dan memberikan ancaman dengan menyatakan secara tegas bahwa kalau kue “dodorok” itu tak berhasil diadakan maka acara pernikahan ditunda, bahkan dapat dibatalkan. Tentu saja para pembawa “erang-erang” menjadi panik. Pada hal antara calon pengantin masih dalam keluarga yang sangat dekat, sepupu dua kali.
Pembuka tulisan ini merupakan suatu refleksi betapa “dodorok” sebagai kue bawaan (“erang-erang”) dalam acara pernikahan Makassar sangat besar artinya. “Dodorok”adalah kue “picuru”.Picuru menurut pendapat saya adalah “keteladanan”, sehingga kehadirannya dalam acara akad nikah sangat besar artinya.
Apakah sesungguhnya “dodorok” itu sehingga oleh kalangan orang Makassar dipandang sebagai penentu atau syarat sahnya suatu bawaan perkawinan? Bukankah, “dodorok” itu hanyalah sejenis kue orang kampung yang hampir dikenal oleh suku bangsa lain di Indonesia ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan “dodol”? Bukankah, dia hanya kue tradisional dengan rasa manis-gurih-renyah, warna hitam kemerah-merahan, yang bahan-bahannya terdiri atas tepung beras ketan, gula aren, santan kelapa yang diproses di atas wajan besar oleh beberapa orang laki-laki yang bergantian berduaan “akkaleo”? Lalu, apanya yang istimewa sebagai kue pengantin?
Prof Supriadi Hamdat, seorang budayawan yang teramat menguasai seluk beluk kue tradisional dapat menarik kesimpulan bahwa “dodorok” sebagai kue “picuru” adalah syarat mutlak sebagai bawaan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan, selain kue picuru lainnya.
Dalam suatu acara perkawinan, penulis menyaksikan sendiri seorang anggota dewan adat kerajaan setempat menjelaskan makna “dodorok” sebagai symbol bawaan. Dengan bersemangat beliau menyatakan bahwa siapapun yang makan kue ini pasti akan merasa senang karena rasanya memang enak. Proses pembuatannya juga unik, karena dilakukan secara bergotong-royong, bukan hanya keluarga yang membuatnya akan tetapi dibantu oleh tetangga lainnya. Itu maknanya yang pertama.
Yang kedua ialah bahwa “dodorok” merupakan perpaduan dari beras (padi) sebagai symbol kehidupan bagi orang Makassar. Bagi orang Makassar, modal utama untuk bisa hidup mandiri adalah beras sehingga tingkat sosialnya dapat diukur dengan seberapa luas tanah persawahan yang dimilikinya. Beras ketan ini dipadu dengan gula (aren). Gula adalah lambang kebahagiaan bagi orang Makassar, dan kalau gula itu dipadu dengan kelapa (santan), maka sempurnalah kesenangan dan kebahagiaan itu. Hal ini sering diungkap dengan kata-kata:”Rampea golla nakurempoko kaluku”, yang artinya kalau kamu memberikan kesenangan kepada saya maka akan kubalas dengan kebahagia-an.
Oleh Prof Supriadi Hamdat (dalam bukunya: Budaya Pangan Gaya Hidup Keluarga Makassar, ASPublishing 2010) dikatakan bahwa antara beras, gula dan santan ini dimasak, diaduk sampai bersatu padu secara gotong royong di atas perapian (“nikaleo”) dengan suasana gembira-ria. Penulis sewaktu kecil menyaksikan prosesi ini, sempat kaget mendengar “kegaduhan” karena begitu gembira orang-orang yang mengerjakan itu sambil bersorak-gembira, tiada beban. Tanda-tanda bahwa “dodorok” itu telah matang apabila telah dapat berpisah secara sempurna dengan wajan tempat memasaknya. kemampuan berpisah dari wajan besar sebagai pertanda kematangan dari “dodorok”, adalah symbol bahwa calon pengantin laki-laki itu adalah benar-benar telah siap mandiri, berpisah dari “rumah” tempat dia ditempah selama ini. Simbol kemandirian tetap mereka harus pegang, walau orang tua khususnya orang tua laki-laki tetap mengawal biduk keluarga baru ini agar tidak oleng.
Oleh Syamsul Salewangang yang juga seorang budayawan dan pemerhati kearifan lokal dinyatakan bahwa: jika saja ‘kabar ini’ tersebar luas di masyarakat kita, maka smakin cerahlah kehidupan ini. Ada sedikit makna yg tersembunyi yg dapat sy tangkap dari uraianta al : 1. proses pengadukan adonan dodorok supaya matang….sesungguhnya proses mendidk anak supaya mereka menjadi mandiri/matang haruslah dilakukan secara bersama-sama oleh keluarga dan masyarakat setempat….bukan oleh orang tua sendiri….2. perpaduan/percampuran beras, gula aren, santan dan air menjadi dodorok yg berwarna hitam bermakna bhw sifat-sifat istimewa yang dibawah masing-masing keluarga yg akan berkawin, haruslah larut dalam satu pembauran yg sempurna, menunggalkan keegoisan/keakuan masing-masing pihak…..dan bahkan rela menjadi HITAM…….hhhhmmm……begitu mulia pesan2 yg disimbolkan oleh leluhur kita…
Setelah matang, maka “dodorok” ini diangkat dan dipindahkan ke wadah yang lain untuk dibentuk dengan ukuran tertentu, kurang lebih seperti piring-ikan perbuah, dengan alas daun pisang kering. Daun pisang kering ini rupanya mempunyai makna tersendiri.  Kalau pada tulisan tentang “Akmata-mata Korontigi” (Memaknai Kehidupan & Kearifan Lokal) yang menjadi simbol adalah pucuk daun pisang sebagai penerus generasi, maka yang dipakai sebagai pengalas “dodorok” justeru daun pisang kering sebagai simbol bahwa walau sudah uzur, orang tua akan tetap mengawal pengantin laki-lakinya dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Orang Makassar memang terkesan tetap ikut bertanggung jawab bersama dengan anak laki-lakinya dalam membina rumah tangga.
“Dodorok” sebagai simbol dalam acara perkawinan, walau banyak bahan bakunya terdiri atas beras, gula, dan santan, tetapi telah meninggalkan warna aslinya. Dia tidak lagi membawa warna putih untuk beras, warna merah untuk gula dan warna putih untuk santan. Dia telah membawa warna tersendiri sebagai identitasnya yaitu warna hitam bercahaya, walau tetap dengan rasa manis, gurih dan kenyal. Tampaknya menghilangnya warna semula adalah harapan besar bagi pengantin dalam pergaulannya nanti dalam keluarga barunya agar tampil dengan warna sendiri. Dia, sebagai keluarga baru tidak boleh lagi membeda-bedakan bahwa keluarga isterinya adalah warna merah, dan keluarga suaminya adalah warna putih. Mereka sudah larut dalam keluarga yang lebih luas dengan warna yang khas. Keluarga isterinya, juga adalah keluarga suaminya. Mereka tiada beda antara satu dengan lainnya, walau pada hakikatnya mereka berasal dari keluarga berbeda.
“Dodorok” sering juga dimaknai sebagai kue kesempurnaan = empat dimensi (“sulapa appak”). Sebelum dilakukan pemasakan maka dibuat tunggku dengan menggali tanah, kemudian dimasak dengan api. Untuk keseimbangan nyala api maka dibuat “timburung” dari bambu yang berfungsi meniupkan angin pada api. Untuk menjaga kekentalan adonan digunakan air. Jadi, unsur tanah, api, angin dan air terdapat di dalamnya.
Pada saat acara prosesi selesai, “dodorok” ini dibagi kepada hadirin, yang diterima dengan sangat senang hati. “Dodorok” ini dibawa pulang sebagai ole-ole terutama bagi mereka yang masih mempunyai anak laki-laki, atau anak perempuan yang masih belum kawin, diberikan untuk dimakan oleh mereka dengan harapan kiranya anak yang belum kawin ini mengikuti jejak dari pemilik “dodorok” ini agar juga segera menikah.
Rupanya, kehadiran “dodorok” sebagai bawaan pengantin laki-laki adalah “alat peraga” dari dewan adat kepada para hadirin dalam acara akad nikah tersebut sehingga ketidak hadirannya sebagai alat peraga sangat mempengaruhi “presentasinya” dalam menjelaskan seluk beluk dan makna per-kawinan. Akan tetapi yang terpenting ialah bahwa “dodorok” sebagai “picuru” tetap sangat essensiil dalam acara ini.
Seorang teman pernah menyarankan agar “dodorok” ini dapat dijadikan “kue picuru” dalam pesta demokrasi pada kabupaten yang mayoritas bersuku Makassar. Apa relevansinya? Teman ini menyatakan komentarnya bahwa sebaiknya “warna” kuning, merah, biru dan warna lainnya kalau telah menyatu dalam “perkawinan politik” sebagai anggota dewan perwakilan rakyat seyogyanya berubah menjadi warna tersendiri, yaitu warna “khas rakyat yang diwakilinya”.
Selain “dodorok”, juga ada “bannang-bannang” . Oleh seorang budayawan yang berpengetahuan luas dan dalam: Bate Manriwa Gau’ menyebutnya sebagai kue bangsawan: Antara lain beliau menulis:            “Angtu Bannang-bannangnga Nak, Kanrejawa Karaeng..Kasaba’                      tani asseng pokokna, tani asseng cappakna, rellai tani asseng manna          mamo tekne naerang..).  Maknanya: seorang manusia status Karaeng,                 tak terlalu mempermasalahkan..apakah org tahu atau tidak siapa dia,              dan dia ikhlas akan hal itu, dia tak terlalu mempermasalahkan walau               jelas-jelas manis yg dibawa dalam masyarakat…
kue ini bagai benang kusut…boleh jadi setiap manusia kebanyakan akan mempertanyakan asal usulnya, namun kepada dirinya dia tahu bahwa Sang Maha menciptakkannya tahu siapa dia sebenanrnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar