Pengurusan
piutang negara secara khusus merupakan pengurusan piutang negara yang
dilakukan dengan langkah-langkah yang sistematis berdasarkan prinsip
percepatan dan efektivitas. Pengurusan secara khusus tersebut
dimaksudkan sebagai pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang dimiliki
oleh PUPN berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Kenyataan tersebut di atas dapat
diartikan bahwa PUPN dalam melaksanakan tugasnya tidak menempuh prosedur
umum yang tersedia dalamHIR (Hukum Acara Perdata Indonesia), Staatsblad 1941
Nomor 44, terutama Pasal 195 dan seterusnya. Bilamana ditempuh prosedur
umum, maka hasil pengurusan tidak akan memuaskan karena prosedur umum
tersebut akan menempuh upaya hukum konvesional dengan langkah sebagai
berikut:
1. pada tingkat pertama, melakukan gugatan melalui pengadilan umum (Pengadilan Negeri);
2. pada tingkat banding, melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tinggi; dan
3. pada tingkat kasasi, melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung.
Cara-cara
konvensional tersebut di atas, sering memerlukan waktu yang panjang,
bahkan sering sangat panjang dan lama, sehingga percepatan dan
efektivitas hasil pengurusan piutang negara akan sulit untuk diwujudkan.
Untuk
mengatasi kelemahan cara pengurusan piutang yang konvensional itulah
maka PUPN diberikan kewenangan parate eksekusi, yaitu kewenangan untuk
menerbitkan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan seperti
keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti
(in kracht van gewijsde). Namun demikian, kewenangan tersebut
tentu saja dilaksanakan dengan tetap memberikan kepastian hukum dan
kesempatan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk
menggunakan haknya terkait pengurusan hutang yang bersangkutan kepada
negara.
Penjelasan tentang pengurusan piutang negara secara khusus yang dilakukan oleh PUPN akan diuraikan secara lengkap berikut ini.
Due Process of Law
Pada
Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa dalam melakukan pengurusan piutang
negara, PUPN/DJPLN menghadapi rambu-rambu hukum. Bila PUPN/DJPLN
tidak/kurang hati-hati sehingga rambu-rambu tersebut terlanggar, maka
berbagai langkah yang telah, sedang, dan akan ditempuh menjadi cacat
hukum.
Kehati-hatian
PUPN/DJPLN dalam melaksanakan tugasnya dan melaksanakan kewenangan
parate eksekusi dimulai dengan pemberian kesempatan kepada Penanggung
Hutang untuk menyanggah atau memberikan bukti baru yang sah tentang
keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara. Kesempatan yang
diberikan kepada Penanggung Hutang tersebut dapat diartikan juga sebagai
penerapan azas keadilan dalam pengurusan piutang negara. Adil di sini
adalah kesetaraan antara pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang
dimiliki oleh PUPN dan pelaksanaan hak Penanggung Hutang untuk membela
dirinya.
Pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang tersebut di atas, secara umum dikenal dengan terminologi “due process of law”. Pengertian terminologi due process of law tersebut menurut Black’s Law Dictionary 6th Edition halaman 500 adalah:
“Due
Process of law implies the right of the person affected thereby to be
present before the tribunal which pronounces judgement upon the question
of life, liberty, or property, in its most comprehensive sense; to be
heard, by testimony or otherwise, and to have the right of
controverting, by proof, every material fact which bears on the question
of right in the matter involved. If any question of fact or liability
be conclusively presumed against him, this is not due process of law“.
Secara bebas, pengertian due process of law tersebut
di atas, bila dikaitkan dengan pengurusan piutang negara, dapat
diartikan sebagai hak Penanggung Hutang untuk dipanggil dan didengar
pendapatnya dan hak untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan
keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara, serta cara-cara
penyelesaian hutangnya tersebut. Bila sah dan secara hukum dapat
dipertanggungjawabkan, tentunya bukti-bukti tersebut digunakan PUPN
untuk memperbaiki data tentang adanya dan besarnya piutang negara atas
nama Penanggung Hutang yang bersangkutan. Due process of law tersebut, dalam pengurusan piutang negara dilaksanakan melalui tahap pemanggilan dan tanya jawab.
Pemanggilan Secara Tertulis kepada Penanggung Hutang
Pemanggilan
kepada Penanggung Hutang dilakukan oleh KP2LN sebagai pelaksanaan
produk hukum SP3N yang diterbitkan oleh PUPN Cabang. Pemanggilan
tersebut dilakukan KP2LN secara patut dengan mengikuti ketentuan yang
diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 42 Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara.
Pemanggilan
tersebut dilakukan secara tertulis dalam rangka pemberian kesempatan
kepada Penanggung Hutang untuk dan didengar pendapatnya dan hak untuk
menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran
hutangnya kepada negara. Sesuai ketentuan, pemanggilan dilakukan dengan
ketentuan, bila Penanggung Hutang adalah:
1. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang;
2. badan
hukum berbentuk Perseroan Terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi
dan/atau komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum yang bersangkutan;
3. badan hukum koperasi dan/atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi dan/atau yayasan;
4. firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau
5. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada pesero pengurus.
Bila
Penanggung Hutang tidak datang memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
Surat Panggilan, KP2LN melakukan panggilan kedua (Panggilan Terakhir)
paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal untuk
menghadap yang ditetapkan dalam Surat Panggilan pertama. Agar
pemanggilan dapat terjamin sampai kepada Penanggung Hutang maka
pemanggilan dilakukan dengan kurir (menggunakan tanda terima) atau pos
tercatat.
Apabila
Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal atau
tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, dapat dilakukan upaya
Pengumuman Panggilan melalui surat kabar harian dan/atau media masa
lainnya. Selain itu, apabila Penanggung Hutang telah meninggal dunia,
pemanggilan dilakukan kepada ahli warisnya.
Dalam
praktek, dapat terjadi Penanggung Hutang tidak datang secara pribadi
tetapi diwakilkan kepada kuasa hukum/pihak ketiga, untuk itu agar tidak
menimbulkan akibat hukum yang dapat menunda tahap pengurusan disyaratkan
pemberian kuasa untuk datang memenuhi panggilan harus dituangkan dalam
akta notaris.
Tanya Jawab/Wawancara
Apabila
Penanggung Hutang datang atas inisiatif sendiri atau memenuhi panggilan
yang disampaikan oleh KP2LN (salah satu dari Panggilan, Panggilan
Terakhir, atau Pengumuman Panggilan) maka KP2LN akan melakukan wawancara
kepada Penanggung Hutang2. Wawancara tersebut dilakukan guna mengetahui:
1. kebenaran tentang adanya dan besarnya Piutang Negara; dan
2. cara dan syarat penyelesaian piutang negara tersebut.
Tujuan
akhir wawancara tersebut adalah pencarian informasi yang secara jelas
menggambarkan rencana Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya
dan arah tindak lanjut Pengurusan Piutang Negara yang akan dilaksanakan
oleh PUPN.
Hasil
wawancara tersebut di atas, dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab
yang ditandatangani oleh Penanggung Hutang, Kepala KP2LN atau pejabat
yang ditunjuk, dan 2 (dua) orang saksi untuk memberikan kekuatan yuridis
formal terhadap tanya jawab/pengakuan dari PH/PjH sehingga dapat
menjadi alat bukti yang kuat sebagai dasar tahap pengurusan selanjutnya
yaitu penyusunan Pernyataan Bersama (PB).
Pernyataan Bersama (PB)
Bila
berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab diketahui bahwa Penanggung Hutang
mengakui dan sepakat dengan jumlah hutang, serta sanggup menyelesaikan
hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka Pernyataan
Bersama akan dibuat dan ditandatangani bersama antara PUPN dan
Penanggung Hutang. Pernyataan Bersama tersebut merupakan produk hukum
yang menjadi pintu hubungan hukum antara PUPN dan Penanggung Hutang,
analog dengan SP3N yang merupakan pintu hubungan hukum antara PUPN dan
Penyerah Piutang.
Pembuatan
Pernyataan Bersama tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 45 sampai
dengan Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang
Pengurusan Piutang Negara. Pernyataan Bersama tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
1. irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
2. identitas Penanggung Hutang;
3. identitas Penanggung Hutang;
4. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan/atau ongkos/beban lain;
5. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
6. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
7. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya;
8. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
9. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
10. tanda tangan Ketua PUPN Cabang;
11. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan
12. tanda tangan para saksi.
Bila diperhatikan secara cermat, uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa:
1. pada
dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah surat pernyataan pengakuan
dan pengukuhan hutang Penanggung Hutang, hal ini ditunjukkan dari
disepakatinya besarnya piutang negara yang harus diselesaikan Penanggung
Hutang; dan
2. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah “Grosse Acte” yang
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata yang berkekuatan pasti dan tidak dapat dibanding dan dikasasi (inkracht van gewijsde), mengingat Pernyataan Bersama berkepala/berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Kedua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang negara dilakukan secara khusus dengan tahapan:
1. Pembuatan
pengakuan hutang, kesepakatan cara dan jangka waktu penyelesaian
hutang, dan sanksi bila Penanggung Hutang wanprestasi. Tahapan ini
merupakan bagian upaya due process of law yang didasarkan pada azas kesetaraan antara kewenangan PUPN dan hak Penanggung Hutang.
2. Pembuatan grosse acte yang
dapat langsung dieksekusi bila Penanggung Hutang tidak melaksanakan
kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama. Selain itu,
mengingat Pernyataan Bersama membuat pengakuan dan pengukuhan hutang
Penanggung Hutang dan karenanya mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan memaksa (dwingend bewijs).
3.
Pelaksanaan eksekusi bila Penanggung Hutang benar-benar wanprestasi
terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama.
Dengan
adanya syarat “kata sepakat” antara Ketua PUPN Cabang dan Penanggung
Hutang, maka pengurusan piutang negara secara khusus, melalui pembuatan
Pernyataan Bersama ini tidak menyalahi hakekat bahwa segala sengketa
perdata harus diputuskan oleh Pengadilan. Dengan demikian, apabila
Penanggung Hutang wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam
Pernyataan Bersama, dan setelah Penanggung Hutang diberikan peringatan
namun tetap tidak bersedia memenuhi kewajibannya, maka PUPN berhak untuk
dengan segera melakukan penagihan piutang negara dengan surat paksa,
penyitaan dan pelelangan arta kekayaan Penanggung Hutang, bilamana perlu dengan melakukan penyanderaan/paksa badan terhadap diri Penanggung Hutang.
Jadi,
berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, status hukum
perjanjian kredit (PK) yang semula bersifat keperdataan diperbaharui
menjadi bersifat publik, yaitu yang semula merupakan hubungan hukum
perdata antara kreditor dan Penanggung Hutang menjadi hubungan hukum
publik antara PUPN yang mewakili Negara sebagai kreditor baru dengan
Penanggung
Hutang sebagai warga negara pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal 10
Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat terakhir
yang berbunyi, “Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal
(penagihan) pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah
yang merupakan pihak berpiutang”
Dari segi hukum, Pernyataan Bersama dapat
juga diartikan sebagai akta pembaharuan hutang (novasi) terutama yang
menyangkut jumlah hutang. Jumlah hutang dalam PB biasanya jauh lebih
rendah jika dibandingkan dengan jumlah hutang penyerahan yang dihitung
oleh bank, terutama apabila Penyerah Piutang yang bersangkutan terlambat
menyerahkan kasus piutang/kredit macetnya ke PUPN yang jauh melampaui
batas waktu saat kredit dinyatakan macet.
Hukum
Perdata Indonesia mengatur ketentuan tentang novasi dalam Pasal 1413
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berbunyi:
“Terdapat tiga cara untuk melakukan pembaharuan utang, yaitu:
1.
apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama,
yang dihapuskan karenanya;
2.
apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
3. apabila
sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk
untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berhutang
dibebaskan dari perikatannya.”
Ketiga cara pembaharuan utang tersebut di atas, oleh R. Subekti (1996) dijelaskan sebagai berikut:
1. cara
pembaharuan hutang butir 1 di atas dinamakan novasi obyektif, karena
yang diperbaharui di situ adalah obyek perjanjiannya, sedangkan cara
yang ditempuh dalam butir 2 dan 3 di atas dinamakan novasi subyektif,
karena yang diperbaharui di situ adalah subyek (para pihak) dalam
perjanjian;
2. cara
pembaharuan hutang butir 2 di atas disebut dengan nama novasi subyektif
pasif, karena yang digantikan adalah Penanggung Hutangnya;
3.
cara pembaharuan hutang butir 3 di atas disebut dengan nama novasi
subyektif aktif, karena yang digantikan adalah kreditornya.
Pertanyaan
yang timbul dari konstelasi/tatanan hukum yang demikian, termasuk
kriteria novasi yang manakah Pernyataan Bersama itu, novasi obyektif
atau subyektif. Dilihat dari segi obyeknya, yaitu jumlah hutang yang
seringkali berubah, maka Pernyataan Bersama dalam rangka piutang negara
perbankan adalah model novasi obyektif. Namun bila dilihat
dari
segi subyeknya, maka Pernyataan Bersama termasuk jenis novasi subyektif
aktif, karena yng berubah adalah kreditornya, yaitu perubahan kreditor
yang semula adalah pihak Bank berubah menjadi PUPN/DJPLN.
Dalam
hal novasi subyektif aktif, pada hakekatnya terjadi perundingan
segitiga, yaitu pihak kreditor lama, kreditor baru dan Penanggung
Hutang. Dilihat dari berbagai aspek hukum tentang novasi tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa Pernyataan Bersama dalam kerangka
pengurusan piutang negara mempunyai ciri yang spesifik, bukan hanya
novasi obyektif dan bukan pula hanya termasuk novasi subyektif aktif
saja. Ciri-ciri dari kedua novasi tersebut terdapat dalam PB. Jadi PB
termasuk ciri novasi yang ke empat, yaitu model “novasi berdasarkan
undang-undang”, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
PUPN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar