Kamis, 29 November 2012

PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH/BUM/BUMD


KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA DAN PEMERINTAH DAERAH
ANDRI YUSUF, SH., M.Kn

ABSTRAK
Receivable State represent the part of properties of state which is by code/law delivered by its management to Minister for Finance. Therefore state receivable have to be managed orderlyly is, effective, efficient, transparent, bertanggungjawab, obedient at law and regulation going into effect and also by paying attention sense of justice and making proper.
 In finishing state receivable, DJPLN And/Or PUPN go through special procedure              (Lex Specialis) that is procedure management of receivable as arranged in Code Law Number 49 Prp. Year 1960 along with whole regulation of its execution. In this Writing is focussed by recognition of procedure management of Receivable State, specially more having the character of procedure is non executing in state receivable write off procedures.

Piutang Negara merupakan bagian dari kekayaan negara yang oleh undang-undang diserahkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan.  Oleh karena itu piutang negara harus dikelola secara tertib, efektif, efisien, transparan, bertanggungjawab, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Dalam menyelesaikan piutang negara, PUPN dan/atau DJPLN menempuh prosedur khusus (Lex Specialis) yaitu prosedur pengurusan piutang sebagaimana diatur dalam                        Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 beserta segenap peraturan pelaksanaannya. Dalam Penulisan ini difokuskan pada pengenalan prosedur pengurusan Piutang Negara, khususnya prosedur yang lebih bersifat non eksekusi dalam tata cara penghapusan piutang negara.

PENDAHULUAN
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa perikatan hapus karena pembayaran,  karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan hutang, karena perjumpaan hutang atau kompensasi,       karena percampuran hutang, karena pembebasan hutang, karena musnahnya barang yang terhutang, karena kebatalan atau pembatalan, karena berlakunya suatu syarat pembatalan, atau karena lewat waktu. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan/perjanjian hutang piutang dapat hapus karena berbagai cara.  Demikian juga halnya dengan penghapusan perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara sebagai pemilik piutang dengan Penanggung Hutang.
Perikatan hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang dapat hapus karena Penanggung Hutang melakukan pembayaran pelunasan hutangnya, negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban untuk melunasi hutangnya, umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa) atau sebab lain yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381 Kitab                    Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas.
Melalui penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya menjadi hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang negara merupakan pembebasan hutang Penanggung Hutang. Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka hapus juga perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang.
Pengurusan piutang negara dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pengurusan piutang negara, dan ketentuan lain yang terkait. Penerapan seluruh ketentuan yang terkait tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan hasil pengurusan piutang negara secara optimal tanpa melanggar rambu-rambu yang ada.                           Di sisi lain, pemilik piutang negara bila instansi pemerintah  akan mengelola piutang tersebut dengan sistem akuntansi pemerintahan yang menurut Sugijanto, Robert Gunardi H dan Sonny Loho (1995) memiliki persamaan dengan akuntansi komersial, yaitu:
1.             Akuntansi pemerintahan maupun akuntansi komersial sama-sama memberikan informasi mengenai mengenai posisi keuangan dan hasil operasi;
2.       Akuntansi pemerintahan maupun akuntansi komersial mengikuti prinsip-prinsip dan standar akuntansi yang diterima secara umum, yaitu prinsipobjektivitas (objectivity), prinsip konsitensi (consistency), prinsip materialitas (materiality) dan prinsip pengungkapan yang memadai (full disclosure).
Bila pemilik piutang negara adalah badan usaha, maka badan usaha tersebut mengelola piutangnya dengan sistem akuntansi komersial yang sama dengan yang diterapkan           badan-badan usaha swasta. Dengan penerapan sistem akuntansi keuangan yang baku dan memperhatikan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku tentang tata cara penghapusan piutang negara, Penyerah Piutang dimungkinkan untuk melakukan penghapusan piutang tersebut bila upaya penagihannya telah optimal dilakukan, namun masih terdapat sisa piutang dan Penanggung Hutang sudah tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya. Penghapusan tersebut dapat berupa penghapusbukuan piutang tanpa menghilangkan hak tagih, dan berupa penghapustagihan piutang yang menghilangkan hak tagih.
Dasar pemikiran tersebut dirumuskan dalam alinea keenam dan ketujuh Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang berbunyi:
Pengelolaan Piutang Negara/Daerah yang menganut asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, juga mengikuti sistem akuntansi yang sesuai dengan standar akuntasi keuangan yang berlaku. Berdasarkan standar akuntasi tersebut di dalam pengelolaan piutang dimungkinkan adanya penghapusan piutang dari pembukuan dengan tidak menghapuskan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara bersyarat).
Piutang-piutang yang telah dihapuskan secara bersyarat dari pembukuan tersebut, tetap dikelola dan diupayakan penyelesaiannya. Dalam hal     upaya-upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil, dan kewajiban Penanggung Utang tetap tidak terselesaikan, serta diperoleh keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Penanggung Utang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan utangnya, dimungkinkan dilaksanakannya penghapusan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara mutlak).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat 2 (dua) jenis penghapusan piutang negara, yaitu penghapusbukuan dengan tidak menghilangkan hak tagih, dan penghapustagihan piutang negara dengan menghapuskan hak tagih.  Kedua jenis penghapusan tersebut dilakukan secara berurutan,  yaitu penghapustagihan piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud telah dihapusbukukan terlebih dahulu. Penghapusbukuan piutang merupakan jenis penghapusan yang dilakukan hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan memindahkan pencatatan dari pembukuan utama (misalnya neraca) ke pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Oleh karena itu, penghapusbukuan piutang tidak menghilangkan hak tagih. Karena tidak berpengaruh terhadap kewajiban Penanggung Hutang, maka penghapusbukuan piutang tidak diberitahukan pemilik piutang kepada Penanggung Hutang. Apabila penghapusbukuan diberitahukan kepada Penanggung Hutang, dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan akan semakin tidak berniat untuk menyelesaikan hutangnya. Bila pemilik piutang adalah badan usaha, kegiatan penghapusbukuan piutang tersebut meningkatkan biaya yang otomatis mengurangi keuntungan. Peningkatan biaya tersebut terjadi karena sebelum penghapusbukuan atas suatu piutang terjadi 100%, secara berkala pemilik piutang tersebut harus mencadangkan penghapusannya. Pencadangan yang dilakukan tersebut dibukukan sebagai biaya.                  Dengan demikian, walaupun penghapusbukuan hanya dilakukan secara administrasi pembukuan saja, namun dari sisi keuangan badan usaha yang melakukannya, penghapusbukuan memberikan implikasi biaya yang dapat mengurangi keuntungan.
Penghapustagihan piutang merupakan jenis penghapusan yang dilakukan dengan menghilangkan hak tagih. Dengan kata lain, penghapustagihan piutang dilakukan dengan menghapuskan kewajiban Penanggung Hutang. Guna meminimalisasi terjadinya kesalahan dalam penghapusan piutang sehingga dapat terhindar dari permasalahan hukum yang mungkin timbul, Penyerah Piutang harus mengetahui ketentuan hukum tentang persyaratan dan proses pelaksanaan penghapusan piutang tersebut. Di dalam tinjauan yuridis ini akan diuraikan dasar hukum, kewenangan, serta persyaratan dan prosedur penghapusan piutang negara.

PEMBAHASAN DAN ANALISA
Dasar Hukum Penghapusan Piutang Negara
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa pembebasan hutang  (penghapusan piutang) dapat dilakukan pemilik piutang guna menghapuskan perikatan/perjanjian hutang piutang. Walaupun tidak secara khusus ditujukan kepada negara sebagai pemilik piutang, ketentuan tersebut dapat juga digunakan pemerintah sebagai dasar penghapusan perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Namun demikian, sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara, Pemerintah tidak dapat mendasarkan penghapusan hutang semata-mata hanya pada ketentuan tersebut.  Untuk itu, diperlukan suatu ketentuan yang secara khusus menjadi dasar bagi Pemerintah untuk melakukan penghapusan piutang negara. Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang penghapusan piutang negara pertama kali dirumuskan dalam Pasal 19 Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswe /ICW) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan      Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan penagihan (atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan ketentuan:
1.    Pemerintah telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan atas pembebasan tersebut; dan
2.    pembebasan penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan dengan undang-undang.
Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864–106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Undang-Undang      Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam Undang-Undang          Nomor 1 Tahun 2004,  pengaturan tentang penghapusan piutang negara diatur dalam Pasal    37 ayat (1) yang berbunyi :
“Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat       dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.”

Aturan pelaksanaan ketentuan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor                  14 Tahun 2005 tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Untuk dapat mengerti secara utuh isi ketentuan Pasal 37 ayat (1), perlu diuraikan beberapa hal dalam rumusan tersebut.
1. Tentang pengertian piutang negara/daerah.
Di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 telah diatur bahwa Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah dan Pasal 1 angka 7 mengatur bahwa Piutang Daerah adalah jumlah uang yang  wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Pengertian tentang piutang negara dan piutang daerah tersebut hanya terbatas pada piutang instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja. Pengertian tersebut tidak mencakup piutang badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki milik negara atau daerah.  Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam Pasal 8     (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Perbedaan tersebut adalah:
a.    Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah, sehingga semua piutang yang diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara, sedangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 membedakan pengertian piutang negara (yang hanya terbatas pada piutang instansi pemerintah pusat saja) dengan pengertian piutang daerah (yang merupakan piutang instansi pemerintah daerah).
b.    Pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 selain mencakup pengertian yang lebih luas dari sekedar piutang instansi pemerintah pusat dan daerah, juga mencakup pengertian piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara/daerah (BUMN/BUMD). Bahkan pengertian piutang negara tersebut mencakup juga pengertian piutang milik badan-badan usaha yang merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari BUMN/BUMD tersebut.
Di sisi lain, pengertian piutang negara dan piutang daerah hanya terbatas pada pengertian piutang instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah saja dan tidak mencakup pengertian piutang badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah.
2. Tentang penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak.
Selama ini, pengertian yang lazim digunakan adalah penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang, sedangkan penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak baru mulai dikenal sejak diberlakukannya                Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, telah dirumuskan ketentuan yang tersebut.  Pengertian tersebut adalah:
a. Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan piutang dengan tidak menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan terminologi penghapusbukuan;
b.    Penghapusan Secara Mutlak adalah penghapusan piutang dengan menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan terminologi penghapustagihan.
3. Tentang pengertian piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.
Ketentuan tentang pengelolaan keuangan negara diatur dalam lebih dari satu                 Undang-Undang, seperti Undang-Undang tentang Keuangan Negara, Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara, beberapa undang-undang yang terkait dengan perpajakan, Undang-Undang tentang Kepabeanan, Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Undang-Undang tentang PUPN. Sebagian dari Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan tentang piutang negara yang secara spesifik berbeda jenis satu sama lainnya (misalnya piutang pajak, piutang bea dan cukai, dan piutang negara versi             Undang-Undang PUPN).
Penghapusan piutang negara tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan aturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005) atas jenis piutang negara yang diatur secara khusus di dalam suatu undang-undang, baik ketentuan tentang pengelolaannya maupun penghapusannya, misalnya piutang pajak yang diatur dalam undang-undang tentang perpajakan, dan piutang bea cukai yang diatur dalam undang undang tentang kepabeanan).
Dari uraian di atas rumusan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dapat direkonstruksi menjadi  “Piutang Instansi Pemerintah Pusat atau piutang Instansi Pemerintah Daerah diperbolehkan untuk dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan dari pembukuan. Piutang-piutang yang dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan tersebut tidak termasuk jenis
piutang yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan berdasarkan undang-undang lain, seperti piutang pajak dan piutang bea cukai”.
Sebagaimana diuraikan di atas, rumusan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor                     1 Tahun 2004 tidak mengatur tentang penghapusan piutang negara yang berasal dari                  badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah. Di sisi lain, badan-badan usaha tersebut memerlukan payung hukum untuk melakukan penghapustagihan piutangpiutang mereka, mengingat anggaran dasar masing-masing badan usaha hanya memberi kewenangan kepada masing-masing direksi untuk melakukan penghapusbukuan piutang saja. Payung hukum yang diperlukan oleh Direksi tersebut dapat diberikan melalui perubahan anggaran dasar masing-masing badan usaha yang dilakukan dengan cara sebagaimana yang diuraikan berikut ini :
1. perubahan anggaran dasar masing-masing oleh Rapat Umum Pemegang Saham, bila badan usaha (BUMN) tersebut berbentuk persero.
2.  berdasarkan Peraturan Pemerintah yang diusulkan oleh Menteri yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal, bila badan usaha (BUMN) tesebut berbentuk Perusahaan Umum.  Namun demikian, RUPS masing-masing BUMN Persero dan Pejabat yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal Perusahaan Umum tidak dapat memberikan kewenangan penghapustagihan piutang kepada masing-masing Direksi.  Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa RUPS dan Pejabat tersebut pada dasarnya adalah Menteri Keuangan5 yang belum memiliki dasar hukum yang kuat (baik berdasarkan Undang-undang Nomor 17             Tahun 2003 maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004) untuk memberikan kewenangan penghapustagihan piutang kepada Direksi. Agar BUMN (baik yang berbentuk Persero maupun yang berbentuk Perusahaan Umum) tersebut dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, perlu diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut didasarkan pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Seperti yang telah kemukakan sebelumnya, Peraturan Pemerintah tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dalam hal ketentuan penghapusan piutang negara/daerah. Dari uraian di atas, terlihat bahwa berdasarkan aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN yang telah diurus secara optimal. Di sisi lain, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 juga memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat peraturan-peraturan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara sesuai Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut sangatlah kuat karena dijamin oleh 2 undang-undang. Sebagai pelaksanaan kewenangan yang telah diberikan kepadanya, Menteri Keuangan telah menetapkan pengaturan tentang tatacara penghapusan piutang BUMN, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul,  Penelitian dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Peraturan Menteri Keuangan tersebut berlaku juga untuk penghapusan piutang Badan Usaha Milik Daerah, meskipun Menteri Keuangan bukan menjadi Wakil Pemerintah Daerah pemegang saham. Hal ini dilakukan mengingat di dalam ketentuan tersebut, yang dapat dihapuskan secara mutlak (dihapustagihkan) adalah piutang yang telah diurus oleh PUPN. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, piutang-piutang yang diurus PUPN juga meliputi piutang Instansi Pemerintah Daerah dan piutang               Badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Daerah.  Agar terdapat kesamaan perlakuan antara piutang BUMN dan piutang BUMD, maka selama Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang bersangkutan belum memiliki Peraturan Daerah sendiri tentang penghapusan piutang Instansi Daerah dan                   piutang BUMD, maka penghapusan piutang BUMD juga dapat dilakukan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 yang menjadi sumber disusunnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005, selain mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang Instansi Pemerintah Pusat juga mengatur tentang penghapusan piutang Instansi Daerah. Oleh karena itu, bila Peraturan Menteri Keuangan mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMN sudah pada tempatnya nila peraturan tersebut juga mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMD.
Kewenangan Penghapusan Piutang Negara
Ketentuan tentang penghapusan piutang negara sebagaimana diuraikan di atas mengatur juga tentang pihak-pihak yang berwenang melakukan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang negara. Ketentuan tentang kewenangan tersebut akan diuraikan berikut ini.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Pusat
Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Pusat ditetapkan oleh:
1. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00;
2.  Presiden untuk jumlah lebih dari Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00;
3. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp.100.000.000.000,00.
Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihan tersebut         di atas adalah nilai hutang per Penanggung Hutang. Bila di dalam perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya Piutang Negara diatur bahwa Penanggung Hutang wajib menyalurkan kredit kepada para anggotanya, maka nilai Piutang Negara yang dapat dihapuskan secara bersyarat adalah per anggota Penanggung Hutang.  Contoh Penanggung Hutang seperti itu adalah Koperasi.
Untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata uang asing, nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas. Untuk keperluan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan, piutang negara tersebut tidak perlu dikonversi menjadi dalam satuan mata uang rupiah.  Namun, untuk mengetahui batasan nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan,                nilai piutang negara tersebut dihitung dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan.


Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Daerah
Penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah, berdasarkan Pasal 37 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ditetapkan oleh:
1. G            ubernur/Bupati/Walikota untuk jumlah sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00;
2. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari Rp. 5.000.000.000,00.
Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan tersebut di atas juga sama, yaitu nilai hutang per Penanggung Hutang. Pengaturan tentang penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah dalam satuan mata uang asing juga sama seperti pengaturan untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata  uang asing.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMN
Sebagaimana diuraikan di depan, kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMN tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, melainkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan penghapusan tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Kewenangan Penghapusbukuan Penghapusbukuan piutang BUMN, dilakukan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa penghapusbukuan merupakan salah satu kegiatan dalam pengelolaan keuangan badan usaha yang menjadi tugas dan tanggungjawab Direksi. Selain itu, penghapusbukuan tersebut merupakan bagian dalam sistem akuntasi keuangan yang secara periodik akan selalu dilaksanakan bila telah memenuhi persyaratan, sehingga pemberian ijin dari RUPS cukup hanya satu kali saja yaitu di dalam Anggaran Dasar.
2. Kewenangan Penghapustagihan piutang pokok BUMN yang telah diurus oleh PUPN ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan batasan nilai yang dapat dihapustagihkan adalah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. Batasan nilai yang dapat dihapustagihkan tersebut disesuaikan dengan kewenangan Menteri Keuangan untuk menghapustagihkan piutang negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Pengaturan tentang penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas Rp.10.000.000.000,00 tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran sebagai berikut:
a. Di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, telah diatur bahwa penghapustagihan piutang negara dengan nilai di atas Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00 ditetapkan oleh Presiden dan piutang dengan nilai            di atas Rp. 100.000.000.000,00 ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.                 Bila piutang BUMN dengan nilai sebesar itu akan dihapustagihkan, maka yang dapat menetapkan penghapustagihannya adalah Presiden atau Presiden dengan persetujuan DPR. Oleh karena itu, apabila akan diatur, maka Peraturan Menteri Keuangan tidak tepat bila mengatur kewenangan Presiden atau kewenangan Presiden dan DPR.
b. Pihak yang dapat memberikan persetujuan penghapustagihan piutang BUMN Persero adalah RUPS, sedangkan yang memberikan persetujuan penghapustagihan piutang Perusahaan Umum adalah Pejabat yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal. Baik RUPS BUMN Persero maupun Pejabat tersebut pada kenyataannya adalah Menteri Keuangan, mengingat Pasal 6 ayat (2) huruf a                      Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan untuk menjadi Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian, pihak yang dapat memberikan persetujuan penghapustagihan piutang BUMN hanya Menteri Keuangan, dan bukan pihak-pihak lain. Namun, dengan pertimbangan kewenangan yang diberikan Pasal 37                 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, maka Menteri Keuangan hanya mengatur ketentuan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai sampai dengan Rp.10.000.000.000,00.
c. Kondisi aktual yang ada di masyarakat pada saat penyusunan ketentuan tentang penghapustagihan piutang BUMN, pada saat imbas krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 masih sangat terasa, serta kondisi keuangan negara yang masih mendapat tekanan pembayaran hutang dan tekanan kenaikan harga bahan bakar minyak, akan menyebabkan kebijakan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai yang sangat besar (di atas Rp. 10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang) menjadi suatu kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas Rp. 10.000.000.000,00                 per Penanggung Hutang tidak diatur.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMD
Sama seperti kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMN, kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMD hanya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan penghapusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kewenangan penghapusbukuan piutang BUMD ada pada BUMD yang bersangkutan. Dasar pemikiran ketentuan ini sama dengan pemikiranyang mendasari ketentuan tentang kewenangan penghapusbukuan piutang BUMN.
2. Kewenangan untuk menetapkan penghapustagihan piutang pokok BUMD ada pada Gubernur/Bupati/Walikota dengan batasan nilai yang dapat dihapustagihkan adalah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. Ketentuan ini juga didasarkan pada pemikiran yang analog dengan pemikiran yang mendasari ketentuan tentang kewenangan penghapustagihan piutang BUMN.
Persyaratan dan Prosedur Penghapusan Piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah
Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dapat dihapusbukukan, piutang tersebut harus sudah diurus secara optimal oleh PUPN, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya. Pengurusan piutang yang optimal tersebut ditandai dengan terbitnya pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). Selain itu, bila piutang tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, persyaratan penghapusbukuan piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah ditambah dengan adanya rekomendasi penghapusan secara bersyarat (penghapusbukuan) dari Badan Pemeriksa Keuangan.  Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dapat dihapustagihkan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1.  usul penghapustagihan diajukan setelah lewat waktu 2 tahun sejak sejak tanggal penetapan penghapusbukuan piutang dimaksud; dan
2. Penanggung Hutang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa kewajibannya, yang dibuktikan dengan keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang.
Penghapusbukuan/Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Pusat
Prosedur yang harus ditempuh dalam penghapusbukuan/penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Pusat adalah:
1. Usul penghapusbukuan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN.
Bila piutang negara tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul penghapusbukuan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif  Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; dan
b. surat rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan.
2. Usul penghapustagihan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. Surat Penetapan penghapusan Secara Bersyarat atas piutang yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c.  Surat Keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang menyatakan bahwa Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan kewajibannya.
3.  Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
b. Oleh Direktur Jenderal, usul tersebut segera diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
c. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Setelah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusbukuan/penghapustagihan disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapanpenghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
4.  Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan lebih dari Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.
b.  Oleh Menteri Keuangan usul tersebut ditindaklanjuti dengan menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk segera meneliti usul tersebut
c.  Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, usul tersebut diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
e. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan kepada Presiden dengan disertai pendapat bahwa usulan dapat diterima.
f. Bila Presiden tidak memberikan persetujuan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut, Menteri Keuangan menyampaikan usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Bila Presiden menyetujui dan menetapkan penghapusbukuan/penghapustagihan, penetapan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan tersebut juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
5.  Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan lebih dari Rp.100.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
a.  Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Presiden dengan persetujuan DPR, melalui Menteri Keuangan.
b.  Oleh Menteri Keuangan usul tersebut ditindaklanjuti dengan menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk segera meneliti usul tersebut
c. Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, usul tersebut diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
e. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan kepada DPR dengan disertai pendapat bahwa usulan dapat diterima.
f. Bila DPR tidak memberikan persetujuan, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
g.  Bila DPR memberikan persetujuan, Menteri Keuangan menyampaikan usul penghapusbukuan/ penghapustagihan yang telah disetujui DPR tersebut kepada Presiden. Bila Presiden tidak memberikan persetujuan penghapusbukuan/penghapustagihan, Menteri Keuangan menyampaikan usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
h. Bila Presiden menyetujui dan menetapkan penghapusbukuan/penghapustagihan, penetapan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Penghapusbukuan/Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Daerah
Prosedur yang harus ditempuh dalam penghapusbukuan/penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah adalah:
1.  Usul penghapusbukuan diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a.  daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
2.  Usul penghapustagihan diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. Surat Penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Daerah yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c.  Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Usul penghapustagihan tersebut dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak penetapan penghapusbukuan.
3. Pertimbangan penghapusan secara bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN.
Bila piutang negara tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul penghapusbukuan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a.  daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; dan
b. surat rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan.
4.  Pertimbangan penghapusan secara mutlak dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. Surat Penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Daerah yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c.  surat keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang menyatakan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa kewajibannya.
5.  Tindak lanjut permintaan pertimbangan penghapusan piutang yang diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang adalah sebagai berikut:
a. Kepala Kantor Wilayah DJPLN melakukan penelitian kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
b. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka pertimbangan penghapusan piutang tidak dapat diberikan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diperoleh kesimpulan hasil penelitian, Kepala Kanwil DJPLN menyampaikan Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat/Secara Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang meminta pertimbangan.
c. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan terpenuhi dan/atau dapat dibuktikan kebenarannya, maka pertimbangan penghapusan piutang dapat diberikan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diperoleh kesimpulan hasil penelitian, Kepala Kanwil DJPLN menyampaikan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat/Secara Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang meminta pertimbangan.
6.  Setelah dokumen lengkap, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mengajukan permohonan penghapusbukuan/penghapustagihan atas Piutang Daerah dengan nilai:
a.  sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada  Gubernur/Bupati/Walikota;
b.  lebih dari Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rayat Daerah masing-masing.
7. Setelah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, atau oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan diberitahukanPejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengajukan usul kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Penetapan penghapusan tersebut di atas, disampaikan Kepala Kantor Wilayah DJPLN kepada Kepala KP2LN dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima Kepala Kantor Wilayah DJPLN.


Persyaratan Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Persyaratan Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)
Terdapat beberapa persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Negara (BUMN) dapat dihapustagihkan. Persyaratan tersebut akan diuraikan berikut ini.
1.    Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya.
2. Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan:
a. Anggaran Dasar masing-masing BUMN; dan
b. sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMN yang bersangkutan.
3. Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila:
a. piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011; dan
b.  telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai limit piutang yang akan dihapustagihkan dari:
1). Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk Persero; atau
2). Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah selaku pemilik modal Negara, bila BUMN tidak berbentuk Persero.
4. Terdapat 2 skema penghapustagihan piutang BUMN, yaitu:
a. penghapustagihan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh Menteri Keuangan adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkosongkos; atau
b. penghapustagihan piutang yang pengurusannya telah ditarik kembali dari PUPN dan Penanggung Utang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMN yang bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang akan diusulkan untuk dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut harus menghasilkan tingkat pengembalian (recovery rate) sebesar:
1). 50% (lima puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat jaminan kebendaan; atau
2). 15% (lima belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN tidak terdapat jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan tersebut di atas adalah jaminan dengan benda berwujud dan tidak berwujud baik diikat secara sempurna maupun tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa piutang pokok sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali pengurusan piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat setelah:
1) dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat Berita Acara Tanya Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau
2) diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara oleh PUPN.
Dengan skema ini, yang berwenang menetapkan penghapustagihan piutang adalah:
1) Menteri Keuangan untuk penghapustagihan piutang pokok; dan
2) BUMN yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos.
5. Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan oleh BUMD atas piutang yang :
a. dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
b.  dijamin oleh Penjamin Kredit dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau perusahaan penjamin kredit.
Persyaratan Penghapustagihan Piutang Perusahaan Daerah (BUMD)
Persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Daerah (BUMD) dapat dihapustagihkan adalah sebagaimana uraian berikut ini.
1. Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya.
2. Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan:
a. Anggaran Dasar masing-masing BUMD; dan
b. sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMD yang bersangkutan.
3. Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila:
a. piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011; dan
b.  telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai limit piutang yang akan dihapustagihkan dari:
§ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk Persero; atau
§ Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah Daerah selaku pemilik modal Daerah, bila BUMD tidak berbentuk Persero.
4. Terdapat 2 (dua) skema penghapustagihan piutang BUMD, yaitu:
a. penghapustagihan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh Gubernur/Bupati/Walikota adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos; atau
b. penghapustagihan piutang yang pengurusannya telah ditarik kembali dari PUPN     dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMD yang bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang akan diusulkan untuk dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut harus menghasilkan tingkat pengembalian (recovery rate) sebesar 50% (lima puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat jaminan kebendaan; atau 15% (lima belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN tidak terdapat jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan tersebut di atas adalah jaminan dengan benda berwujud dan tidak berwujud baik diikat secara sempurna maupun tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa piutang pokok sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali pengurusan piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat setelah:
1) dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat Berita Acara Tanya Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau
2) diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara oleh PUPN.
Dengan skema ini, yang berwenang menetapkan penghapustagihan piutang adalah:
1) Gubernur/Bupati/Walikota untuk penghapustagihan piutang pokok; dan
2) BUMD yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos.
5. Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan oleh BUMD atas piutang yang:
a. dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
b. dijamin oleh Penjamin Kredit dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/ Daerah, pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau perusahaan penjamin kredit.
Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)
1.  Direksi BUMN dapat mengusulkan penghapustagihan piutang dengan nilai penghapusan sampai dengan Rp10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Menteri Keuangan, melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
2. Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. surat keputusan/berita acara/surat pernyataan dari Pejabat yang berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan bahwa piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011.
c.  bukti bahwa BUMN telah memperoleh persetujuan dan/atau penetapan limit piutang yang akan dihapuskan secara mutlak dari:
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk perseroan; atau
2)  Menteri yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMN berbentuk Perusahaan Umum; dan
d.  bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan:
1) telah optimal diurus oleh PUPN, usul penghapustagihan dilampiri dengan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau
2) telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang diberikan oleh BUMN, usul penghapustagihan dilampiri:
§ bukti bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan dan menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh PUPN Cabang telah selesai;
§  informasi tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMN; dan
§ data pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung Hutang telah menyelesaikan program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMN.
3. Usul penghapustagihan piutang BUMN yang dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. dokumen sebagaimana yang diuraikan pada angka 2 di atas; dan
b.  surat persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, dan/atau perusahaan penjamin kredit.
4. Usul penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMN ditindaklanjuti Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negaramelakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang diajukan.
5. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan tidak dapat diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara mengembalikan usul tersebut kepada Direksi BUMN yang mengajukan usul.
6. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan dapat diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri Keuangan dengan disertai pendapat.
7. Setelah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusan Piutang Perusahaan Negara disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada Direksi BUMN yang mengajukan usul. Penetapan tersebut juga diberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMD)
1.  Direksi BUMD dapat mengusulkan penghapustagihan piutang dengan nilai penghapusan sampai dengan Rp5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Gubernur/Bupati/ Walikota, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
2. Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a.  daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan Daerah dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
3. Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan Daerah dapat diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan ketentuan sebagai berikut:
a. didasarkan pada permintaan tertulis dari Direksi BUMD, yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
§ daftar nominatif Penanggung Hutang;
§ surat keputusan/berita acara/surat pernyataan dari Pejabat yang berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan bahwa piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002;
§ bukti bahwa BUMD telah memperoleh persetujuan dan/atau penetapan limit piutang yang akan dihapustagihkan dari:
ü Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk perseroan;atau
ü Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMD tidak berbentuk perseroan; dan
b. bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan:
§ telah optimal diurus oleh PUPN, permintaan pertimbangan dilampiri dengan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau
§  telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang diberikan oleh BUMD, permintaan pertimbangan dilampiri:
ü bukti bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan dan menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh PUPN Cabang telah selesai;
ü informasi tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMD; dan
ü data pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung Hutang telah menyelesaikan program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMD.
c. permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang BUMD yang dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
§ dokumen sebagaimana yang diuraikan pada angka 3 di atas; dan
§ surat persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/ Daerah, dan/atau perusahaan penjamin kredit; dan
d. Permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMD ditindaklanjuti Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang diajukan.
4. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan pertimbangan tidak dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLNmengembalikan usul tersebut kepada Direksi BUMD yang mengajukan permintaan petimbangan.
5. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan pertimbangan dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLN menyampaikan Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak Atas Piutang Perusahaan Daerah kepada Direksi BUMD yang mengajukan permintaan petimbangan.
6. Setelah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, penetapan penghapustagihan piutang BUMD diberitahukan Direksi BUMD yang mengajukan usul penghapustagihan kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN, yang kemudian juga memberitahukan penetapan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan.

PENUTUP
Perikatan/perjanjian hutang piutang antara Negara dan Penanggung Hutang dapat hapus bila Penanggung Hutang melakukan pembayaran pelunasan hutangnya, bila Negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban untuk melunasi hutangnya, bila umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa), atau karena sebab lain yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Melalui penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya menjadi habis/hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang negara merupakan pembebasan hutang Penanggung Hutang.
Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka hapus juga perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang.
Terdapat 2 jenis penghapusan piutang negara yaitu pertama, penghapusbukuan piutang  dengan tidak menghilangkan hak tagih, yang dilakukan hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan memindahkan pencatatan dari pembukuan utama (misalnya neraca)                  ke pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Kedua, penghapustagihan piutang negara dengan menghilangkan hak tagih. Kedua jenis penghapusan tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu penghapustagihan piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud
telah dihapusbukukan terlebih dahulu.
Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang penghapusan piutang negara pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet / ICW) S. 1864 – 106 Pasal 19 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan penagihan (atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan ketentuan:
1.  Pemerintah telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan atas pembebasan tersebut; dan
2.   pembebasan penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan dengan undang-undang.
Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864 – 106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang juga mengatur tentang penghapusan piutang negara (vide Pasal 37 ayat (1)). Aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 37 ayat (1) tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Namun demikian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara tidak secara eksplisit mengatur penghapusan piutang BUMN/BUMD. Hal tersebut disebabkan oleh pengertian piutang negara/daerah yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut terbatas hanya pada pengertian piutang Instansi Pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja, dan tidak mencakup pengertian piutang badan-badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah.
Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam Pasal 8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah, sehingga semua piutang yang diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara. Selain itu, pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 juga mencakup pengertian piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara/daerah (BUMN/BUMD).
Agar BUMN/BUMD dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan atau kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara/daerah yang dipisahkan, perlu diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN/BUMD. Pemberian kewenangan tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang merupakan pengaturan lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang ketentuan penghapusan piutang negara/daerah.
Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah telah disusun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Kedua peraturan tesebut berisi pengaturan tentang kewenangan, persyaratan, dan proses penghapusan (penghapusbukuan dan penghapustagihan) piutang Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, 1994, Gema Yustisia. Hasil Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara II di Denpasar, Mahkamah Agung RI, Badan Pertanahan Nasional, Bank-Bank Pemerintah, dan BUPLN Departemen Keuangan, Jakarta.
________, (1996). Hasil Rumusan Mahkamah Agung dan BUPLN tentang Penyelesaian Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Hasil Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara III di Medan. Jakarta.
J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran Hutang.        PT. Alumni, Bandung.
Panitia Urusan Piutang Negara, 1976, Himpunan Peraturan tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Jakarta.
R. Subekti. (1980), Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Bandung.
________ (1996), Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Pradnya Paramita
R. Subekti & R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Samsul Chorib, 2004, Pengantar Kepiutanglelangan Negara. Modul untuk Program Diploma Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara, Jakarta.
Simoeh, 1991,  Pengantar Ilmu Hukum. Modul untuk Program Diploma Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara. Jakarta.
Sugijanto, Robert Gunardi H, dan Sonny Loho, 1995, Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi Non-Laba, Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Brawijaya, Malang.
Sutan Remy Sjahdeini. (2002). Hukum Kepailitan. Memahami Faillissementscerordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998,  PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

1 komentar: