Senin, 26 November 2012

Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus

Pengurusan piutang negara secara khusus merupakan pengurusan piutang negara yang dilakukan dengan langkah-langkah yang sistematis berdasarkan prinsip percepatan dan efektivitas. Pengurusan secara khusus tersebut dimaksudkan sebagai pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang dimiliki oleh PUPN berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Kenyataan tersebut di atas dapat diartikan bahwa PUPN dalam melaksanakan tugasnya tidak menempuh prosedur umum yang tersedia dalamHIR (Hukum Acara Perdata Indonesia), Staatsblad 1941 Nomor 44, terutama Pasal 195 dan seterusnya. Bilamana ditempuh prosedur umum, maka hasil pengurusan tidak akan memuaskan karena prosedur umum tersebut akan menempuh upaya hukum konvesional dengan langkah sebagai berikut:
1. pada tingkat pertama, melakukan gugatan melalui pengadilan umum (Pengadilan Negeri);
2. pada tingkat banding, melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tinggi; dan
3. pada tingkat kasasi, melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung.
Cara-cara konvensional tersebut di atas, sering memerlukan waktu yang panjang, bahkan sering sangat panjang dan lama, sehingga percepatan dan efektivitas hasil pengurusan piutang negara akan sulit untuk diwujudkan.
Untuk mengatasi kelemahan cara pengurusan piutang yang konvensional itulah maka PUPN diberikan kewenangan parate eksekusi, yaitu kewenangan untuk menerbitkan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde). Namun demikian, kewenangan tersebut tentu saja dilaksanakan dengan tetap memberikan kepastian hukum dan kesempatan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk menggunakan haknya terkait pengurusan hutang yang bersangkutan kepada negara.
Penjelasan tentang pengurusan piutang negara secara khusus yang dilakukan oleh PUPN akan diuraikan secara lengkap berikut ini.
Due Process of Law
Pada Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa dalam melakukan pengurusan piutang negara, PUPN/DJPLN menghadapi rambu-rambu hukum. Bila PUPN/DJPLN tidak/kurang hati-hati sehingga rambu-rambu tersebut terlanggar, maka berbagai langkah yang telah, sedang, dan akan ditempuh menjadi cacat hukum.
Kehati-hatian PUPN/DJPLN dalam melaksanakan tugasnya dan melaksanakan kewenangan parate eksekusi dimulai dengan pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menyanggah atau memberikan bukti baru yang sah tentang keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara. Kesempatan yang diberikan kepada Penanggung Hutang tersebut dapat diartikan juga sebagai penerapan azas keadilan dalam pengurusan piutang negara. Adil di sini adalah kesetaraan antara pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang dimiliki oleh PUPN dan pelaksanaan hak Penanggung Hutang untuk membela dirinya.
Pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang tersebut di atas, secara umum dikenal dengan terminologi “due process of law”. Pengertian terminologi due process of law tersebut menurut Black’s Law Dictionary 6th Edition halaman 500 adalah:
Due Process of law implies the right of the person affected thereby to be present before the tribunal which pronounces judgement upon the question of life, liberty, or property, in its most comprehensive sense; to be heard, by testimony or otherwise, and to have the right of controverting, by proof, every material fact which bears on the question of right in the matter involved. If any question of fact or liability be conclusively presumed against him, this is not due process of law“.
Secara bebas, pengertian due process of law tersebut di atas, bila dikaitkan dengan pengurusan piutang negara, dapat diartikan sebagai hak Penanggung Hutang untuk dipanggil dan didengar pendapatnya dan hak untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara, serta cara-cara penyelesaian hutangnya tersebut. Bila sah dan secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, tentunya bukti-bukti tersebut digunakan PUPN untuk memperbaiki data tentang adanya dan besarnya piutang negara atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan. Due process of law tersebut, dalam pengurusan piutang negara dilaksanakan melalui tahap pemanggilan dan tanya jawab.
Pemanggilan Secara Tertulis kepada Penanggung Hutang
Pemanggilan kepada Penanggung Hutang dilakukan oleh KP2LN sebagai pelaksanaan produk hukum SP3N yang diterbitkan oleh PUPN Cabang. Pemanggilan tersebut dilakukan KP2LN secara patut dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 42 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara.
Pemanggilan tersebut dilakukan secara tertulis dalam rangka pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk dan didengar pendapatnya dan hak untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara. Sesuai ketentuan, pemanggilan dilakukan dengan ketentuan, bila Penanggung Hutang adalah:
1. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang;
2. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi dan/atau komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum yang bersangkutan;
3. badan hukum koperasi dan/atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi dan/atau yayasan;
4. firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau
5. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada pesero pengurus.
Bila Penanggung Hutang tidak datang memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Panggilan, KP2LN melakukan panggilan kedua (Panggilan Terakhir) paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal untuk menghadap yang ditetapkan dalam Surat Panggilan pertama. Agar pemanggilan dapat terjamin sampai kepada Penanggung Hutang maka pemanggilan dilakukan dengan kurir (menggunakan tanda terima) atau pos tercatat.
Apabila Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, dapat dilakukan upaya Pengumuman Panggilan melalui surat kabar harian dan/atau media masa lainnya. Selain itu, apabila Penanggung Hutang telah meninggal dunia, pemanggilan dilakukan kepada ahli warisnya.
Dalam praktek, dapat terjadi Penanggung Hutang tidak datang secara pribadi tetapi diwakilkan kepada kuasa hukum/pihak ketiga, untuk itu agar tidak menimbulkan akibat hukum yang dapat menunda tahap pengurusan disyaratkan pemberian kuasa untuk datang memenuhi panggilan harus dituangkan dalam akta notaris.
Tanya Jawab/Wawancara
Apabila Penanggung Hutang datang atas inisiatif sendiri atau memenuhi panggilan yang disampaikan oleh KP2LN (salah satu dari Panggilan, Panggilan Terakhir, atau Pengumuman Panggilan) maka KP2LN akan melakukan wawancara kepada Penanggung Hutang2. Wawancara tersebut dilakukan guna mengetahui:
1. kebenaran tentang adanya dan besarnya Piutang Negara; dan
2. cara dan syarat penyelesaian piutang negara tersebut.
Tujuan akhir wawancara tersebut adalah pencarian informasi yang secara jelas menggambarkan rencana Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya dan arah tindak lanjut Pengurusan Piutang Negara yang akan dilaksanakan oleh PUPN.
Hasil wawancara tersebut di atas, dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab yang ditandatangani oleh Penanggung Hutang, Kepala KP2LN atau pejabat yang ditunjuk, dan 2 (dua) orang saksi untuk memberikan kekuatan yuridis formal terhadap tanya jawab/pengakuan dari PH/PjH sehingga dapat menjadi alat bukti yang kuat sebagai dasar tahap pengurusan selanjutnya yaitu penyusunan Pernyataan Bersama (PB).
Pernyataan Bersama (PB)
Bila berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab diketahui bahwa Penanggung Hutang mengakui dan sepakat dengan jumlah hutang, serta sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka Pernyataan Bersama akan dibuat dan ditandatangani bersama antara PUPN dan Penanggung Hutang. Pernyataan Bersama tersebut merupakan produk hukum yang menjadi pintu hubungan hukum antara PUPN dan Penanggung Hutang, analog dengan SP3N yang merupakan pintu hubungan hukum antara PUPN dan Penyerah Piutang.
Pembuatan Pernyataan Bersama tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. Pernyataan Bersama tersebut sekurang-kurangnya memuat:
1. irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
2. identitas Penanggung Hutang;
3. identitas Penanggung Hutang;
4. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan/atau ongkos/beban lain;
5. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
6. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
7. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya;
8. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
9. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
10. tanda tangan Ketua PUPN Cabang;
11. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan
12. tanda tangan para saksi.
Bila diperhatikan secara cermat, uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa:
1. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah surat pernyataan pengakuan dan pengukuhan hutang Penanggung Hutang, hal ini ditunjukkan dari disepakatinya besarnya piutang negara yang harus diselesaikan Penanggung Hutang; dan
2. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah “Grosse Acte” yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti dan tidak dapat dibanding dan dikasasi (inkracht van gewijsde), mengingat Pernyataan Bersama berkepala/berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Kedua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang negara dilakukan secara khusus dengan tahapan:
1. Pembuatan pengakuan hutang, kesepakatan cara dan jangka waktu penyelesaian hutang, dan sanksi bila Penanggung Hutang wanprestasi. Tahapan ini merupakan bagian upaya due process of law yang didasarkan pada azas kesetaraan antara kewenangan PUPN dan hak Penanggung Hutang.
2. Pembuatan grosse acte yang dapat langsung dieksekusi bila Penanggung Hutang tidak melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama. Selain itu, mengingat Pernyataan Bersama membuat pengakuan dan pengukuhan hutang Penanggung Hutang dan karenanya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan memaksa (dwingend bewijs).
3. Pelaksanaan eksekusi bila Penanggung Hutang benar-benar wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama.
Dengan adanya syarat “kata sepakat” antara Ketua PUPN Cabang dan Penanggung Hutang, maka pengurusan piutang negara secara khusus, melalui pembuatan Pernyataan Bersama ini tidak menyalahi hakekat bahwa segala sengketa perdata harus diputuskan oleh Pengadilan. Dengan demikian, apabila Penanggung Hutang wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama, dan setelah Penanggung Hutang diberikan peringatan namun tetap tidak bersedia memenuhi kewajibannya, maka PUPN berhak untuk dengan segera melakukan penagihan piutang negara dengan surat paksa, penyitaan dan pelelangan arta kekayaan Penanggung Hutang, bilamana perlu dengan melakukan penyanderaan/paksa badan terhadap diri Penanggung Hutang.
Jadi, berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, status hukum perjanjian kredit (PK) yang semula bersifat keperdataan diperbaharui menjadi bersifat publik, yaitu yang semula merupakan hubungan hukum perdata antara kreditor dan Penanggung Hutang menjadi hubungan hukum publik antara PUPN yang mewakili Negara sebagai kreditor baru dengan
Penanggung Hutang sebagai warga negara pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat terakhir yang berbunyi, “Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal (penagihan) pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah yang merupakan pihak berpiutang”
Dari segi hukum, Pernyataan Bersama dapat juga diartikan sebagai akta pembaharuan hutang (novasi) terutama yang menyangkut jumlah hutang. Jumlah hutang dalam PB biasanya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah hutang penyerahan yang dihitung oleh bank, terutama apabila Penyerah Piutang yang bersangkutan terlambat menyerahkan kasus piutang/kredit macetnya ke PUPN yang jauh melampaui batas waktu saat kredit dinyatakan macet.
Hukum Perdata Indonesia mengatur ketentuan tentang novasi dalam Pasal 1413 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berbunyi:
Terdapat tiga cara untuk melakukan pembaharuan utang, yaitu:
1. apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya;
2. apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
3. apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.”
Ketiga cara pembaharuan utang tersebut di atas, oleh R. Subekti (1996) dijelaskan sebagai berikut:
1. cara pembaharuan hutang butir 1 di atas dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui di situ adalah obyek perjanjiannya, sedangkan cara yang ditempuh dalam butir 2 dan 3 di atas dinamakan novasi subyektif, karena yang diperbaharui di situ adalah subyek (para pihak) dalam perjanjian;
2. cara pembaharuan hutang butir 2 di atas disebut dengan nama novasi subyektif pasif, karena yang digantikan adalah Penanggung Hutangnya;
3. cara pembaharuan hutang butir 3 di atas disebut dengan nama novasi subyektif aktif, karena yang digantikan adalah kreditornya.
Pertanyaan yang timbul dari konstelasi/tatanan hukum yang demikian, termasuk kriteria novasi yang manakah Pernyataan Bersama itu, novasi obyektif atau subyektif. Dilihat dari segi obyeknya, yaitu jumlah hutang yang seringkali berubah, maka Pernyataan Bersama dalam rangka piutang negara perbankan adalah model novasi obyektif. Namun bila dilihat
dari segi subyeknya, maka Pernyataan Bersama termasuk jenis novasi subyektif aktif, karena yng berubah adalah kreditornya, yaitu perubahan kreditor yang semula adalah pihak Bank berubah menjadi PUPN/DJPLN.
Dalam hal novasi subyektif aktif, pada hakekatnya terjadi perundingan segitiga, yaitu pihak kreditor lama, kreditor baru dan Penanggung Hutang. Dilihat dari berbagai aspek hukum tentang novasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pernyataan Bersama dalam kerangka pengurusan piutang negara mempunyai ciri yang spesifik, bukan hanya novasi obyektif dan bukan pula hanya termasuk novasi subyektif aktif saja. Ciri-ciri dari kedua novasi tersebut terdapat dalam PB. Jadi PB termasuk ciri novasi yang ke empat, yaitu model “novasi berdasarkan undang-undang”, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar