KAJIAN
YURIDIS TERHADAP PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA DAN PEMERINTAH DAERAH
ANDRI
YUSUF, SH., M.Kn
ABSTRAK
Receivable State represent the part of properties of
state which is by code/law delivered by its management
to Minister for Finance. Therefore state receivable have to be managed
orderlyly is, effective, efficient, transparent, bertanggungjawab, obedient at
law and regulation going into effect and also by paying attention sense of
justice and making proper.
In finishing
state receivable, DJPLN And/Or PUPN go through special procedure (Lex Specialis) that is procedure
management of receivable as arranged in Code Law Number 49 Prp. Year 1960 along
with whole regulation of its execution. In this Writing is focussed by
recognition of procedure management of Receivable State, specially more having
the character of procedure is non executing in state receivable write off
procedures.
Piutang Negara merupakan bagian dari kekayaan negara yang oleh
undang-undang diserahkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itu piutang negara harus dikelola
secara tertib, efektif, efisien, transparan, bertanggungjawab, taat pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
Dalam menyelesaikan piutang negara, PUPN dan/atau DJPLN menempuh prosedur
khusus (Lex Specialis) yaitu prosedur pengurusan piutang sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 beserta segenap peraturan pelaksanaannya. Dalam
Penulisan ini difokuskan pada pengenalan prosedur pengurusan Piutang Negara,
khususnya prosedur yang lebih bersifat non eksekusi dalam tata cara penghapusan
piutang negara.
PENDAHULUAN
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
mengatur bahwa perikatan hapus karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan hutang, karena perjumpaan
hutang atau kompensasi, karena
percampuran hutang, karena pembebasan hutang, karena musnahnya barang yang
terhutang, karena kebatalan atau pembatalan, karena berlakunya suatu syarat
pembatalan, atau karena lewat waktu. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa perikatan/perjanjian hutang piutang dapat hapus karena berbagai cara. Demikian juga halnya dengan penghapusan
perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara sebagai pemilik piutang
dengan Penanggung Hutang.
Perikatan hutang piutang antara negara dan
Penanggung Hutang dapat hapus karena Penanggung Hutang melakukan pembayaran
pelunasan hutangnya, negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban untuk
melunasi hutangnya, umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa) atau sebab lain
yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut di atas.
Melalui
penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak oleh negara selaku
pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya
menjadi hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang negara merupakan pembebasan
hutang Penanggung Hutang. Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka
hapus juga perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung
Hutang. Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai
penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang.
Pengurusan piutang negara dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pengurusan piutang negara,
dan ketentuan lain yang terkait. Penerapan seluruh ketentuan yang terkait
tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan hasil pengurusan piutang negara secara optimal
tanpa melanggar rambu-rambu yang ada. Di sisi lain, pemilik
piutang negara bila instansi pemerintah akan mengelola piutang tersebut dengan sistem
akuntansi pemerintahan yang menurut Sugijanto, Robert Gunardi H dan Sonny Loho
(1995) memiliki persamaan dengan akuntansi komersial, yaitu:
1.
Akuntansi pemerintahan maupun akuntansi
komersial sama-sama memberikan informasi mengenai mengenai posisi keuangan dan
hasil operasi;
2.
Akuntansi pemerintahan maupun akuntansi
komersial mengikuti prinsip-prinsip dan standar akuntansi yang diterima secara
umum, yaitu prinsipobjektivitas (objectivity), prinsip konsitensi (consistency),
prinsip materialitas (materiality) dan prinsip pengungkapan yang memadai
(full disclosure).
Bila
pemilik piutang negara adalah badan usaha, maka badan usaha tersebut mengelola
piutangnya dengan sistem akuntansi komersial yang sama dengan yang
diterapkan badan-badan usaha
swasta. Dengan penerapan sistem akuntansi keuangan yang baku dan memperhatikan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku tentang tata cara penghapusan
piutang negara, Penyerah Piutang dimungkinkan untuk melakukan penghapusan
piutang tersebut bila upaya penagihannya telah optimal dilakukan, namun masih terdapat
sisa piutang dan Penanggung Hutang sudah tidak memiliki kemampuan untuk
menyelesaikannya. Penghapusan tersebut dapat berupa penghapusbukuan piutang
tanpa menghilangkan hak tagih, dan berupa penghapustagihan piutang yang
menghilangkan hak tagih.
Dasar pemikiran tersebut dirumuskan dalam alinea
keenam dan ketujuh Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005
tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang berbunyi:
“Pengelolaan
Piutang Negara/Daerah yang menganut asas-asas umum pengelolaan keuangan negara,
juga mengikuti sistem akuntansi yang sesuai dengan standar akuntasi keuangan
yang berlaku. Berdasarkan standar akuntasi tersebut di dalam pengelolaan
piutang dimungkinkan adanya penghapusan piutang dari pembukuan dengan tidak
menghapuskan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara
bersyarat).
Piutang-piutang
yang telah dihapuskan secara bersyarat dari pembukuan tersebut, tetap dikelola
dan diupayakan penyelesaiannya. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil,
dan kewajiban Penanggung Utang tetap tidak terselesaikan, serta diperoleh
keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Penanggung Utang yang bersangkutan
tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan utangnya, dimungkinkan
dilaksanakannya penghapusan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai
penghapusbukuan secara mutlak).”
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat 2 (dua) jenis penghapusan piutang
negara, yaitu penghapusbukuan dengan tidak menghilangkan hak tagih, dan
penghapustagihan piutang negara dengan menghapuskan hak tagih. Kedua jenis penghapusan tersebut dilakukan
secara berurutan, yaitu penghapustagihan
piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud telah dihapusbukukan
terlebih dahulu. Penghapusbukuan piutang merupakan jenis penghapusan yang dilakukan
hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan memindahkan pencatatan
dari pembukuan utama (misalnya neraca) ke pembukuan khusus piutang yang telah
dihapusbukukan. Oleh karena itu, penghapusbukuan piutang tidak menghilangkan
hak tagih. Karena tidak berpengaruh terhadap kewajiban Penanggung Hutang, maka
penghapusbukuan piutang tidak diberitahukan pemilik piutang kepada Penanggung
Hutang. Apabila penghapusbukuan diberitahukan kepada Penanggung Hutang, dapat diperkirakan
bahwa yang bersangkutan akan semakin tidak berniat untuk menyelesaikan
hutangnya. Bila pemilik piutang adalah badan usaha, kegiatan penghapusbukuan piutang
tersebut meningkatkan biaya yang otomatis mengurangi keuntungan. Peningkatan
biaya tersebut terjadi karena sebelum penghapusbukuan atas suatu piutang
terjadi 100%, secara berkala pemilik piutang tersebut harus mencadangkan
penghapusannya. Pencadangan yang dilakukan tersebut dibukukan sebagai biaya. Dengan demikian, walaupun
penghapusbukuan hanya dilakukan secara administrasi pembukuan saja, namun dari
sisi keuangan badan usaha yang melakukannya, penghapusbukuan memberikan implikasi
biaya yang dapat mengurangi keuntungan.
Penghapustagihan piutang merupakan jenis penghapusan
yang dilakukan dengan menghilangkan hak tagih. Dengan kata lain, penghapustagihan
piutang dilakukan dengan menghapuskan kewajiban Penanggung Hutang. Guna
meminimalisasi terjadinya kesalahan dalam penghapusan piutang sehingga dapat
terhindar dari permasalahan hukum yang mungkin timbul, Penyerah Piutang harus
mengetahui ketentuan hukum tentang persyaratan dan proses pelaksanaan
penghapusan piutang tersebut. Di dalam tinjauan yuridis ini akan diuraikan
dasar hukum, kewenangan, serta persyaratan dan prosedur penghapusan piutang
negara.
PEMBAHASAN DAN ANALISA
Dasar
Hukum Penghapusan Piutang Negara
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal
1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa pembebasan hutang (penghapusan piutang) dapat dilakukan pemilik
piutang guna menghapuskan perikatan/perjanjian hutang piutang. Walaupun tidak
secara khusus ditujukan kepada negara sebagai pemilik piutang, ketentuan
tersebut dapat juga digunakan pemerintah sebagai dasar penghapusan
perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Namun
demikian, sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara,
Pemerintah tidak dapat mendasarkan penghapusan hutang semata-mata hanya pada
ketentuan tersebut. Untuk itu,
diperlukan suatu ketentuan yang secara khusus menjadi dasar bagi Pemerintah
untuk melakukan penghapusan piutang negara. Ketentuan yang secara spesifik
mengatur tentang penghapusan piutang negara pertama kali dirumuskan dalam Pasal
19 Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswe /ICW)
sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1968 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan penagihan
(atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan ketentuan:
1.
Pemerintah telah mendapat pertimbangan
dari Badan Pemeriksa Keuangan atas pembebasan tersebut; dan
2.
pembebasan penagihan dengan jumlah
melebihi f.10.000,00 ditetapkan dengan undang-undang.
Saat
ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet
/ICW) S. 1864–106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, pengaturan tentang penghapusan piutang negara
diatur dalam Pasal 37 ayat (1) yang
berbunyi :
“Piutang
negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang
negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.”
Aturan
pelaksanaan ketentuan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Untuk dapat mengerti secara utuh isi
ketentuan Pasal 37 ayat (1), perlu diuraikan beberapa hal dalam rumusan
tersebut.
1. Tentang
pengertian piutang negara/daerah.
Di dalam Pasal 1 angka
6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 telah diatur bahwa Piutang Negara adalah
jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah
Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat
lainnya yang sah dan Pasal 1 angka 7 mengatur bahwa Piutang Daerah adalah
jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang
sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Pengertian
tentang piutang negara dan piutang daerah tersebut hanya terbatas pada piutang
instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja. Pengertian tersebut tidak
mencakup piutang badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
milik negara atau daerah. Pengertian
tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam Pasal 8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Perbedaan tersebut adalah:
a.
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah, sehingga semua piutang yang
diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara, sedangkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 membedakan pengertian piutang negara (yang hanya terbatas
pada piutang instansi pemerintah pusat saja) dengan pengertian piutang daerah
(yang merupakan piutang instansi pemerintah daerah).
b.
Pengertian piutang negara dalam
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 selain mencakup pengertian yang lebih
luas dari sekedar piutang instansi pemerintah pusat dan daerah, juga mencakup pengertian
piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya
milik negara/daerah (BUMN/BUMD). Bahkan pengertian piutang negara tersebut mencakup
juga pengertian piutang milik badan-badan usaha yang merupakan anak perusahaan
(subsidiary) dari BUMN/BUMD tersebut.
Di sisi lain,
pengertian piutang negara dan piutang daerah hanya terbatas pada pengertian
piutang instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah saja dan tidak mencakup
pengertian piutang badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
negara atau daerah.
2. Tentang
penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak.
Selama ini, pengertian
yang lazim digunakan adalah penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang,
sedangkan penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara
mutlak baru mulai dikenal sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004.
Di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah, telah dirumuskan ketentuan yang tersebut. Pengertian tersebut adalah:
a.
Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan piutang dengan tidak
menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan terminologi
penghapusbukuan;
b.
Penghapusan Secara Mutlak adalah
penghapusan piutang dengan menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal
dengan terminologi penghapustagihan.
3.
Tentang pengertian piutang negara/daerah
yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.
Ketentuan tentang
pengelolaan keuangan negara diatur dalam lebih dari satu Undang-Undang, seperti Undang-Undang
tentang Keuangan Negara, Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara, beberapa
undang-undang yang terkait dengan perpajakan, Undang-Undang tentang Kepabeanan,
Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Undang-Undang tentang
PUPN. Sebagian dari Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan tentang piutang
negara yang secara spesifik berbeda jenis satu sama lainnya (misalnya piutang
pajak, piutang bea dan cukai, dan piutang negara versi Undang-Undang PUPN).
Penghapusan piutang
negara tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 dan aturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005)
atas jenis piutang negara yang diatur secara khusus di dalam suatu
undang-undang, baik ketentuan tentang pengelolaannya maupun penghapusannya, misalnya
piutang pajak yang diatur dalam undang-undang tentang perpajakan, dan piutang
bea cukai yang diatur dalam undang undang tentang kepabeanan).
Dari
uraian di atas rumusan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dapat
direkonstruksi menjadi “Piutang Instansi
Pemerintah Pusat atau piutang Instansi Pemerintah Daerah diperbolehkan untuk
dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan dari pembukuan. Piutang-piutang yang dihapusbukukan
dan/atau dihapustagihkan tersebut tidak termasuk jenis
piutang
yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan berdasarkan undang-undang
lain, seperti piutang pajak dan piutang bea cukai”.
Sebagaimana
diuraikan di atas, rumusan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tidak mengatur
tentang penghapusan piutang negara yang berasal dari badan-badan usaha yang seluruh
atau sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah. Di sisi lain, badan-badan
usaha tersebut memerlukan payung hukum untuk melakukan penghapustagihan
piutangpiutang mereka, mengingat anggaran dasar masing-masing badan usaha hanya
memberi kewenangan kepada masing-masing direksi untuk melakukan penghapusbukuan
piutang saja. Payung hukum yang diperlukan oleh Direksi tersebut dapat
diberikan melalui perubahan anggaran dasar masing-masing badan usaha yang
dilakukan dengan cara sebagaimana yang diuraikan berikut ini :
1.
perubahan anggaran dasar masing-masing oleh Rapat Umum Pemegang Saham, bila
badan usaha (BUMN) tersebut berbentuk persero.
2. berdasarkan Peraturan Pemerintah yang
diusulkan oleh Menteri yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku
pemilik modal, bila badan usaha (BUMN) tesebut berbentuk Perusahaan Umum. Namun demikian, RUPS masing-masing BUMN
Persero dan Pejabat yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik
modal Perusahaan Umum tidak dapat memberikan kewenangan penghapustagihan
piutang kepada masing-masing Direksi. Hal
tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa RUPS dan Pejabat tersebut pada
dasarnya adalah Menteri Keuangan5 yang belum
memiliki dasar hukum yang kuat (baik berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 maupun Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004) untuk memberikan kewenangan penghapustagihan piutang kepada
Direksi. Agar BUMN (baik yang berbentuk Persero maupun yang berbentuk Perusahaan
Umum) tersebut dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah diurus secara
optimal, maka kepada Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan
kekayaan negara yang dipisahkan, perlu diberikan kewenangan untuk membuat
pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN. Pemberian kewenangan
kepada Menteri Keuangan tersebut didasarkan pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah
Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Seperti
yang telah kemukakan sebelumnya, Peraturan Pemerintah tersebut merupakan
pengaturan lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
dalam hal ketentuan penghapusan piutang negara/daerah. Dari uraian di atas,
terlihat bahwa berdasarkan aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004,
Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang
penghapustagihan piutang-piutang BUMN yang telah diurus secara optimal. Di sisi
lain, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 juga memberikan
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat peraturan-peraturan yang diperlukan
dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara sesuai Undangundang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tersebut. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut
sangatlah kuat karena dijamin oleh 2 undang-undang. Sebagai pelaksanaan
kewenangan yang telah diberikan kepadanya, Menteri Keuangan telah menetapkan
pengaturan tentang tatacara penghapusan piutang BUMN, yaitu Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian dan Penetapan Penghapusan Piutang
Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Peraturan Menteri Keuangan
tersebut berlaku juga untuk penghapusan piutang Badan Usaha Milik Daerah,
meskipun Menteri Keuangan bukan menjadi Wakil Pemerintah Daerah pemegang saham.
Hal ini dilakukan mengingat di dalam ketentuan tersebut, yang dapat dihapuskan
secara mutlak (dihapustagihkan) adalah piutang yang telah diurus oleh PUPN.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, piutang-piutang yang diurus PUPN juga
meliputi piutang Instansi Pemerintah Daerah dan piutang Badan-badan yang umumnya kekayaan
dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Daerah. Agar terdapat kesamaan perlakuan antara
piutang BUMN dan piutang BUMD, maka selama Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang
bersangkutan belum memiliki Peraturan Daerah sendiri tentang penghapusan
piutang Instansi Daerah dan piutang BUMD, maka
penghapusan piutang BUMD juga dapat dilakukan dengan menggunakan Peraturan
Menteri Keuangan tersebut. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 yang menjadi sumber disusunnya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005, selain mengatur ketentuan tentang
penghapusan piutang Instansi Pemerintah Pusat juga mengatur tentang penghapusan
piutang Instansi Daerah. Oleh karena itu, bila Peraturan Menteri Keuangan
mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMN sudah pada tempatnya nila
peraturan tersebut juga mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMD.
Kewenangan
Penghapusan Piutang Negara
Ketentuan
tentang penghapusan piutang negara sebagaimana diuraikan di atas mengatur juga
tentang pihak-pihak yang berwenang melakukan penghapusbukuan dan/atau
penghapustagihan piutang negara. Ketentuan tentang kewenangan tersebut akan
diuraikan berikut ini.
Penghapusbukuan
dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Pusat
Berdasarkan
Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah
Pusat ditetapkan oleh:
1.
Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00;
2. Presiden untuk jumlah lebih dari
Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00;
3.
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari
Rp.100.000.000.000,00.
Batasan
nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihan tersebut
di atas adalah nilai hutang per
Penanggung Hutang. Bila di dalam perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi
dasar terjadinya Piutang Negara diatur bahwa Penanggung Hutang wajib
menyalurkan kredit kepada para anggotanya, maka nilai Piutang Negara yang dapat
dihapuskan secara bersyarat adalah per anggota Penanggung Hutang. Contoh Penanggung Hutang seperti itu adalah
Koperasi.
Untuk
piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata uang asing, nilai yang
dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan adalah nilai yang setara dengan
nilai sebagaimana dimaksud di atas. Untuk keperluan penghapusbukuan dan/atau
penghapustagihan, piutang negara tersebut tidak perlu dikonversi menjadi dalam
satuan mata uang rupiah. Namun, untuk mengetahui
batasan nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan, nilai piutang negara tersebut
dihitung dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari
sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan.
Penghapusbukuan
dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Daerah
Penghapusbukuan
dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah, berdasarkan Pasal
37 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
ditetapkan oleh:
1.
G ubernur/Bupati/Walikota untuk
jumlah sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00;
2.
Gubernur/Bupati/Walikota dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari Rp. 5.000.000.000,00.
Batasan
nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan
tersebut di atas juga sama, yaitu nilai hutang per Penanggung Hutang.
Pengaturan tentang penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi
Pemerintah Daerah dalam satuan mata uang asing juga sama seperti pengaturan
untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata uang asing.
Penghapusbukuan
dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMN
Sebagaimana diuraikan di depan, kewenangan
penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMN tidak diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah,
melainkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata
Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan
penghapusan tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Kewenangan Penghapusbukuan Penghapusbukuan piutang BUMN, dilakukan sendiri oleh
BUMN yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
ini didasarkan pada pemikiran bahwa penghapusbukuan merupakan salah satu
kegiatan dalam pengelolaan keuangan badan usaha yang menjadi tugas dan
tanggungjawab Direksi. Selain itu, penghapusbukuan tersebut merupakan bagian
dalam sistem akuntasi keuangan yang secara periodik akan selalu dilaksanakan
bila telah memenuhi persyaratan, sehingga pemberian ijin dari RUPS cukup hanya
satu kali saja yaitu di dalam Anggaran Dasar.
2.
Kewenangan Penghapustagihan piutang pokok BUMN yang telah diurus oleh PUPN ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, dengan batasan nilai yang dapat dihapustagihkan adalah
sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. Batasan nilai yang
dapat dihapustagihkan tersebut disesuaikan dengan kewenangan Menteri Keuangan
untuk menghapustagihkan piutang negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Pengaturan
tentang penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas Rp.10.000.000.000,00
tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005. Hal
tersebut didasarkan pada pemikiran sebagai berikut:
a.
Di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004, telah diatur bahwa penghapustagihan piutang negara dengan nilai di
atas Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00 ditetapkan oleh
Presiden dan piutang dengan nilai di atas Rp. 100.000.000.000,00
ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Bila piutang BUMN dengan nilai
sebesar itu akan dihapustagihkan, maka yang dapat menetapkan
penghapustagihannya adalah Presiden atau Presiden dengan persetujuan DPR. Oleh
karena itu, apabila akan diatur, maka Peraturan Menteri Keuangan tidak tepat
bila mengatur kewenangan Presiden atau kewenangan Presiden dan DPR.
b.
Pihak yang dapat memberikan persetujuan
penghapustagihan piutang BUMN Persero adalah RUPS, sedangkan yang memberikan persetujuan
penghapustagihan piutang Perusahaan Umum adalah Pejabat yang diberi kuasa untuk
mewakili pemerintah selaku pemilik modal. Baik RUPS BUMN Persero maupun Pejabat
tersebut pada kenyataannya adalah Menteri Keuangan, mengingat Pasal 6 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan kuasa kepada
Menteri Keuangan untuk menjadi Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan. Dengan demikian, pihak yang dapat memberikan
persetujuan penghapustagihan piutang BUMN hanya Menteri Keuangan, dan bukan
pihak-pihak lain. Namun, dengan pertimbangan kewenangan yang diberikan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004, maka Menteri Keuangan hanya mengatur ketentuan penghapustagihan piutang
BUMN dengan nilai sampai dengan Rp.10.000.000.000,00.
c.
Kondisi aktual yang ada di masyarakat pada saat penyusunan ketentuan tentang
penghapustagihan piutang BUMN, pada saat imbas krisis ekonomi yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 masih sangat terasa, serta kondisi keuangan negara yang
masih mendapat tekanan pembayaran hutang dan tekanan kenaikan harga bahan bakar
minyak, akan menyebabkan kebijakan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai
yang sangat besar (di atas Rp. 10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang) menjadi
suatu kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat. Oleh karena itu,
kebijakan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas Rp.
10.000.000.000,00 per
Penanggung Hutang tidak diatur.
Penghapusbukuan
dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMD
Sama seperti kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan
piutang BUMN, kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMD
hanya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata
Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan penghapusan
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kewenangan penghapusbukuan piutang BUMD
ada pada BUMD yang bersangkutan. Dasar pemikiran ketentuan ini sama dengan
pemikiranyang mendasari ketentuan tentang kewenangan penghapusbukuan piutang BUMN.
2.
Kewenangan untuk menetapkan penghapustagihan piutang pokok BUMD ada pada
Gubernur/Bupati/Walikota dengan batasan nilai yang dapat dihapustagihkan adalah
sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. Ketentuan ini juga
didasarkan pada pemikiran yang analog dengan pemikiran yang mendasari ketentuan
tentang kewenangan penghapustagihan piutang BUMN.
Persyaratan
dan Prosedur Penghapusan Piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah
Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah
dapat dihapusbukukan, piutang tersebut harus sudah diurus secara optimal oleh PUPN,
sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut
aturan pelaksanaannya. Pengurusan piutang yang optimal tersebut ditandai dengan
terbitnya pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). Selain itu,
bila piutang tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, persyaratan penghapusbukuan
piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah ditambah dengan adanya rekomendasi
penghapusan secara bersyarat (penghapusbukuan) dari Badan Pemeriksa Keuangan. Agar suatu piutang Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah dapat dihapustagihkan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1. usul penghapustagihan diajukan setelah lewat
waktu 2 tahun sejak sejak tanggal penetapan penghapusbukuan piutang dimaksud;
dan
2.
Penanggung Hutang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa
kewajibannya, yang dibuktikan dengan keterangan dari Aparat/Pejabat yang
berwenang.
Penghapusbukuan/Penghapustagihan
Piutang Instansi Pemerintah Pusat
Prosedur yang harus ditempuh dalam
penghapusbukuan/penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Pusat adalah:
1.
Usul penghapusbukuan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang
secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b.
Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN.
Bila piutang negara
tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul penghapusbukuan dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT dari
PUPN; dan
b.
surat rekomendasi penghapusan secara
bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan.
2.
Usul penghapustagihan diajukan oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang;
b.
Surat Penetapan penghapusan Secara
Bersyarat atas piutang yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c. Surat Keterangan dari Aparat/Pejabat yang
berwenang menyatakan bahwa Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
kewajibannya.
3. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai
penghapusan sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
a.
Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Menteri Keuangan melalui
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
b.
Oleh Direktur Jenderal, usul tersebut segera diteliti kelengkapan persyaratan
dan kebenarannya.
c.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima,
usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal
Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
d.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil
penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Setelah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusbukuan/penghapustagihan
disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada
Menteri/Pimpinan
Lembaga yang mengajukan
usul. Selain itu, penetapanpenghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga
diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan
melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
4. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai
penghapusan lebih dari Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00
per Penanggung Hutang.
a.
Usul penghapusbukuan/penghapustagihan
diajukan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.
b. Oleh Menteri Keuangan usul tersebut
ditindaklanjuti dengan menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara untuk segera meneliti usul tersebut
c. Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara, usul tersebut diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
d.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima,
usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal
Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
e.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil
penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan.
Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan kepada Presiden dengan disertai
pendapat bahwa usulan dapat diterima.
f.
Bila Presiden tidak memberikan
persetujuan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut, Menteri Keuangan menyampaikan
usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada Direktur Jenderal Piutang
dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang
mengajukan usul. Bila Presiden menyetujui dan menetapkan penghapusbukuan/penghapustagihan,
penetapan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan
usul. Selain itu, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan tersebut juga
diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor
Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
5. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai
penghapusan lebih dari Rp.100.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan
kepada Presiden dengan persetujuan DPR, melalui Menteri Keuangan.
b. Oleh Menteri Keuangan usul tersebut
ditindaklanjuti dengan menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara untuk segera meneliti usul tersebut
c.
Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara, usul tersebut diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
d.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima,
usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal
Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
e.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil
penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan.
Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan kepada DPR dengan disertai
pendapat bahwa usulan dapat diterima.
f.
Bila DPR tidak memberikan persetujuan,
usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut oleh Menteri Keuangan disampaikan
kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
g. Bila DPR memberikan persetujuan, Menteri
Keuangan menyampaikan usul penghapusbukuan/ penghapustagihan yang telah
disetujui DPR tersebut kepada Presiden. Bila Presiden tidak memberikan
persetujuan penghapusbukuan/penghapustagihan, Menteri Keuangan menyampaikan
usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada Direktur Jenderal Piutang
dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang
mengajukan usul.
h.
Bila Presiden menyetujui dan menetapkan penghapusbukuan/penghapustagihan,
penetapan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan
usul. Selain itu, penetapan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga
diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor
Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Penghapusbukuan/Penghapustagihan
Piutang Instansi Pemerintah Daerah
Prosedur
yang harus ditempuh dalam penghapusbukuan/penghapustagihan piutang Instansi
Pemerintah Daerah adalah:
1. Usul penghapusbukuan diajukan oleh Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan
dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b.
Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah
DJPLN.
2. Usul penghapustagihan diajukan oleh Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan
dokumen sekurangkurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang;
b.
Surat Penetapan Penghapusan Secara
Bersyarat atas Piutang Daerah yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak
dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Usul penghapustagihan tersebut dilakukan
setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak penetapan penghapusbukuan.
3.
Pertimbangan penghapusan secara bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN
diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b.
Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN.
Bila piutang negara
tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul penghapusbukuan dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat
Pernyataan PSBDT dari PUPN; dan
b.
surat rekomendasi penghapusan secara
bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan.
4. Pertimbangan penghapusan secara mutlak dari
Kepala Kantor Wilayah DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen
sekurang-kurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang;
b.
Surat Penetapan Penghapusan Secara
Bersyarat atas Piutang Daerah yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c. surat keterangan dari Aparat/Pejabat yang
berwenang menyatakan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
sisa kewajibannya.
5. Tindak lanjut permintaan pertimbangan
penghapusan piutang yang diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang
berpiutang adalah sebagai berikut:
a.
Kepala Kantor Wilayah DJPLN melakukan
penelitian kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
b.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak
terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka pertimbangan
penghapusan piutang tidak dapat diberikan.
Dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari sejak diperoleh kesimpulan hasil penelitian, Kepala
Kanwil DJPLN menyampaikan Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat/Secara
Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang
meminta pertimbangan.
c.
Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa kelengkapan persyaratan terpenuhi dan/atau dapat dibuktikan kebenarannya,
maka pertimbangan penghapusan piutang dapat diberikan.
Dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari sejak diperoleh kesimpulan hasil penelitian, Kepala
Kanwil DJPLN menyampaikan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara
Bersyarat/Secara Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
yang meminta pertimbangan.
6. Setelah dokumen lengkap, Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah mengajukan permohonan penghapusbukuan/penghapustagihan atas Piutang
Daerah dengan nilai:
a. sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 per
Penanggung Hutang kepada Gubernur/Bupati/Walikota;
b. lebih dari Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung
Hutang kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rayat
Daerah masing-masing.
7.
Setelah ditetapkan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota, atau oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan
diberitahukanPejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengajukan usul kepada
Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Penetapan penghapusan
tersebut di atas, disampaikan Kepala Kantor Wilayah DJPLN kepada Kepala KP2LN
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima Kepala Kantor Wilayah
DJPLN.
Persyaratan
Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Persyaratan
Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)
Terdapat
beberapa persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Negara (BUMN) dapat
dihapustagihkan. Persyaratan tersebut akan diuraikan berikut ini.
1.
Piutang yang akan dihapustagihkan telah
diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya.
2.
Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan:
a.
Anggaran Dasar masing-masing BUMN; dan
b.
sistem akuntansi dan peraturan yang
berlaku bagi BUMN yang bersangkutan.
3.
Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila:
a.
piutang telah dihapusbukukan paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2011; dan
b. telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai
limit piutang yang akan dihapustagihkan dari:
1). Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk Persero; atau
2). Pejabat
yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah selaku pemilik modal
Negara, bila BUMN tidak berbentuk Persero.
4.
Terdapat 2 skema penghapustagihan piutang BUMN, yaitu:
a.
penghapustagihan piutang yang telah
dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh
Menteri Keuangan adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkosongkos; atau
b.
penghapustagihan piutang yang pengurusannya
telah ditarik kembali dari PUPN dan Penanggung Utang telah selesai melaksanakan
program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMN yang bersangkutan,
namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang akan diusulkan untuk
dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut harus menghasilkan tingkat
pengembalian (recovery rate) sebesar:
1). 50% (lima puluh per
seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang
ditarik kembali dari PUPN terdapat jaminan kebendaan; atau
2). 15% (lima belas per
seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang
ditarik kembali dari PUPN tidak terdapat jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan
tersebut di atas adalah jaminan dengan benda berwujud dan tidak berwujud baik
diikat secara sempurna maupun tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa
piutang pokok sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat
pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali pengurusan
piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat setelah:
1)
dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat Berita Acara Tanya
Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau
2)
diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang
Negara oleh PUPN.
Dengan skema ini, yang
berwenang menetapkan penghapustagihan piutang adalah:
1)
Menteri Keuangan untuk penghapustagihan
piutang pokok; dan
2)
BUMN yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga, denda, dan/atau
ongkos-ongkos.
5.
Usul penghapustagihan piutang tersebut
diajukan oleh BUMD atas piutang yang :
a.
dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi
Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
b. dijamin oleh Penjamin Kredit dilakukan setelah
mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/Daerah,
pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau perusahaan penjamin kredit.
Persyaratan
Penghapustagihan Piutang Perusahaan Daerah (BUMD)
Persyaratan
agar suatu piutang Perusahaan Daerah (BUMD) dapat dihapustagihkan adalah
sebagaimana uraian berikut ini.
1.
Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya kepada PUPN
sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut
aturan pelaksanaannya.
2.
Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan:
a.
Anggaran Dasar masing-masing BUMD; dan
b.
sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMD yang bersangkutan.
3.
Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila:
a.
piutang telah dihapusbukukan paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2011; dan
b. telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai
limit piutang yang akan dihapustagihkan dari:
§ Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk Persero; atau
§ Pejabat
yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah Daerah selaku pemilik
modal Daerah, bila BUMD tidak berbentuk Persero.
4.
Terdapat 2 (dua) skema penghapustagihan
piutang BUMD, yaitu:
a.
penghapustagihan piutang yang telah
dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau
ongkos-ongkos; atau
b.
penghapustagihan piutang yang
pengurusannya telah ditarik kembali dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai
melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMD
yang bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang akan
diusulkan untuk dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut harus
menghasilkan tingkat pengembalian (recovery rate) sebesar 50% (lima
puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan
piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat jaminan kebendaan; atau 15% (lima
belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan
piutang ditarik kembali dari PUPN tidak terdapat jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan
tersebut di atas adalah jaminan dengan benda berwujud dan tidak berwujud baik
diikat secara sempurna maupun tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa
piutang pokok sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat
pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali pengurusan
piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat setelah:
1)
dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat Berita Acara Tanya
Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau
2)
diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang
Negara oleh PUPN.
Dengan skema ini, yang
berwenang menetapkan penghapustagihan piutang adalah:
1)
Gubernur/Bupati/Walikota untuk
penghapustagihan piutang pokok; dan
2)
BUMD yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga, denda, dan/atau
ongkos-ongkos.
5.
Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan
oleh BUMD atas piutang yang:
a.
dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi
Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
b.
dijamin oleh Penjamin Kredit dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank
Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/ Daerah, pihak-pihak yang menanggung
risiko, dan/atau perusahaan penjamin kredit.
Proses
Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Proses
Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)
1. Direksi BUMN dapat mengusulkan
penghapustagihan piutang dengan nilai penghapusan sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Menteri Keuangan, melalui
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
2.
Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
a.
daftar nominatif Penanggung Hutang;
b.
surat keputusan/berita acara/surat
pernyataan dari Pejabat yang berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan
bahwa piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011.
c. bukti bahwa BUMN telah memperoleh persetujuan
dan/atau penetapan limit piutang yang akan dihapuskan secara mutlak dari:
1)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila
BUMN berbentuk perseroan; atau
2) Menteri yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk
mewakili pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMN berbentuk Perusahaan
Umum; dan
d. bila pengurusan piutang yang akan
dihapustagihkan:
1)
telah optimal diurus oleh PUPN, usul penghapustagihan dilampiri dengan Surat
Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau
2)
telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan
program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang diberikan oleh BUMN, usul
penghapustagihan dilampiri:
§ bukti
bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan dan menyatakan bahwa
pengurusan piutang oleh PUPN Cabang telah selesai;
§ informasi
tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMN;
dan
§ data
pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung Hutang telah menyelesaikan program
restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMN.
3.
Usul penghapustagihan piutang BUMN yang dibiayai dan resikonya ditanggung oleh
Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a.
dokumen sebagaimana yang diuraikan pada
angka 2 di atas; dan
b. surat persetujuan penghapusan dari Bank
Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, dan/atau perusahaan penjamin
kredit.
4.
Usul penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMN ditindaklanjuti
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negaramelakukan penelitian atas
kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang diajukan.
5.
Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi
dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan tidak dapat
diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara mengembalikan usul
tersebut kepada Direksi BUMN yang mengajukan usul.
6.
Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi
dan dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan dapat diterima, dan
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara menyampaikan hasil penelitian
kepada Menteri Keuangan dengan disertai pendapat.
7.
Setelah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusan Piutang
Perusahaan Negara disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada Direksi BUMN yang
mengajukan usul. Penetapan tersebut juga diberitahukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Proses
Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMD)
1. Direksi BUMD dapat mengusulkan
penghapustagihan piutang dengan nilai penghapusan sampai dengan
Rp5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Gubernur/Bupati/ Walikota,
dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
2.
Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b.
Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan Daerah
dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
3.
Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan Daerah dapat
diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
didasarkan pada permintaan tertulis dari Direksi BUMD, yang dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
§ daftar nominatif
Penanggung Hutang;
§ surat keputusan/berita
acara/surat pernyataan dari Pejabat yang berwenang dan/atau dokumen lain yang
membuktikan bahwa piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31
Desember 2002;
§ bukti bahwa BUMD telah
memperoleh persetujuan dan/atau penetapan limit piutang yang akan
dihapustagihkan dari:
ü Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk perseroan;atau
ü Pejabat
yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal
negara, bila BUMD tidak berbentuk perseroan; dan
b.
bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan:
§ telah
optimal diurus oleh PUPN, permintaan pertimbangan dilampiri dengan Surat
Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau
§
telah ditarik dari PUPN dan Penanggung
Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang
yang diberikan oleh BUMD, permintaan pertimbangan dilampiri:
ü bukti bahwa PUPN Cabang
telah menyetujui usul penarikan dan menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh
PUPN Cabang telah selesai;
ü informasi tentang
program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMD; dan
ü data pembayaran yang
membuktikan bahwa Penanggung Hutang telah menyelesaikan program restrukturisasi/penyelesaian
kredit yang ditetapkan oleh BUMD.
c.
permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang BUMD yang dibiayai dan
resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan dokumen
sekurang-kurangnya:
§ dokumen
sebagaimana yang diuraikan pada angka 3 di atas; dan
§ surat
persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/ Daerah,
dan/atau perusahaan penjamin kredit; dan
d.
Permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMD
ditindaklanjuti Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan melakukan penelitian atas
kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang diajukan.
4.
Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi
dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan pertimbangan tidak
dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLNmengembalikan usul tersebut
kepada Direksi BUMD yang mengajukan permintaan petimbangan.
5.
Bila dari hasil penelitian diketahui
bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi dan dapat dibuktikan
kebenarannya, permintaan pertimbangan dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah
DJPLN menyampaikan Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak
Atas Piutang Perusahaan Daerah kepada Direksi BUMD yang mengajukan permintaan
petimbangan.
6.
Setelah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, penetapan penghapustagihan
piutang BUMD diberitahukan Direksi BUMD yang mengajukan usul penghapustagihan
kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN, yang kemudian juga memberitahukan penetapan
tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan.
PENUTUP
Perikatan/perjanjian hutang piutang antara Negara dan
Penanggung Hutang dapat hapus bila Penanggung Hutang melakukan pembayaran
pelunasan hutangnya, bila Negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban
untuk melunasi hutangnya, bila umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa), atau
karena sebab lain yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Melalui penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak
oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk
menyelesaikan hutangnya menjadi habis/hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang
negara merupakan pembebasan hutang Penanggung Hutang.
Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka
hapus juga perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung
Hutang. Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai
penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang.
Terdapat 2 jenis penghapusan piutang negara yaitu
pertama, penghapusbukuan piutang dengan
tidak menghilangkan hak tagih, yang dilakukan hanya dalam administrasi
pembukuan saja, yaitu dengan memindahkan pencatatan dari pembukuan utama
(misalnya neraca) ke
pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Kedua, penghapustagihan
piutang negara dengan menghilangkan hak tagih. Kedua jenis penghapusan tersebut
dilakukan secara berurutan, yaitu penghapustagihan piutang negara dilakukan
hanya apabila piutang dimaksud
telah dihapusbukukan terlebih dahulu.
Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang
penghapusan piutang negara pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang
Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet / ICW) S. 1864
– 106 Pasal 19 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan
penagihan (atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan
ketentuan:
1. Pemerintah
telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan atas pembebasan
tersebut; dan
2. pembebasan
penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan dengan
undang-undang.
Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische
Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864 – 106 tersebut sudah tidak berlaku lagi
dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, yang juga mengatur tentang penghapusan piutang negara (vide Pasal 37
ayat (1)). Aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 37 ayat (1) tersebut dirumuskan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah.
Namun demikian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara tidak secara eksplisit mengatur penghapusan
piutang BUMN/BUMD. Hal tersebut disebabkan oleh pengertian piutang
negara/daerah yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut terbatas hanya pada
pengertian piutang Instansi Pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja, dan
tidak mencakup pengertian piutang badan-badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah.
Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang
negara dalam Pasal 8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang PUPN yang tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah, sehingga
semua piutang yang diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara.
Selain itu, pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 juga mencakup pengertian piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan
modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara/daerah (BUMN/BUMD).
Agar BUMN/BUMD dapat menghapustagihkan piutangnya yang
telah diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan atau kepada
Gubernur/Bupati/Walikota selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara/daerah yang dipisahkan, perlu diberikan kewenangan untuk membuat
pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN/BUMD. Pemberian
kewenangan tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005
tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang merupakan pengaturan
lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang ketentuan
penghapusan piutang negara/daerah.
Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun
2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah telah disusun Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian,
Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang
Negara/Daerah. Kedua peraturan tesebut berisi pengaturan tentang kewenangan,
persyaratan, dan proses penghapusan (penghapusbukuan dan penghapustagihan)
piutang Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara, 1994, Gema Yustisia. Hasil Diskusi Panel
Pengurusan Piutang Negara II di Denpasar, Mahkamah Agung RI, Badan Pertanahan
Nasional, Bank-Bank Pemerintah, dan BUPLN Departemen Keuangan, Jakarta.
________,
(1996). Hasil Rumusan Mahkamah Agung dan BUPLN tentang Penyelesaian
Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Hasil Diskusi Panel Pengurusan
Piutang Negara III di Medan. Jakarta.
J. Satrio, 1999,
Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran Hutang. PT. Alumni, Bandung.
Panitia Urusan
Piutang Negara, 1976, Himpunan Peraturan tentang Panitia Urusan Piutang
Negara. Jakarta.
R.
Subekti. (1980), Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Bandung.
________
(1996), Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Pradnya Paramita
R. Subekti &
R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Samsul Chorib,
2004, Pengantar Kepiutanglelangan Negara. Modul untuk Program Diploma Keuangan
Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara, Jakarta.
Simoeh, 1991, Pengantar Ilmu Hukum. Modul untuk
Program Diploma Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara. Jakarta.
Sugijanto, Robert
Gunardi H, dan Sonny Loho, 1995, Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi
Non-Laba, Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Brawijaya, Malang.
Sutan Remy
Sjahdeini. (2002). Hukum Kepailitan. Memahami Faillissementscerordening
Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
rujukan peraturanyya dah yg terbaru belom ya mas?
BalasHapus