Jumat, 30 November 2012

positivisme (kajian filsafat)

BAB I

PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, yang digantikan oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri yang sangat egoistis dan mengandung nilai hedonis yang sangat besar, sehingga kita pun merasakan betapa banyaknya bencana yang melanda diri kita. Etika hubungan kita yang humanis dengan tiga kompenen relasional hidup kita sudah terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap hidup kita di masa mendatang akan tetap lestari dan berlangsung harmonis dengan alam.
Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum, dengan sub bahasan “ Filsafat Positifisme ”. Makalah ini dititikberatkan pada pemikiran-pemikiran para folosof aliran positivisme.
1.2      Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memaparkan perkembangan-perkembangan filsafat modern pada saat lahirnya filsafat positifisme. Dan agar pembaca mengetahui seperti apakah pemikiran-pemikiran para filosof yang beraliran positivisme.
1.3     Rumusan Masalah
1.3.1        Bagaimana pemikiran-pemikiran fungsional para filosof positivisme ?
1.3.2        Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam filsafat positivisme ?
1.3.3        Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam filsafat positivisme ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Positivisme
            Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metefisikanya ditolak.
            Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yabg tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat Positivisme
            a). Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
            Ia adalah orang yang menokohi munculnya aliran positivisme. Ia lahir di Hontpeller, Perancis. Sebuah karya penting “ Cours de Philisophia Positivie “ (Kursur tentang filsafat positif), ini berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoieh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan experiment. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat experiment-experiment memerlukan ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan, dsb. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas. Ketika panas kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
            Jadi pada dasarnya positifisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan experiment dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positifisame itu sama dengan empirisme plot rasionalisme. Hanya saja, pada empirisme menerima pengalaman batiniyah, sedangkan pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.
            b). H. Taine ( 1828 – 1893 )
            Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
            c). Emile Durkheim ( 1852 – 1917 )
            Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
            d). John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
            Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
2.3 Tahapan-Tahapan pada Positivisme
            Menurut Auguste Comte, perkembangan perkembangan pikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui 3 tahapan, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah / positif.
            a). Tahap Teologis
            Tahap dimana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrasi yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
            Tahap Teologis ini dibagi menjadi 3 periode :
·        Periode pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (Animisme)
·        Periode kedua di mana manusia percaya pada dewa-dewa (Politeisme)
·        Periode ketiga manusia percaya pada satu  Alloh sebagai Yang Maha Kuasa (Monoteisme).
b). Tahap Metafisis
Hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang terjadi bersifat adikodrasi, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak yang diintrogasikan dengan alam.
c). Tahap Ilmiah / Positif
Yaitu ketika orang tidaklagi berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak baik teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapati dari pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di baeah satu fakta yang umum saja.
Hukum 3 tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tahap perorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah teologi, sebagai pemuda menjadi metafisis, dan sebagai seorang dewasa adalah seorang fisikus.
Urutan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga yang satu selalu mengandalkan semua ilmu yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte menemoatkan deretan ilmu pengetahuan dengan urutan sebagai berikut : ilmu pasti, astronomi, fisika, bioligi, dan sosiologi.
Auguste Comte berkayakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah :
ü    Pertama, Tahapan Agama dan Ketuhanan
Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan.
ü    Tahapan kedua adalah Tahapan Filsafat
Menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiolen, esensi dan akstensi.
ü    Positifisme sebagai tahapan ketiga
Menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada hakikatnya Positifisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif.
Di negeri Perancis, telah muncul aliran baru, yaitu "positivisme", yang ditikohi oleh Auguste Comte (1798 – 1857).  Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya harus hidup dengan pengabdioan ilmu yang positif, yaitu matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif tidak dapat kita alami, dan sebaliknya orang bersikap tidak tahu menahu.
Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah tingkatan teologi, yang menerangkan segala sesuatu dengan pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkatan kedua adalah tingkatan metafisika, yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi; tingkatan ketiga adalah tingkatan positif, yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh serta sebab yang sudah ditentukan.
Tokoh-tokoh dalam positivisme antara lain adalah H.Taine (1828 – 1893), yang mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesastraan. Emile Durkheim (1858 – 1917), yang mengaggap positivisme sebagai asas sosiologi. John Stuart Mill (1806 – 1873), seorang filosof  Inggris yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa
Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta : Gramedia
Bertens, K. 1973. Sejarah Filsafat Yunani. Jakarta : Kanisius
Suhartoni, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Jogjakarta : Ar-Ruzz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar