Ada yang seru dari diskusi yang terkait judul di atas. Yang menarik adalah bahwa
tidak seluruh anggota diskusi satu pendapat. Setidaknya ada dua pendapat yang
mengemuka.
Pendapat yang pertama,
bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
yang diberikan oleh BPK terhadap pengelolaan keuangan suatu instansi pemerintah
(pusat dan/atau daerah) seharusnya menjamin bahwa pengelolaan keuangan daerah
yang telah dilaksanakan instansi pemerintah tersebut telah bebas dari korupsi.
Pendapat kedua, merupakan kebalikan dari pendapat pertama, yaitu bahwa opini
WTP belum tentu menjamin pengelolaan keuangan daerah pada suatu instansi
pemerintah telah bebas korupsi. Pengertian “bebas korupsi” disini jangan
diartikan sama dengan “bebas parkir” yang artinya boleh korupsi, tetapi harus
diartikan tidak ada korupsi di dalam pengelolaan keuangan daerah.
Argumen pendapat pertama menyatakan bahwa kriteria
pemberian opini oleh BPK didasarkan pada 3 hal, yaitu kesesuaian dengan standar
akuntansi pemerintahan termasuk kecukupan dalam pengungkapan, penilaian atas
SPIP, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Menurut sumber
pemerintah daerah, bahkan kriteria tersebut bertambah satu lagi sehingga
menjadi 4 yaitu ketaatan terhadap tindak lanjut yang dilakukan oleh instansi
pemerintah terhadap rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Argumen lanjutan dari
kelompok pertama adalah, jika pemeriksaan BPK terhadap pelaksanaan anggaran
pada suatu tahun anggaran tidak menemukan hal-hal yang material dan signifikan
pada keempat kriteria tersebut, maka seyogyanya opini WTP diberikan dan
harusnya hal itu dapat menjamin bahwa pengelolaan keuangan daerah yang
diperiksanya pada tahun anggaran tersebut telah bebas korupsi, bukan hanya
bebas dari salah saji semata.
Argumen pendapat kedua menyatakan bahwa auditor BPK
tetap memiliki keterbatasan dalam hal sampel pemeriksaan yang disebabkan jangka
waktu pemeriksaan yang terbatas. Oleh karenanya kemudian muncul yang disebut
risiko audit. Meskipun kemudian BPK menyiasatinya dengan melakukan pemeriksaan
tertentu pada pos pendapatan maupun belanja sebelum pemeriksaan keuangan
dilakukan, namun tetap saja akan menemui keterbatasan terkait sampel pemeriksaan
yang akan diambil. Oleh karena itu, meskipun opini WTP telah diberikan kepada
suatu instansi pemerintah, tidak menutup kemungkinan masih ada kasus korupsi
yang akan terkuak di belakang hari. Banyak kan contoh kasus seperti itu?
Memang jika melihat dari 4 kriteria pemberian opini
tersebut, rasanya sudah sangat lengkap. Kasus-kasus korupsi biasanya berbentuk
penyelewengan penggunaan anggaran baik pendapatan maupun belanja. Mestinya,
melalui penggunaan kriteria “ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”
segala bentuk penyelewengan anggaran dapat terdeteksi. Penyelewengan anggaran
tersebut disebabkan oleh lemahnya SPIP yang diterapkan oleh instansi pemerintah
yang diperiksa, dan hal itu semestinya dapat “ditangkap” melalui kriteria
“penilaian atas kehandalan SPIP”. Kemudian, biasanya penyelewengan
mudah terdeteksi dari penyajian dan kecukupan pengungkapan yang tidak benar
dalam laporan keuangan, dan hal itu semestinya akan dapat ditemukan melalui
penggunaan kriteria “kesesuaian dengan SAP dan kecukupan pengungkapan”. Nah,
jika ketiga kriteria tersebut tidak menemukan apa-apa, maka sudah sewajarnya
opini BPK diberikan. Kriteria terakhir menurut kami hanya merupakan kriteria
tambahan yang menggambarkan ketaatan instansi pemerintah dalam menindaklanjuti
seluruh temuan BPK dan komitmen instansi pemerintah akan pernyataan tidak ada
lagi “temuan berulang/sama” yang terjadi. Hal ini juga termasuk gambaran
atas komitmen instansi pemerintah memperbaiki kelemahan sistem pengendalian
intern yang terjadi.
Jika sudah WTP, lalu apakah lantas tidak ada korupsi
di dalamnya?
Bahwa secara teori ada yang disebut
risiko audit, yang salah satunya disebabkan oleh kesalahan dalam mengambil
sampel audit sehingga suatu sampel audit tidak diambil padahal di situlah
terjadi penyimpangan/penyelewengan anggaran. Metode sampel diambil mengingat
keterbatasan yang dimiliki oleh auditor baik tenaga dan waktu pemeriksaan
dibandingkan dengan luasnya ruang lingkup pemeriksaan yang harus dijangkau.
Jangankan melakukan pemeriksaan terhadap satu pemerintah daerah yang terdiri
dari banyak SKPD/Unit Kerja, pemeriksaan terhadap satu kegiatan saja
membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya pemeriksaan yang sangat besar.
Lalu bagaimana solusinya?
Dahulu kita pernah mendengar konsep EMI. Artinya
auditor eksternal (BPK) memanfaatkan hasil pengawasan (seperti laporan hasil
pemeriksaan) yang telah dilakukan oleh auditor internal seperti Itjend
Kementerian/Lembaga, Itprov, Itkab/kota, dan BPKP. Nah, barangkali konsep
tersebut dapat dihidupkan lagi dan direvitalisasi secara optimal agar dapat
berjalan dalam prakteknya di lapangan.
Permasalahannya adalah apakah hasil-hasil pengawasan
auditor internal tersebut “layak” untuk dimanfaatkan oleh auditor eksternal?
Hasil pengawasan auditor internal tersebut sangat beragam dalam “kualitas”
padahal standar audit yang digunakan sama.
Mengapa?
Ya, salah satunya karena
“pemeriksa” pada organisasi auditor internal tersebut belum banyak yang
memiliki kompetensi sebagai auditor (bersertifikasi sebagai auditor). Jika
kompetensi mereka telah memadai, tentu kualitas hasil pemeriksaan yang dapat
dilaporkan akan dapat dimanfaatkan oleh auditor eksternal.
Masalah lainnya, kecukupan tenaga auditor internal
masih sangat terbatas, tidak saja dalam hal kompetensinya, juga jumlahnya.
Dalam kontek kecukupan ini, yang kami maksudkan adalah jika mereka secara
jumlah sudah mencukupi (dan ditambah dengan peningkatan kompetensi secara
seimbang) maka akan mampu menangani pemeriksaan pada seluruh SKPD yang ada di
pemerintah daerah tersebut. Selanjutnya, BPK dapat memanfaatkan hasil-hasil
pemeriksaan auditor internal tersebut sebagai bahan untuk pemeriksaan
keuangannya. Masalahnya, jumlah auditor internal, khususnya pada pemerintah daerah
tidak pernah cukup-cukup. Hal ini disebabkan kebijakan kepala daerah yang
acapkali tidak berpihak pada mereka. Banyak kepala daerah yang tidak
memfungsikan organisasi auditor internal sebagai alat pengawasan kepala daerah.
Jika komitmen tersebut ada, maka seluruh kebijakan yang meliputi pendanaan,
pengembangan SDM, sistem penghargaan, dan kebijakan mutasi/promosi pegawai
auditor internal akan membawa mereka menjadi auditor internal yang profesional
dan terpercaya.
Langkah lainnya?
Konsep “bersinergi” antar auditor
internal kami rasa masih sangat relevan untuk dihidupkan dan
ditumbuhkembangkan.
Caranya?
Kuncinya hanyalah komunikasi yang baik dan efektif
di antara organisasi auditor internal tersebut. Apakah diperlukan forum bersama
untuk hal seperti ini? Atau konsep koordinator pengawasan bisa direvitalisasi
kembali? Entahlah, yang penting lingkungan pengendalian dan infokomnya harus
berjalan baik.
Jadi?
Tugas yang sangat berat adalah
merevitalisasi peran dan fungsi organisasi audit internal dalam berbagai strata
pemerintahan tersebut menjadi nyata, agar setiap organisasi auditor internal
dapat menjalankan peran dan fungsi pengawasannya secara professional sehingga
hasil-hasil pengawasannya dapat dimanfaatkan oleh pimpinan instansi pemerintah
dan tentu saja dapat membantu auditor eksternal dalam rangka mewujudkan clean
governance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar