Penataran kali ini adalah mengenai aspek hukum di pasar
modal. Ketentuan di bidang pasar modal ini merupakan satu tatanan di bidang
hukum yang
diperlukan dalam menunjang pembangunan ekonomi. Pasar modal ini bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
Pertumbuhan
dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkanan
kesejahteraan rakyat.
Seperti diketahui hukum merupakan
kepentingan manusia baik secara mikro maupun yang bertugas untuk menciptakan keseimbangan
masyarakat dan kepastian hukum. Kepentingan manusia
selalu diancam oleh bahaya yang terbesar yang mengancam kepentingan manusia
datangnya justru dari manusia itu sendiri. Keseimbangan tatanan di dalam
masyarakat akan tercipta apabila kepentingan manusia terpenuhi dan terlindungi.
Pencurian, pembunuhan, sengketa akan menganggu keseimbangan tatanan di dalam
masyarakat yang selalu diusahakan untuk dilenyapkan agar keseimbangan tatanan
di dalam masyarakat pulih kembali. Ditangkapnya dan diadilinya pencuri,
diselesaikannya sengketa akan memulihkan keseimbangan tatanan did lam
masyarakat, masyarakat akan merasa lega. Sekalipun sudah ada perlindungan kepentingan
dalam bentuk kaedah hukum (hukum, undang-undang), namun manusia masih
memerlukan kepastian bahwa kepentingan akan terpenuhi dan hak dan kewajiban
dapat silaksanakan dengan tentram. Hukum yang bersifat formal mengutamakan
kepastian hukum. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan manusia,
perilaku manusia itu harus diatur dan perlu diatur pula tentang hak dan
kewajiban secaramerata dan ada kepastian bahwa hak dan kewajiban itu dapat
dilaksanakan disertai dengan sanksi yang memadai terhadap pelanggarnya.
Sering dikatakan bahwa hukum
itu ketinggalan dari peristiwa. Yang dimaksud ialah bahwa hukumnya(undang-undang)
tidak lagi dapat dijangkau peristiwa yang semula diatur, karena peristiwanya
kemudian berkembang dengan pesat. Hal ini wajar dan tidak mengherankan, karena
hukum dalam hal ini undang-undang, yang dimaksudkan untuk mengatur peristiwa
tertentu itu, sifatnya statis, tidak berubah, tidak berkembang, kecuali
diadakan amandemen oleh pembentuk undang-undang atau dicabut oleh
undang-undang. Bahkan hukum (undang-undang) itu pada hakekatnya tidak mempunyai
kekuatan atau kekuasaan seandainya tidak ada peristiwa, diatur, terjadi. Baru
kalau peristiwa yang menjadi jangkauannya( diatur) terjadi, hukum (
undang-undang) itu menjadi hidup, aktif dan diterapkan oleh hakim terhadap
suatu peristiwa. Hukum yang dituangkan dalam undang-undang itu dikembangkan oleh
hakim dengan putusan. Hukumnya (undang-undangnya) bersifat statis sementara
peristiwanya yang diatur berkembang pesat. Memang dapat diusahakan agar supaya
hukumnya lebih dapat mengikuti peristiwanya, yaitu dengan merumuskan
undang-undang secara umum dan tidak terlalu kasuistis. Kecenderungannya
sekarang ialah bahwa dalam pembentukan undang-undang mengarah kepada”die flucht
in die generalklausel”, yang artinya bahwa dalam merumusakan undang-undang
lebih mengutamakan rumusan-rumusan yang umum. Hal ini lebih memberi kebebasan
kepada hakim dalam member keadilan. Untuk itu pembentuk undang-undang harus
melihat jauh kedepan guna mengantisipasi terjadinya peristiwa-peristiwa yang
mungkin akan terjadi dikemudian hari. Di damping itu harus dikuasai pengetahuan
tentang ekonomi dan teknologi. Jadi dengan merumuskan undang-undang secara umum
dan dengan melihat jauh kedepan hukum akan dapat lebih lama mengikuti
perkembangna masyarakat dan dapat lebih lama menjangkau peristiwa atau
masyarakat yang berkembang. Akan tetapi apada suatu saat(cepat atau lambat)
hukum atau undang-undang yang dirumuskan secara umum( tidak kasuistis) itu
akhirnya akan ketinggalan juga karena keseluruhan kegiatan kehidupan manusia
itu sedemikian banyak, baik jenis maupun jumlahnya sehingga tidak mungkin
ditampung dalam satu undang-undang yang itu-itu juga. Hal ini dapat dilihat
dari pekembangan pasar modal yang dituangkan dalam pelbagai peraturan
berturut-turut, dari antara lain UU 15 tahun 1992, keputusan presiden no. 2 th
1976, keputusan presiden no 53 th 1990 sampai pada UU 8 tahun 1995 tentang
pasar modal.
Kepentingan ekonomi diambah
dengan globalisasi ekonomi berkembang sangat pesat. Kecuali bahwa seperti yang
dikemukakan di atas, hukum sebagai sanana ketinggalan dari kepentingan ekonomi
maka terdapat "kesenjangan”(gap) antara pandangan ekonomi dengan pandangan
hukum. pandangan ekonomi menitik beratkan kepada spekulasi dan keprcayaan
sebagaimana terjadi antara para pengusalra sedangkan pandangan hukum menitik
beratkan pada formalitas, security (kepastian hukum, pembuktian) dan itikad
baik. Peraturan yang terlalu ketat akan membatasi ruang gerak sebaliknya kalau
terlalu longgar akan mengurangi kepastian hukum.
Bursa adalah tempat penawaran
atau pertemuan para pedagang (penjual dan pembeli), yang didirikan untuk
kegiatan perdagangan uang dan efek (lihat Kep.Pres. no.52 tahun 1976 tentang
Pasar Modal jo. UU no.15 tahun 1951 tentang Penetapan UU Darurat tentang Bursa,
yang kemudian dijadikan UU no.15 Tahun 1952). Undang-undang no.8 tahun 1995
tentang Pasar Modal sendiri membedakan antara Bursa Efek dan Pasar Modal: Bursa
efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan abu sarana
untuk mernpertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan
tujuan memperdagangkan efek di antara mereka & sedangkan pasar modal adalah
kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.
Yang
dimaksud dengan transaksi bursa di sini ialah pertemuan penawaran jual beli
efek antara bursa efek dengan pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek,
atau kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan oleh bursa efek mengenai jual beli efek. Pembicaraan tentang
transaksi bursa ini difokuskan pada perjajian jual beli. sengketa dalam suatu
perjanjian pada umurnnya berkaitan dengan dirugikannya salah satu pihak oleh
lawannya. sebelum membicarakan tentang perjarjian jual beli di pasar modal
kiranya perlu dikemulskan terlebih dahulu tentang teori- teori dasar hukum
perjanjian.
Tidak banyak yang mengetahui
bahwa teori dasar mengenai perjanjian itu merupakan reaksi terhadap putusan
pengadilan mengenai jual beli saham. Dalam tahun 1856 terjadi perkara di pengadilan
di Keulen antara komisioner Weiler dengan firma Oppenheim. Komisioner weiler
menerima tilgram dari firma Oppenheim yang memerintahkan Weiler untuk menjual
sejumlah saham. Kemudian ternyala bahwa tilgramnya cacat dan bahwa oppenheim
menghendaki membeli saham serta bahwa petugas pengirim tilgram khilaf (salah
menangkap). Weiler yang bertindak sebagai komisioner harus menyerahkan
saham-saham yang telah dijualnya dan untuk itu harus dibelinya kembali,
sementara kursnya naik. Dengan demikian Weiler menderita kerugian dan oleh
karena itu menggugat oppenheim untuk membayar ganti rugi. Pengadilan
mengabulkan gugatan weiler. sekalipun purusan itu sendiri dirasakan memuaskan
dari segi kepatutan dan rasa keadilan, tetapi menimbulkan reaksi dari para ahli
hukum (Rutten, 1954: 82).
Kasus di
pengadilan di Keulen tersebut menimbulkan pertanyaan sebagai berikut.
Bagaimanakah penyelesaiannya kalau antara kehendak dan pernyataannya atau
keterangannya itu tidak sesuai terjadi konflik? Apakah perjanjian terjadi?
Kalau terjadi apa dasarnya? Kalau tidak apa akibatuya? Pertanyaan-pertanyaan
mengenai dasar mengikatnya para pihak dalam perjanjian tersebut menimbulkan
tiga teori yang tidak asing lagi, yang mencoba memberi jawabannya yaitu teori
kehendak teori pernyataan atau Keterangan dan teori kepercayaan. Sekedar sebaga
refreshing, menurut teori kehendak pada dasarnya kalau terjadi pertentangan
antara kehendak dan pernyataannya, maka kehendaklah yang menentukan.
Kehendaklah ymg menyebabkan terjadinya perjanjian. Menurut teori pernyataan,
maka pernyataanlah yang menyebabkan terjadinya perjanjian, sedang menurut teori
kepercayaan, tidak setiap penyataan menyebabkan terjadinya perjanjian. Kalau
terjadi konflik antara kehendak dengan pernyataan, hanya pernyataan yang
menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan itu sesuai dengan yang dikehendakilah
yang diterima atau yang menyebabkan terjadinya perjanjian.
Karena yang dibicarakan ini
adalah mengenai perjanjian, makna tidak kurang pentingnya untuk dibicarakan
mengenai asas - asas hukum perjanjian.
Seperti yang telah diketahui
maka sistem hukum perjajian. menurut KUHPerdata itu mengandung konfadiksi di
dalamnya: di satu sisi menganut asas konsensual, yaitu bahwa perjanjian jual
beli terjadi dengan terjadinya kata sepakat, sekalipun pemilikannya belum
beralih (pas.1458 KUHPerd),sehingga akan terasa tidak layak atau tidak adil
kalau pembeli yang belum menerima barangnya harus memikul risiko kalau
barangnya musna, Di sisi lain pasal 1460 KUHPerd, yang merupakan pengaruh dari
hukum Perancis menentukan bahwa pembeli harus memikul risiko apabila barangnya
musna" Tidak mengherankan kalau Mahkamah Agung dengan SEMA no.3/1963
menginstruksikan kepada para hakim untuk tidak menggunakan passl 1460 KUHPerd.
Berhubung dengan itu mengingat
bahwa pasar modal menggunakan sistem elektronik, maka yang merupakan masalah
ialah mengenai momentum beralihnya hak milik. Kapankah hak milik itu beralih:
pada saat terjadinya transaksi, pada saat penyerahan saham/uang atau saat nama
pembeli tercantum dalam Daftar Pemegang Saham. Menurut persepsi dan praktek di
bursa hak milik beralih pada saat transaksi.
Sepanjang pengetahuan saya
sengketa transaksi bursa belum ada yang sampai ke pengadilan, sedangkan
sengketa yang ada telah diselesaikan secara intern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar