Senin, 26 November 2012

ASPEK KONTROL SOSIAL PADA PERADILAN MASSA




ASPEK KONTROL SOSIAL PADA PERADILAN MASSA


         Manusia, walaupun pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun dia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain, naluri yang dinamakan gregariousness. Didalam hubungan antara manusia dengan manusia lain yang penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi semakin luas. Hal ini terutama disebabkan karena keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berada disekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Kesemua ini menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social group didalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tadi merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong.
Mempelajari kelompok sosial merupakan hal yang penting bagi hukum, oleh karena hukum merupakan abstraksi dan interaksi sosial yang dinamis didalam kelompok-kelompok sosial tersebut. Interaksi sosial yang dinamis tersebut lama kelamaan karena pengalaman, menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstak yang hidup didalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang yang dianggap baik dan tidak baik dalam pergaulan hidup. Nilai-nilai sosial tersebut biasanya telah berkembang sejak lama dan telah mencapai suatu kemantapan dalam jiwa bagian terbesar warga masyarakat dan dianggap sebagai pedoman atau pendorong bagi tata kelakuannya. Nilai-nilai sosial yang abstrak tersebut mendapatkan bentuk yang konkret dalam kaidah yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat bersangkutan.
Meskipun demikian, perlu kiranya dikemukakan bahwa bila suatu pelanggaran hukum dilakukan oleh satu atau dua orang saja, mudah bagi penegak hukum untuk menerapkan hukum padanya. Kekuatan penegak hukum lebih besar dari kekuatan si pelanggar hukum. Akan tetapi bila yang melanggar hukum itu suatu “massa”, dalam arti banyak orang yang bersama-sama berbuat sesuatu untuk melanggar hukum maka kekuatan penegak hukum (khusus polisi) mungkin sekali tidak cukup untuk menerapkan hukum secara seharusnya. Bahwa berdasarkan hal tersebut  maka penulis akan membatasi permasalahan dari aspek Pengendalian sosial masyarakat pada demonstrasi anarkis.
Kalau perbuatan massa itu merupakan perbuatan temporer saja, seperti perbuatan massa yang marah pada saat unjuk rasa atau perbuatan massa dengan melakukan tindakan penganiayaan atau membunuhan yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik yang terjadi diberbagai daerah seperti apa yang terjadi di negeri ini misalnya di Poso, Sampit dan Maluku yang justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau konflik.
Perbuatan massa yang juga acap kali terjadi adalah pengrusakan berbagai sarana dan prasarana serta aset negara maupun perorangan dan kalau perbuatan massa itu dilakukan secara membabibuta dan dilakukan oleh massa dalam jumlah yang besar maka akan lebih sukar lagi untuk diterapkan hukum pada mereka.
Demonstrasi adalah pemandangan biasa di negeri ini. Hampir tiap hari kita baca di koran dan tonton di tayangan televisi. Namun jika demontrasi itu berbuntut meregangnya nyawa seseorang tentu menjadi masalah lain. Adalah Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat yang terpaksa harus berpulang lebih cepat ke Sang Pencipta saat demontran menyerangnya.
Kematian memang rahasia Tuhan, tapi peran manusia yang menyebabkan mati tetap sebuah persoalan yang harus dituntaskan. Sebagai wakil rakyat, ia telah bersikap profesional karena berani menemui para pendemo yang mendaulatnya ke luar dari gedung DPRD. Demo menuntut pemekaran memang telah menjadi hal yang jamak di negeri ini. Yang lebih menarik mereka yang telah memiliki wakil di parlemen pun juga aktif berdemo. Padahal suara mereka sudah terwakili.
Entah sebagai show of force atau unjuk muka yang pasti demo menjadi alat yang efektif. Terlebih jika sampai anarki seolah sebagai sebuah tanda keberhasilan. Dalam sebuah negara demokrasi sistem hukum ada di mana-mana, bersama kita dan di sekitar kita. Suatu saat misal kita akan naik kereta api kita akan berurusan dengan hukum.
Apabila individu atau kelompok telah melakukan tindakan diluar jalur hukum, maka disebut tindakan menghakimi sendiri, aksi sepihak atau “eigenrichting”. Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak terkendali.
Terdapat enam faktor yang menurutnya menentukan untuk terjadinya perilaku/kekerasan kolektif, enam faktor tersebut adalah :
1.    Adanya pendorong struktural (structural condusivenness),
Faktor penentu structural conduciveness, ialah segi-segi struktural dari situasi sosial yang memungkinkan terjadinya perilaku kolektif tertentu. Hal ini terlihat misalnya dengan adanya kejadian penyerangan, perusakan dan pembakaran terhadap aset-aset milik perorangan/kelompok dengan tanpa adanya reaksi aparat terkait, dan pembiaran dari masyarakat luas.
2.    Ketegangan struktural (structural strain),
Structural strain, mengacu pada berbagai tipe ketegangan struktural yang tidak memungkinkan terjadinya perilaku kolektif. Namun agar perilaku kolekif dapat berlangsung perlu ada kesepadanan antara ketegangan struktural ini dengan dorongan struktural yang mendahuluinya. Namun keadaan itu tidak akan melahirkan tingkah laku kolektif, karena memerlukan kondisi lanjutan.

3.    Tumbuh dan menyebarnya suatu kepercayaan yang digeneralisasikan (Growth and spread of generalized belief),
Growth and spread of a generalized belief adalah tumbuh dan berkembangnya kepercayaan/keyakinan bersama. Misalnya cap dan klaim terhadap suatu aliran sebagai sesat. Pemahaman seperti itu menyebar dan dipahami secara sama oleh anggota kelompok. Keadaan ini mengacu pada ketika situasi menjadi bermakna bagi orang-orang yang perpotensi menjadi pelaku-pelaku kolektif, dengan dan penyebarluasan gagasan yang dapat membuka wawasan individu kearah yang lebih dinamis. Kondisi ini dapat menimbulkan perilaku kolektif dari individu yang telah mengalami perkembangan pemikiran. Makna yang harus dipahami itu terkandung dalam generalized belief yang mampu mengidentifikasi sumber ketegangan, menentukan sumber tersebut dan merinci tanggapan terhadap sumber itu. Kendatipun faktor penentu sudah sampai pada tahapan ini, namun untuk munculnya tingkah laku kolektif diperlukan adanya kondisi khusus yaitu faktor penentu.
4.    Faktor-faktor pencetus (precipitating factors),
Precipatating factors, merupakan faktor situasional yaitu adanya suatu peristiwa yang menegaskan pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan umum rentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya tingkah laku kolektif. Namun kendatipun keempat faktor diatas sudah terakumulasi belum akan melahirkan tingkah laku kolektif. Untuk terjadinya tingkah laku kolektif masih memerlukan faktor berikutnya.
5.    Mobilitas para pemeran serta pada tindakan (Mobilization of Partifsipants for action),
Mobillization of partisipants for actions, tinggal inilah yang perlu untuk dipenuhi untuk kemudian terjadi tingkah laku kolektif. Dalam proses ini peranan figur yang dapat memberikan simpati kepada masyarakat untuk melakukan tindakan kolektif sangat diperlukan.

6.    Bekerjanya pengendalian sosial (The operation of social control)
The opreration of social control, memegang peranan penting                          bagi terjadinya tingkah laku kolektif. Dalam setiap tahap proses                 tersebut diatas, bila pranata pengendalian sosial dapat mengintervensi tahapan-tahapan faktor penentu tingkah laku kolektif diatas, maka timbulnya tingkah laku kolektif dapat dihindarkan
Dengan demikian, faktor-faktor penyebab tingkah laku tersebut membentuk kombinasi menurut suatu pola yang pasti.
Adalah sebuah kesalahan serius jika menganggap hukum sebagai sebuah larangan, meski memuat aturan yang tidak boleh. Tetapi esensi dari aturan sesungguhnya memiliki tujuan, entah terlaksana atau tidak. Yakni membuat hidup lebih mudah, aman, nyaman dan bahagia.
Jika norma melarang berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, tujuannya dimaksudkan untuk kepentingan orang lain pula. Hukum boleh memaksa agar seseorang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu bahkan secara ekstrim hukum bisa merampas dan menghilangkan nyawa seseorang. Selain melarang, ada cara lain yang secara elegan bisa ditempuh sehingga memudahkan orang melakukan perbuatan hukum. Hukum yang membuat standar baku, orang membuat kontrak,wasiat dll. Hukum dan proses hukum sangat penting
Bagi masyarakat kita. Dalam keadaan normal, tiada perang atau bencana besar hukum selalu berkaitan dengan undang-undang yakni aturan dan peraturan. Donal Black penulis buku The Behavior Of Law.                             Ia mengemukakan definisi yang ringkas . Yakni hukum diartikan sebagai kontrol sosial pemerintah kepada warga negara.
Kontrol sosial diartikan sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna dan mencegah perilaku yang buruk. Sistem peradilan pidana kita jelas mengarah kepada pemahaman dimaksud.
Semua aturan dalam tingkatan apapun sesungguhnya memiliki maksud atau pedoman bagaimana cara berperilaku. Dalam kasus di atas sikap massa yang menuntut pemekaran dan merangsek maju memukui beramai-ramai Ketua DPRD bukanlah bagian dari struktur,substansi dan budaya masyarakat Indonesia. Sebab tuntutan masyarakat dan sikap yang diperlihatkan selama ini dalam demo yang berakhir ricuh tidak bertujuan untuk tujuan perubahan atau kesinambungan. Perubahan dalam masyarakat hukum yang beradab hanya dapat terjadi bila dilakukan teratur, rapi dan terpola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar